Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ekonomi

Mengapa Transaksi di Bursa Karbon Sepi

Bursa karbon masih sepi pedagang dan pembeli. Proses sertifikasi dan registrasi unit karbon jadi penghambat.

8 Oktober 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Bursa Efek Indonesia sudah membuka transaksi bursa karbon pada 26 September lalu.

  • Unit karbon yang diperdagangkan di IDXCarbon masih sedikit.

  • Pengusaha harus antre untuk masuk sistem registri dan mendapat sertifikat dari pemerintah.

PERTENGAHAN Oktober nanti, Pertamina New and Renewable Energy (Pertamina NRE) tak lagi sendirian menjadi penjual unit karbon di Bursa Karbon Indonesia atau IDXCarbon. Menurut Direktur Utama Bursa Efek Indonesia Iman Rachman, tak lama lagi anak usaha PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) bakal masuk ke IDXCarbon, satu-satunya bursa karbon di Indonesia. “Akan segera meluncur dari PLN, lewat unit Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap (PLTGU) Muara Karang,” katanya dalam diskusi di Ritz-Carlton Pacific Place, Jakarta Pusat, Rabu malam, 4 Oktober lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IDXCarbon membuka transaksi sejak Selasa, 26 September lalu. Namun hingga kini baru Pertamina NRE yang berdagang unit karbon di sana. Pertamina NRE adalah anak usaha PT Pertamina (Persero) yang juga berperan sebagai agregator pasar karbon pada holding perusahaan minyak dan gas pelat merah itu. Pertamina NRE menawarkan unit karbon dari Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi Lahendong Unit 5 dan Unit 6 di Sulawesi Utara sebanyak 864 ribu ton setara karbon dioksida.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jika tak ada aral melintang, PLN akan melantai di bursa karbon pada pertengahan Oktober mendatang. Melalui keterangannya pada Jumat, 29 September lalu, Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan potensi unit karbon yang dimiliki PLTGU Blok 3 Muara Karang di Jakarta mencapai 900 juta ton setara karbon dioksida. "Saat PLN masuk bursa beberapa waktu ke depan, kami akan langsung menjadi pemilik SPE dengan penurunan emisi terbesar," tuturnya. 

Pertamina New and Renewable Energy (Pertamina NRE) sebagai penjual karbon di Indonesia Carbon Exchange atau IDXCarbon. Tempo/Tony Hartawan

SPE yang dimaksud Darmawan adalah Sertifikat Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca, surat bentuk bukti pengurangan emisi oleh kegiatan tertentu yang telah melalui mekanisme pengukuran, pelaporan, dan verifikasi. SPE GRK adalah pengakuan atas unit karbon yang dianggap sebagai efek atau surat berharga yang diperdagangkan di bursa karbon. 

Menurut Executive Vice President Komunikasi Korporat dan Tanggung Jawab Sosial PLN Gregorius Adi Trianto, SPE GRK PLTGU Muara Karang Blok 3 sudah diproses sesuai dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 21 Tahun 2022 tentang Tata Laksana Penerapan Nilai Ekonomi Karbon. Karena sudah tercatat dalam Sistem Registri Nasional Pengendalian Perubahan Iklim (SRN PPI) milik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, SPE GRK milik PLN ini siap diperdagangkan di bursa karbon. PLN harus menunggu sembilan bulan untuk semua proses ini.

Pencatatan dalam SRN PPI adalah syarat mutlak bagi setiap entitas yang hendak menjual unit karbon di bursa karbon. Agar bisa tercatat di sana, para calon "emiten" bursa karbon harus menjalani verifikasi aset sesuai dengan standar pemerintah. Verifikasi dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 

Jumlah entitas yang akan ke bursa karbon sebenarnya banyak. Saat membuka perdagangan di IDXCarbon pada Selasa, 26 September lalu, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan atau OJK Mahendra Siregar mengatakan ada 99 unit atau 85 persen dari pembangkit listrik di Indonesia yang bisa masuk ke bursa karbon tahun ini. Selain pembangkit listrik, menurut Mahendra, pelaku usaha kehutanan bakal meramaikan bursa karbon. “Belum lagi dari sektor pertanian, limbah, minyak dan gas, industri umum, serta yang akan menyusul dari sektor kelautan,” ucapnya.

Tapi tak semuanya seberuntung PLN atau Pertamina NRE yang sudah mengantongi sertifikat dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta masuk ke platform SRN PPI sehingga bisa langsung berdagang di IDXCarbon. Pelaku usaha kehutanan, misalnya, sampai saat ini sulit memenuhi syarat tersebut. 

Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia Purwadi Soeprihanto mengatakan para pemegang perizinan berusaha pemanfaatan hutan (PBPH) harus merevisi dokumen rencana kerja usaha. Perusahaan pemegang PBPH juga harus menyusun dokumen rencana aksi mitigasi dan mendaftarkannya di SRN PPI. “Dokumen-dokumen ini yang sedang disiapkan,” katanya kepada Tempo, Jumat, 6 Oktober lalu.

Yang cukup memprihatinkan, banyak pemegang PBPH dan pengelola hutan yang sudah mendapatkan sertifikat verifikasi unit karbon dari luar negeri tapi tak bisa masuk ke SRN PPI. Sebab, mereka harus lebih dulu lulus sertifikasi Kementerian Lingkungan Hidup. Padahal mereka sudah memperdagangkan karbon di pasar sukarela dengan pembeli dari luar negeri.

Salah satu contohnya adalah masyarakat di lima desa sekitar hutan lindung Bukit Panjang Rantau Bayur (Bujang Raba), Jambi. Mereka masih menunggu status karbon hutan yang mereka daftarkan bersama Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi ke SRN PPI. Menurut penasihat KKI Warsi, Rudi Syaf, status Bujang Raba berada di tahap III. Mereka harus antre, menunggu giliran menjalani verifikasi bersama ribuan entitas lain yang ingin masuk ke SRN PPI. 

Hingga Sabtu, 7 Oktober lalu, ada 9.318 proyek perubahan iklim yang antre masuk ke SRN PPI. Sebanyak 239 proyek terdaftar dan 183 lainnya terverifikasi. Data ini tak jauh berbeda dengan kondisi pada awal September lalu, yaitu 9.382 proyek perubahan iklim. Saat itu baru ada 238 proyek yang terdaftar dan 183 yang terverifikasi. Lambatnya proses verifikasi SRN PPI oleh Kementerian Lingkungan Hidup membuat para pemilik unit karbon mengeluh. “Sebenarnya tidak susah, tapi personel mereka kurang dan masih belum siap,” ucap seorang pengusaha kehutanan.

Rimba Raya Conservation menjadi contoh entitas yang masih menjumpai hambatan dalam proses validasi penerbitan sertifikasi nilai ekonomi karbon (NEK). Berdasarkan informasi yang diperoleh Tempo, dokumen validasi untuk Rimba Raya Conservation telah diserahkan kepada Kementerian Lingkungan Hidup pada 20 Desember tahun lalu. Area penghitungan karbon Rimba Raya adalah hutan seluas 36.331 hektare yang diperkirakan menghasilkan 2,7 juta kredit karbon per tahun hingga 2073. Aset ini sudah menjalani sertifikasi, tapi sertifikatnya belum terbit. "Harus ada validasi NEK dan SRN PPI belum siap,” tutur pengusaha tersebut.

Lain cerita dengan salah satu koperasi pelaku usaha biogas beranggotakan 146 ribu orang. Koperasi ini sudah memiliki sertifikat Gold Standard, organisasi pendaftar dan verifikator standar karbon yang dibentuk organisasi lingkungan internasional seperti Dana Dunia untuk Alam (WWF). Tapi di Indonesia sertifikat itu tak bisa masuk ke SRN PPI karena harus divalidasi ulang. 

Tempo berupaya meminta tanggapan Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang proses verifikasi dan sertifikasi SRN PPI. Namun hingga Sabtu, 7 Oktober lalu, belum ada jawaban. 

Karena masalah itu, perdagangan di IDXCarbon masih sepi. Hingga Jumat, 6 Oktober lalu, baru ada satu penjual dengan volume transaksi karbon 14 ton sebesar Rp 974.400. Harga pembukaan saat itu sebesar Rp 77 ribu, sementara harga penutupannya Rp 69.600 per unit karbon. Direktur Pengembangan Bursa Efek Indonesia Jeffrey Hendrik mengatakan transaksi sepi karena bursa karbon tidak seperti bursa saham yang sangat cair. Lagi pula, dia menambahkan, saat ini masih tahap awal dan pasarnya berbeda dengan bursa efek. "Jumlah pengguna jasa juga belum cukup banyak. Sosialisasi dan pertemuan masih kami lakukan," ujarnya.

Direktur Pengembangan Bursa Efek Indonesia Jeffrey Hendrik. Dok IDX

Iman Rachman, Direktur Utama Bursa Efek Indonesia, mengatakan masih banyak pihak yang menunggu penjelasan tentang regulasi teknis perdagangan karbon. Selain itu, dia menambahkan, belum ada insentif bagi pembeli serta disinsentif untuk pihak yang tidak membeli unit karbon. “Ada pula pilihan untuk membeli karbon atau bayar pajak karbon. Kalau pajak karbon lebih murah, buat apa membeli unit karbon?" katanya. Pemerintah kini masih menghitung tarif dan menyusun regulasi tentang pajak karbon.

Menurut Iman, bursa karbon juga tak ramai transaksi karena ternyata para pembeli unit karbon masih memegang aset yang mereka peroleh di bursa. Unit karbon itu akan mereka klaim suatu waktu sebagai bukti peran serta dalam pengurangan emisi. "Beda dengan saham, di mana kita bisa buy and sell. Bisa terlihat bahwa mereka membeli unit karbon lalu ditahan,” tuturnya.

Iman pun berusaha meyakinkan bahwa penjualan karbon di Bursa Efek Indonesia bakal lebih ramai. Dia mengaku sudah berdialog dengan sejumlah produsen karbon yang masih memiliki sisa batasan atau allowance untuk diperdagangkan tahun ini. Melalui skema allowance, perusahaan yang mengeluarkan sedikit emisi karbon bisa menjual sisa batasannya ke perusahaan yang mengeluarkan emisi karbon lebih besar dan melewati limit per tahun. Kalau mereka tidak membeli allowance, perusahaan yang mengeluarkan emisi berlebih harus membayar denda atau pajak. "Mereka akan melihat potensi tahun depan," ucap Iman.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Panjang Antrean, Sepi Pedagang"

 

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus