Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Manajemen PT Kereta Api Indonesia menggeber promosi dan efisiensi.
Buku perusahaan dibebani utang-utang proyek pemerintah.
Masalah keuangan dikhawatirkan menggerus sejumlah aspek pelayanan.
KONSER live cooking kini bisa disaksikan di gerbong kereta eksekutif Argo Lawu, Argo Dwipangga, Taksaka, dan Argo Wilis. Sebelumnya, atraksi chef andalan hotel-hotel papan atas di Bandung itu hanya ada di Argo Bromo Anggrek. Manajemen PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau KAI memperluas layanan ekstra tersebut ke kereta lain. Perusahaan menggaet sejumlah juru masak profesional yang dirumahkan sejak bisnis perhotelan lumpuh diserang pandemi Covid-19.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peluncuran layanan live cooking, akhir September lalu, disertai peresmian fasilitas Wi-Fi gratis. Perseroan juga menjanjikan waktu tempuh sejumlah perjalanan kereta makin cepat. "Dulu ke Yogya 7 jam sekarang 6 jam. Ke Solo dari 8 jam jadi 7 jam. Ke Surabaya semula 9 jam jadi 8 jam 15 menit. Ada Wi-Fi, ada bunga. Jadi lebih menarik," kata Direktur Utama KAI Didiek Hartantyo memamerkan sejumlah inovasi terbarunya kepada Tempo, Rabu, 3 November lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penambahan layanan jelas bertujuan menarik penumpang lebih banyak. Adapun percepatan waktu tempuh itu bagian dari upaya KAI menggenjot efisiensi. Makin singkat durasi perjalanan kereta, makin hemat ongkos operasionalnya. "Kami cut cut cost terus," ujarnya. Efisiensi juga diterapkan pada kegiatan perjalanan dinas dan pendidikan. "Biaya-biaya kami potong, hampir Rp 6 triliun."
Efisiensi mau tak mau dilakukan di tengah kondisi keuangan perusahaan yang minus. KAI diproyeksikan masih akan negatif pada akhir 2021, bahkan hingga beberapa tahun ke depan, seiring dengan berbagai proyek penugasan pemerintah yang dijalankan perusahaan.
Sampai paruh pertama tahun ini saja, badan usaha milik negara itu sudah membukukan kerugian Rp 480 miliar. Beban keuangan juga masih besar, meski kini sedikit lebih ringan ketimbang pada 2020 setelah perseroan merestrukturisasi utang jangka panjangnya senilai Rp 10 triliun. "Secara cash flow (lebih) baik. Beban di buku," Didiek menuturkan.
Ia mengungkapkan, realisasi pinjaman akan meningkat signifikan pada tahun depan karena adanya pembayaran pekerjaan proyek. Didiek mencontohkan proyek kereta ringan layang (LRT) Jakarta-Bogor-Depok-Bekasi (Jabodebek) yang ditargetkan rampung pada Juni 2022. "Untuk membayar (pekerjaan), kami harus menarik pinjaman. Karena dana penyertaan modal negara sudah terpakai, kami memakai financing."
Pembiayaan proyek LRT Jabodebek cair setelah hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) keluar. Proyek yang digarap PT Adhi Karya (Persero) Tbk ini menelan investasi sekitar Rp 23,3 triliun. "Jadi pencairannya kami juga tergantung berapa lama audit atau review oleh BPKP," tutur Didiek.
Utang jumbo perusahaan pelat merah ini sebenarnya sudah tampak dalam laporan keuangan teranyar. Per Juni 2021, KAI tercatat memikul kewajiban senilai total Rp 37,5 triliun, meliputi utang jangka panjang Rp 28,5 triliun dan utang jangka pendek Rp 8,9 triliun.
Suasana Stasiun LRT Harjamukti Cibubur, Jawa Barat, 18 Oktober 2021. TEMPO/Muhammad Hidayat
Manajemen KAI menyebutkan 58 persen utang yang tercatat dalam Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan 2021 digunakan untuk menjalankan penugasan pemerintah. Proyek kereta cepat Jakarta-Bandung salah satunya. Dalam rapat dengar pendapat Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat, yang antara lain membidangi badan usaha milik negara, Kamis, 2 September lalu, Didiek sempat memberikan catatan terhadap dampak proyek ini pada perusahaannya. "KCJB (proyek kereta cepat Jakarta-Bandung) berkontribusi menaikkan leverage dan biaya bunga KAI," kata Didiek saat itu.
Megaproyek ambisius pemerintah Presiden Joko Widodo ini semula diperkirakan “cuma” memerlukan investasi US$ 6,07 miliar atau sekitar Rp 86,9 triliun. Tapi kalkulasi konsultan menunjukkan biaya proyek menggelembung: pada skenario rendah memerlukan tambahan modal hingga US$ 3,8 miliar dan pada skenario tinggi sampai US$ 4,9 miliar. Adapun manajemen baru PT Kereta Cepat Indonesia China, yang kini dipimpin KAI, memproyeksikan pembengkakan biaya (cost overrun) US$ 1,4-1,9 miliar.
Selain menangani proyek LRT Jabodebek dan kereta cepat Jakarta-Bandung, KAI mendapat penugasan pemerintah untuk mengoperasikan LRT Palembang di Sumatera Selatan dan kereta Bandar Udara Soekarno-Hatta. Pembangunan LRT Palembang dulu dipercepat untuk mendukung pesta olah raga Asian Games 2018. Proyek ini menelan dana sekitar Rp 12,5 triliun.
Adapun kereta Bandara Soekarno-Hatta, yang beroperasi mulai 1 Desember 2017, menghabiskan biaya sekitar Rp 5 triliun antara lain untuk pembangunan awal, pembebasan lahan, dan konstruksi. Anggarannya berasal dari patungan KAI, PT Angkasa Pura II (Persero), dan PT Railink—anak usaha KAI dan Angkasa Pura II.
KAI sebelumnya menyatakan mendapat fasilitas pinjaman dari sindikasi perbankan. Untuk proyek LRT Jabodebek, misalnya, perusahaan memperoleh tambahan pembiayaan sebesar Rp 4,2 triliun dari rombongan bank milik negara, milik daerah, juga swasta asing pada September 2020. Tambahan pinjaman itu diperlukan agar pembangunan depo dan stasiun proyek LRT Jabodebek rampung tepat waktu. Tiga tahun sebelumnya, sindikasi perbankan yang sama mengucurkan pinjaman Rp 18,1 triliun untuk kredit investasi dan Rp 1,15 triliun buat kredit modal kerja.
Laporan keuangan KAI semester I 2021 menunjukkan perusahaan memiliki pinjaman jangka pendek dari sejumlah bank yang secara keseluruhan setara dengan 4,31 persen dari total liabilitas. Perusahaan juga memperoleh fasilitas pinjaman dari pemerintah melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional senilai Rp 3,5 triliun, setara dengan 9,44 persen dari total liabilitas. Selain itu, ada pinjaman jangka panjang dari Himpunan Bank Milik Negara dan lembaga atau special purpose vehicle Kementerian Keuangan senilai Rp 9,46 triliun atau setara dengan 25,22 persen dari total liabilitas.
Pengamat transportasi dan kebijakan publik Agus Pambagio menilai tumpukan utang KAI sudah pada tahap memprihatinkan. Ia menilai kondisi ini sebagai sinyal SOS. "Dulu negatif, terus sempat positif di zaman Dirut (Direktur Utama Ignasius) Jonan. Sekarang (utang) terus bertambah. Sangat mengerikan," ujarnya, Sabtu, 6 November lalu. Agus khawatir hal ini akan berdampak pengurangan bujet pada aspek penting lain, seperti peremajaan gerbong kereta dan lokomotif dan pelayanan konsumen.
Sebagai perusahaan milik negara, Agus menambahkan, KAI memang tidak bisa menolak penugasan pemerintah. "Harus mengikuti. Kalau (keuangannya) tidak sanggup, minta penyertaan modal negara. That’s it. Rezim berikutnya nanti yang pusing (karena warisan utang)," ucapnya.
Agus menyayangkan proyek-proyek ambisius pemerintah yang tidak dirancang dengan baik sehingga justru menambah beban perusahaan pelat merah. Ia mencontohkan LRT Palembang yang kini nyaris mangkrak karena minim penumpang. "Tidak ada integrasi antarmoda transportasi," tuturnya. Demikian pula proyek kereta bandara yang okupansinya tak sesuai dengan harapan. Dan, sekarang, KAI akan meneruskan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung yang sejak tahap studi kelayakan dipenuhi kejanggalan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo