Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ekonomi

Kolam Lele dan Perjanjian Lama 

Pemerintah berupaya memoles aset usang menjadi uang. Tapi nasib aset-aset premium, seperti Hotel Sultan, Taman Mini Indonesia Indah, dan Plaza Semanggi, masih menjadi misteri.

26 September 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pemerintah menggenjot pemanfaatan aset mangkrak sebagai ceruk baru penerimaan negara.

  • Sejumlah badan layanan umum bertugas memanfaatkan aset-aset tersebut.

  • Masih banyak aset premium yang dikuasai pihak ketiga dan dianggap berpotensi merugikan negara.

SEANDAINYA saja dulu Lembaga Manajemen Aset Negara (LMAN) menyerahkan begitu saja bangunan di sudut pertigaan Jalan Cikini Raya dan Jalan Raden Saleh Raya, Menteng, Jakarta Pusat, Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) sekarang mungkin tak hanya mengelola beasiswa. Satu lagi peran bisa dilakoni LPDP di bangunan yang telah disulap menjadi Gedung Danadyaksa Cikini itu: beternak lele.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lima tahun lalu, ketika aset bekas sitaan Bank Indonesia era krisis keuangan 1998 itu diserahkan kepada LMAN, kolam lele berserak di ruang bawah tanah gedung. Tatkala sore tiba, pedagang pecel lele membuka lapak di depan gedung. “Rupanya, yang punya kolam si pedagang pecel lele,” kata Direktur Operasional dan Manajemen Risiko LMAN Candra Giri Artanto, Jumat, 25 September lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tentu tak mungkin gedung itu diserahkan begitu saja kepada LPDP pada 2018. Hampir dua windu tak ditempati, kondisi bangunan bekas bank yang dilikuidasi itu benar-benar mengenaskan. Pembersihan basement tempat kolam lele itu hanya satu dari sederet pekerjaan awal LMAN agar aset tersebut bisa kembali dimanfaatkan.

Memang, tak ada yang bisa diharapkan dari sebuah gedung mangkrak. Bila tidak ditinggali orang, paling mujur bangunan itu menjadi tempat berdagang. Yang agak apes menjadi pelacuran. LMAN, badan layanan umum Kementerian Keuangan, juga harus melunasi beragam tunggakan yang menempel di bangunan tersebut, dari tagihan listrik hingga pajak bumi dan bangunan.

Pemerintah mendirikan LMAN pada 2015 antara lain untuk mengelola barang milik negara yang kapiran. Barang itu adalah aset-aset kementerian atau lembaga yang sudah diserahkan kepada Direktorat Jenderal Kekayaan Negara selaku pengelola barang negara. Ada aset yang dipertukarkan, seperti eks aset PT Pertamina atau kontraktor kontrak kerja sama minyak dan gas lain.

Banyak aset lain dari sisa era Badan Penyehatan Perbankan Nasional dan Perusahaan Pengelola Aset. Terakhir, seperti yang pengelolaannya sekarang sudah diserahkan kepada LPDP tadi, adalah aset-aset hak tanggungan Bank Indonesia. Pemerintah berharap, kalau tidak bisa menghasilkan cuan, minimal aset-aset rombeng itu berguna buat kementerian dan lembaga yang tak punya gedung.

Tugas pemerintah sebetulnya tidak hanya memanfaatkan aset mangkrak seperti yang dilakoni LMAN. Banyak aset negara yang hingga kini masih dikuasai pihak ketiga dengan kerja sama pengelolaan yang diduga tak menguntungkan negara. Badan Pemeriksa Keuangan dan Komisi Pemberantasan Korupsi punya daftar aset negara yang masuk kategori itu. Sebut saja Taman Mini Indonesia Indah, kompleks gedung Plaza Semanggi, kompleks Hotel Sultan di Senayan, dan sejumlah aset properti premium lain di kawasan Gelora Bung Karno.

•••

UPAYA pemerintah memanfaatkan aset kapiran lewat Lembaga Manajemen Aset Negara mulai terlihat. Dari 283 aset kelolaan LMAN yang nilainya ditaksir mencapai Rp 37 triliun, sebanyak 31 aset sudah menghasilkan duit. Sepanjang Januari-September 2020, aset-aset kelolaan LMAN yang sudah dikomersialkan itu telah menyumbang penerimaan negara bukan pajak sebesar Rp 2,7 triliun. Setoran terbesar datang dari sebagian aset di kompleks kilang gas alam Arun di Aceh dan Badak di Bontang, Kalimantan Timur.

Saat ini ada 37 aset lain yang sedang dijajakan, 77 aset telah dibersihkan, dan 12 aset lain sedang direnovasi. Salah satunya eks aset Pertamina, sebuah bangunan kosong di Jalan Dipati Ukur Nomor 31-33, Bandung. Pada Jumat siang, 25 September lalu, aset kelolaan LMAN itu dikelilingi dinding seng setinggi 1,5 meter. Gundukan pasir berserak di sudut-sudut halamannya. Di dalam bangunan tampak sejumlah pekerja sedang membongkar dinding lama, diganti dengan tembok bata ringan.

Usep, pelaksana proyek itu, mengatakan renovasi baru dimulai pada Agustus lalu. Bangunan lawas itu nantinya disulap menjadi ruang kerja bersama (coworking space) lengkap dengan berbagai fasilitas penunjang. “Beresnya sekitar Maret 2021,” tutur Usep.

Samsikin, pedagang yang menggelar lapak kopi dan camilan di Jalan Dipati Ukur, bersaksi bahwa bangunan yang sedang direnovasi itu dulu bagian sayap mes Pertamina. “Lima tahun lalu diambil Kementerian Keuangan,” ujarnya. Samsikin tahu persis riwayat kompleks tersebut karena, selain ia lahir dan besar di Dipati Ukur, suaminya bekerja sebagai penjaga malam gedung itu. 

Gedung utama mes Pertamina tetap utuh. Sempat mendapat renovasi kecil tiga tahun lalu, bangunan itu cuma ketambahan plang besi bertulisan “Tanah Milik Negara” dengan logo Kementerian Keuangan. 

Sementara LMAN kerap berhadapan dengan preman, pedagang, atau penghuni yang menguasai aset kapiran, badan layanan umum (BLU) pemerintah lain yang juga mengelola barang negara harus beradu strategi melawan penguasa kerah putih. Direktur Utama Pusat Pengelolaan Kompleks Gelora Bung Karno (PPK-GBK) Winarto punya banyak cerita menghadapi mitra-mitra premium tersebut. 

Winarto masuk ke GBK setelah BLU di bawah Kementerian Sekretariat Negara tersebut mendapat banyak catatan hitam dari Badan Pemeriksa Keuangan. “Saya sekarang mengetuk-ngetuk pintu para mitra agar bisa memperbaiki perjanjian lama,” ucap Winarto, Jumat, 25 September lalu.

Suasana Stadion Gelora Bung Karno (GBK) dan kawasan GBK di Senayan, Jakarta, Agustus 2018./ Dok. TEMPO/Fakhri Hermansyah

Hasil pemeriksaan BPK yang terbit pada Januari lalu, tentang audit pengelolaan barang milik negara periode 2017 dan 2018 di Kementerian Sekretariat Negara, Badan Pengelolaan dan Pengembangan Taman Mini Indonesia Indah, serta Yayasan Gedung Veteran Republik Indonesia, menguak potensi kerugian negara dalam pengelolaan aset PPK-GBK. BPK mencatat PPK-GBK masih menerima kompensasi atau kontribusi tetap dari pengguna Jakarta Convention Center (JCC), PT Graha Sidang Pratama, sebesar US$ 200 ribu per tahun sepanjang 2015-2018. Padahal kontribusi tetap yang disepakati pada 2015 dan berlaku sampai 2019 semestinya sebesar US$ 237 ribu per tahun.

PPK-GBK juga belum menerima pembayaran royalti pemakaian tanah dari PT Indobuildco. Perusahaan milik Pontjo Sutowo—anak Ibnu Sutowo—ini secara sepihak memperpanjang masa berlaku sertifikat hak guna bangunan (HGB) di atas tanah hak pengelolaan GBK sejak 2003 hingga 2023 alias 20 tahun. Aset ini sekarang digunakan untuk Hotel Sultan, yang dulu dikenal sebagai kompleks Hotel Hilton. 

Putusan peninjauan kembali Mahkamah Agung pada 2012 jelas menegaskan tanah tersebut dikembalikan kepada negara. Indobuildco tetap bisa mengelolanya dengan catatan wajib membayar tunggakan royalti kepada PPK-GBK sepanjang 2003-2023 senilai US$ 350 ribu per tahun. Temuan audit BPK mencatat Indobuildco sudah membayar royalti periode 2003-2006 beserta bunganya sebesar US$ 2,251 juta. Namun pembayaran itu tidak pernah berlanjut.

Belakangan, kata Winarto, Indobuildco mengajukan syarat tambahan. Mereka mau membayar tunggakan royalti asalkan diberi jaminan mendapat perpanjangan HGB atau pengelolaan setelah 2023. “Saya tidak punya pegangan hukum untuk beri jaminan itu,” tutur Winarto. “Kewajiban yang lalu saja ditunaikan. Paling tidak bayar yang tahun berjalan dulu.” 

Temuan lain dalam audit BPK menunjukkan lemahnya posisi PPK-GBK dalam renegosiasi perjanjian dengan PT Senayan Trikarya Sempana (STS), pemilik konsesi kompleks Senayan Square seluas 20 hektare dengan skema build-operate-transfer. Konsesi STS berumur 40 tahun, baru habis pada 2036. Di tanah itu telah berdiri aset-aset wah, dari Plaza Senayan hingga yang terbaru, Hotel Fairmont. 

Sebanyak 70 persen saham STS dikuasai Kajima Corporation asal Jepang. PT Aditya Wirabhakti, perusahaan patungan Siti Hediati Hariyadi alias Titiek Soeharto dan Hashim Djojohadikusumo, mengempit 20 persen saham. Sedangkan PPK-GBK hanya mengantongi 10 persen “saham tidur” STS.

Perjanjian lama itu, dalam temuan BPK, tidak mencantumkan adanya kompensasi variabel yang diperhitungkan dari persentase keuntungan atau pendapatan perusahaan. Pada 2018, STS menolak usulan PPK-GBK yang meminta adanya kompensasi variabel sebesar 3,5 persen dari pendapatan tahunan. 

Belakangan, PPK-GBK memang meminta kompensasi variabel mengacu pada pendapatan kotor, bukan lagi berdasarkan laba bersih. “Karena kami enggak bisa mengontrol biaya perusahaan. JCC kontribusi variabelnya sudah berubah menggunakan perhitungan berdasarkan persentase pendapatan,” ujar Winarto. “Tapi negosiasi dengan Kajima masih terus berlangsung.” 

•••

SETYA Utama tak mau lagi membahas nasib aset-aset negara di bawah pengelolaan Sekretariat Negara yang kini masih dikuasai pihak ketiga atau penggunaannya ditengarai merugikan negara. Sekretaris Kementerian Sekretariat Negara itu memilih menunggu masukan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam strategi mengejar aset-aset negara yang bermasalah itu. “Action plan-nya sedang kami bahas dengan KPK,” kata Setya saat dihubungi pada Jumat, 25 September lalu. 

Audit Badan Pemeriksa Keuangan tak hanya mencatat masalah aset negara di sekitar Senayan, tapi juga di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) dan kompleks Plaza Semanggi. Sejak 2011, Sekretariat Negara memasukkan aset tanah TMII ke daftar barang milik negara. Padahal pengelolaannya masih di bawah Yayasan Harapan Kita, yang diketuai Siti Hardijanti Rukmana, anak Soeharto. 

Pada 2010, Kementerian Keuangan sebetulnya juga sudah mengajukan tiga opsi untuk TMII. Pertama, aset itu ditetapkan sebagai barang milik negara dan pengelolaannya diambil alih oleh badan layanan umum. Kedua, TMII ditetapkan sebagai barang milik negara tapi dipasrahkan kepada kementerian atau lembaga lain sebagai pengguna barang. Terakhir, TMII ditetapkan sebagai barang milik negara, tapi pengelolaannya oleh pihak lain dengan skema kerja sama pemanfaatan. 

Sementara itu, Yayasan Harapan Kita telah mengajukan opsi perjanjian agar tetap bisa mengelola TMII pada 2018. Namun, hingga hasil audit BPK keluar, belum ada jawaban dari Sekretariat Negara terhadap permohonan Yayasan Harapan Kita. Sampai saat ini, TMII, yang nilainya ditaksir mencapai Rp 10,2 triliun, masih dikuasai yayasan tersebut. 

Di kompleks Plaza Semanggi, Sekretariat Negara lewat Yayasan Gedung Veteran Republik Indonesia (YGVRI) terjebak dalam perjanjian lama. Perubahan perjanjian lawas antara YGVRI dan PT Primatama Nusa Indah pada 2002 mencantumkan klausul bahwa Primatama berhak mendapat perpanjangan otomatis pengelolaan selama 20 tahun—dari masa awal 30 tahun—cukup dengan melayangkan surat pemberitahuan kepada YVGRI. Enak betul. 

KHAIRUL ANAM, AHMAD FIKRI (BANDUNG)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus