Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TREN positif ekonomi digital telah mencuri perhatian Presiden Joko Widodo. Bisnis ini mekar dengan cepat dalam beberapa tahun belakangan, dan diperkirakan terus berkembang seiring dengan pertumbuhan penggunaan Internet melalui telepon pintar. Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) mencatat transaksi sekurang-kurangnya US$ 12 miliar (sekitar Rp 168 triliun) lewat perdagangan online pada 2014. Itu sebabnya, Presiden meminta Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara menyiapkan langkah untuk mendongkrak dan mengambil sebanyak mungkin manfaat dari pesatnya perkembangan bisnis dalam jaringan (online).
Rudiantara optimistis transaksi digital bisa mencapai US$ 137 miliar atau 8-9 persen dari produk domestik bruto nasional pada 2020. "Kami harus menyiapkan aturan main agar benefit-nya ke Indonesia," katanya. Selama dua jam, Rudiantara menceritakan sederet penghambat laju e-commerce nasional kepada Akbar Tri Kurniawan dan Ursula Florence dari Tempo di kediamannya di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, 12 September lalu.
Pemerintah seperti telat merespons penghambat laju e-commerce.
Kami belajar dari Cina dan Amerika Serikat. Saya diperintahkan Presiden Joko Widodo menyiapkan langkah untuk mendorong ekonomi digital. Saya berbicara dengan Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA), juga meminta bantuan Ernst and Young (lembaga akuntan publik internasional) untuk membuat roadmap. Ada tujuh kendala yang multidimensi, bukan hanya di kementerian ini. Ada soal payment gateway, investasi, perpajakan, pengiriman logistik, perlindungan konsumen, dan broadband. Tugas kami menyediakan konektivitas, Internet tidak lemot, dan keamanan. Rencananya peta jalan ini kelar pada akhir September ini.
Sistem pembayaran (payment gateway) menjadi kendala utama?
Sebesar 74 persen transaksi settlement e-commerce dengan cara transfer antar-rekening bank melalui anjungan tunai mandiri. Pembeli memotret slipnya, lalu dikirim ke penjual. Ini ribet dan tidak efisien. Harus ada national payment gateway. Ini kepentingan otoritas moneter untuk melihat semua transaksi. Di Amerika, sistem pembayaran ada PayPal, di Cina Alipay. Pembayaran ini juga terkait dengan masalah pajak. Kami sudah berbicara dengan Bank Indonesia, sistemnya harus tertata dan kami meminta dipercepat.
Ketika pebisnis kelas usaha kecil-menengah (UKM) merintis usaha ini, tak ada bantuan pemerintah. Tapi, begitu membesar, pajaknya dikejar-kejar?
Pemerintah harus berpikir: pajak tidak boleh membunuh. Kami tidak boleh melihat ke belakang, lihat ke depan. Ini harus dirapikan, yang sudah tumbuh jangan dimatikan. Yang baru mulai, startup, harusnya dibantu. Pemerintah Brunei Darussalam, misalnya, menerbitkan aturan startup digital asing akan diberi modal jika mau mengembangkan di sana. Indonesia tidak bisa diam, anak-anak pintar Indonesia jangan disedot ke sana.
Pemerintah siap mendanai?
Kami belum mempunyai program khusus untuk mendorong startup. Tidak mudah meyakinkan bahwa ini perlu didanai. Sebab, dari 100 model startup, yang berhasil mungkin dua atau tiga. Kami mengusulkan pendanaan startup bisa dari Kredit Usaha Rakyat. Sudah menjadi catatan, tapi belum lapor ke Presiden.
Dari transaksi e-commerce US$ 12 miliar tahun lalu, berapa yang sudah bayar pajak?
Yang terbesar dari ticketing. Perusahaan-perusahaan besar sudah membayar pajak. Semua yang bertransaksi online, termasuk toko online, juga kena pajak. Tapi seharusnya pajaknya dipermudah. Jangan sampai menghitung pajak masukan, pajak keluaran, pajak transaksi final seperti di pasar bursa.
Penghasilan Google dan Facebook dari iklan di Indonesia apakah masuk nilai digital ekonomi Indonesia dan membayar pajak?
Yang asing-asing itu sudah kami bicarakan. Saya tidak tahu berapa keuntungan mereka. Yang pasti, mereka tidak membayar pajak pertambahan nilai 10 persen. Kami sedang berbicara dengan Kementerian Keuangan untuk menyiapkan aturan tentang level playing field. Nanti kalau pasang iklan di Google dan Facebook, transaksi harus lewat perusahaan Indonesia, bayarnya pakai rupiah. Kita harus elegan menjaga nasionalisme. Tapi tidak boleh go to hell. Posisi tawar kita berbeda dengan Cina, yang penduduknya miliaran.
Seperti terhadap taksi Uber, pemerintah memaksa Google dan Facebook buka kantor di sini?
Saya ketemu pemilik Twitter, saya bilang jangan hanya kantor perwakilan, tapi in-corporation di Indonesia. Ini hanya masalah waktu. Saya sedang mengumpulkan tenaga untuk deal dengan mereka. Di Eropa sedang dikaji ulang, karena Google dan Facebook tidak berizin. Otoritas Eropa menegaskan bahwa mereka harus berizin pada 2016. Kalau Eropa sudah, Indonesia akan ikut. Mereka akan datang ke sini meminta izin. Dunia Internet ini selalu mengatakan tidak ada batasan kedaulatan. Ini keliru. Dalam dunia digital, ada virtual sovereignty. Kalau tidak, kita telanjang.
Banyak investor asing yang menguasai bisnis digital di Indonesia.
Kami harus menyiapkan aturan main agar benefit-nya ke Indonesia. Jangan sampai negara lain yang menikmati. Bisnis digital masuk daftar negatif investasi (DNI) sejak 2014. Kecuali yang masuk sebelum DNI terbit, seperti Lazada itu sudah dimiliki asing. Bisnis digital yang baru established butuh investasi asing. Tapi aturan DNI melarang investor asing menyuntikkan dana ke e-commerce lokal, sehingga deal-nya di luar negeri. Itu benefit-nya tidak di sini. Bisa jadi aturan DNI ini akan dikaji ulang.
E-commerce dituding mematikan aktivitas ekonomi offline.
Prinsip e-commerce mengurangi pengangguran, bukan sebaliknya. Jangan sampai adanya Lazada atau MatahariMall.com membuat toko di Mal Mangga Dua tiba-tiba mati. Harus ada transisi. Bisnis online memang tidak bisa dihindari. Internet semakin mudah dan murah, tidak mungkin pemerintah melarang.
Tumbuhnya startup digital-seperti Uber dan Go-Jek-terkesan berbenturan dengan aktivitas ekonomi yang sudah berjalan. Bagaimana pemerintah bersikap?
Uber dan Go-Jek memberi layanan kemudahan. Uber ada masalah, tidak bisa masuk karena diprotes taksi. Aturannya juga memerintahkan memiliki armada. Uber tidak punya armada, hanya platform. Kalau ini benefit-nya besar, pemerintah harus mengubah aturannya. Ekonomi kayak begini tidak mungkin dilarang. Modalnya bukan sekadar maju tak gentar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo