Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kereta cepat pada akhirnya meminta APBN juga.
BUMN tak sanggup beroperasi karena utang dan masalah lapangan.
Proyek yang tak layak dan dipaksakan.
PENGESAHAN Peraturan Presiden Nomor 93 Tahun 2021 menjadi pintu masuk pemerintah untuk mengongkosi megaproyek kereta cepat Jakarta-Bandung dengan anggaran negara, menyimpang dari janji Presiden Joko Widodo dulu. Skenarionya, duit negara akan masuk lewat penyertaan modal negara (PMN) kepada PT Kereta Api Indonesia (Persero), yang kini ditunjuk sebagai pemimpin baru konsorsium badan usaha milik negara dalam proyek ini, menggantikan PT Wijaya Karya (Persero) Tbk. Negara kelak juga bisa memberikan penjaminan utang oleh operator, termasuk ketika pengoperasian kereta cepat tak kunjung mendatangkan keuntungan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bagi Didiek Hartantyo, Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia (Persero), perusahaannya amat memerlukan jaminan dari pemerintah. Kepada Retno Sulistyowati, Khairul Anam, dan Aisha Shaidra dari Tempo, Rabu, 3 November lalu, Didiek menjelaskan duduk soal proyek yang kini terancam bubar itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kapan pertama kali KAI dikabari untuk mengambil alih konsorsium BUMN dalam proyek ini?
Sekitar akhir 2019 atau awal 2020 sudah ada arahnya seperti itu. Makanya menaruh Pak Edo (Dwiyana Slamet Riyadi, sebelumnya memimpin anak usaha KAI) di PT Kereta Cepat Indonesia China sekitar Maret lalu.
Bagaimana perkembangan rencana suntikan PMN ke KAI untuk proyek ini?
Kami sedang mengupayakan pencairan dan proses dengan Kementerian Keuangan dan Kementerian Badan Usaha Milik Negara menyusul Peraturan Presiden (Perpres) 93 Tahun 2021. Harapannya November ini bisa cair.
Tidak menunggu hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP)?
Kalau itu (ekuitas dasar) enggak. BPKP itu nanti kalau ada cost overrun. Sebelum komite memutuskan jumlahnya, BPKP dulu yang review. Yang minta BPKP itu Menteri BUMN, setelah kami evaluasi dengan konsultan. Kami bakal review studi kelayakannya. Negosiasi cost overrun itu panjang banget karena kepentingannya macam-macam, ya. Makanya sampai sekarang soal cost overrun belum duduk, padahal harus segera ditangani.
Jadi layak atau tidak proyek ini sebenarnya?
Kalau ditanya feasible apa enggak, belum tahu, nih. Sekarang kami realistis, lihat Pak Erick Thohir (Menteri BUMN), Pak Tiko (Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo), realistis. Bikin perpres itu saja prosesnya enggak gampang. Berat.
Audit BPKP nanti hanya terhadap cost overrun atau total proyek konstruksi?
Saya belum komunikasi jelas, ya, dengan BPKP. Kalau saya sih maunya total saja, karena kalau dengar rapat dengan Komisi VI DPR kan audit investigatif, agar jelas. Saya sepakat. Saya sampaikan apa adanya.
Apakah sudah ada indikasi penyelewengan sehingga biaya menggelembung?
So far belum ada, ya. Maksud saya, kami belum bisa menyatakan sampai saat ini. Kami sudah memegang peran penting dalam proyek ini. Makanya tata kelola, efisiensi, selama ini dievaluasi. Kalau ada sinyalemen, itu biar saja nanti pada waktunya auditor yang akan membuktikan.
Kenapa akhirnya KAI mau? Apakah karena ada jaminan PMN?
Begini ya, saya akan membawa penugasan ini dengan tertib. Saya ingin bisnis kereta api tetap berkelanjutan. Bebannya berat. Sekarang ada tiga isu yang harus diselesaikan, base equity, cost overrun, dan defisiensi. Tiga hal itu risikonya harus ditanggung. Ini kan penugasan. Untuk menjalankan dana operasi sendiri saja kami struggle, nih.
Anda tidak takut proyek ini menjadi Kertajati kedua, tak laku?
Enggak. Saya sih optimistis, ya. Memang nanti ini perlu waktu. Kalau ekonomi kita tumbuh baik, akan mengubah gaya hidup orang Jakarta dan Bandung, akan lebih dekat. Mungkin harga tanah di Padalarang sana akan naik, orang bisa tinggal enak di sana, satu jam ke Jakarta, ada integrasi. Integrasi dan konektivitas itu penting. Akan kami dorong integrasi, antarmodanya akan terbangun.
Ada info tentang perusahaan yang ikut “bermain” dalam pembebasan lahan?
Saya enggak tahu nama PT-nya. Sewaktu pembebasan lahan saya tidak banyak masuk, dapat laporan dari Direktur Utama PSBI (Pilar Sinergi BUMN Indonesia) itu besaran saja. Kami tidak sampai ke siapa-siapanya. Bayangkan, kami cuma 25 persen. Kan, yang menjadi lead WIKA (Wijaya Karya). Kami enggak tahu.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo