Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemerintah terpaksa menaikkan harga Pertamax.
Persoalan menumpuk di neraca Pertamina akibat kebijakan pemerintah.
PRESIDEN Widodo akhirnya sadar juga. Pemerintah memberikan lampu hijau bagi PT Pertamina (Persero) untuk menaikkan harga Pertamax, bahan bakar minyak dengan nilai oktan (RON) 92, per 1 April 2022. “Enggak mungkin kita tidak menaikkan yang namanya BBM, enggak mungkin,” kata Jokowi ketika membuka sidang kabinet paripurna di Istana Negara, Selasa, 5 April lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ekonomi dunia tengah diguncang ledakan inflasi di mana-mana, yang terutama didorong kenaikan harga komoditas energi dan pangan. Semula Jokowi mengira bisa mencegah kenaikan harga menular ke Indonesia. “Saya kira sudah kita tahan-tahan agar tidak terjadi kenaikan,” ujarnya. “Tapi saya kira situasinya memang tidak memungkinkan.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di sektor energi, harga minyak mentah terus melambung sejak pertengahan 2021, beriringan dengan lonjakan harga minyak sawit dan batu bara. Puncaknya, pada 8 Maret lalu, minyak Brent—yang menjadi acuan bagi dua pertiga minyak dunia—sempat diperdagangkan senilai US$ 130 per barel, rekor tertinggi sejak Juli 2008.
Suasana rapat kerja antara Pertamina dan Komisi VII DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 6 April 2022. ANTARA/Galih Pradipta
Sejak saat itu, harga minyak mentah dunia memang mulai menurun. Per Kamis, 7 April lalu, Brent diperdagangkan di harga US$ 100,58 per barel. Namun pasar masih diliputi kecemasan akan pasokan minyak mentah yang berpotensi kembali surut sehingga bisa memompa harga lagi. Invasi Rusia ke Ukraina dan tarik-menarik kepentingan di antara anggota organisasi negara pengekspor minyak (OPEC) membuat semuanya serba tak pasti.
Selama periode kenaikan harga minyak mentah dan tren pasar yang penuh ketidakpastian itu, Pertamina tak punya ruang untuk mengambil langkah strategis. Sudah lama perseroan tak kuasa mengatur harga produknya, termasuk Pertamax dan Pertalite (RON 90) yang tak tergolong BBM penugasan alias bersubsidi dan paling banyak dikonsumsi masyarakat. “Dalam konteks aksi korporasi, harus atas persetujuan pemegang saham, yaitu pemerintah,” tutur Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro, Sabtu, 9 April lalu.
Sementara itu, harga BBM sejenis di stasiun pengisian bahan bakar umum peretail lain melompat-lompat sejak Januari lalu. Kala itu, harga keekonomian minyak sejenis Pertamax sudah melampaui Rp 14 ribu per liter, jauh di atas harga jual Pertamina yang masih di kisaran Rp 9.000 per liter.
Selisih per liter sebesar itu untuk sementara kudu ditanggung Pertamina. Harga jual yang jauh di bawah nilai keekonomian itu pun bukan baru kali ini didapat perseroan. Penyebabnya, seperti disebutkan Komaidi, adalah sikap pemerintah yang abu-abu mengurus BBM.
Pada awal periode pertama pemerintahannya, akhir 2014, Presiden Joko Widodo sempat membuat gebrakan: mencabut subsidi BBM jenis Premium (RON 88) yang sudah lama disinyalir tak tepat sasaran. Subsidi bersyarat dipertahankan hanya pada minyak solar. Kebijakan ini diklaim berhasil menghemat anggaran subsidi energi sampai Rp 200 triliun.
Namun, tak lama kemudian, pemerintah mengganti skema subsidi menjadi penugasan kepada Pertamina. Badan usaha milik negara ini dipaksa menyediakan dan mendistribusikan Premium dengan harga terjangkau—ditetapkan atas persetujuan pemerintah. Untuk menutup selisih harga jual dan biaya produksi plus marginnya, pemerintah menjanjikan kompensasi kepada Pertamina. “Saat dihadapkan antara membebankan ke konsumen atau dibebankan pada APBN, pemerintah tidak mengambil keduanya, justru digeser ke BUMN,” ucap Komaidi.
Celakanya, kompensasi yang dijanjikan tak serta-merta lunas dibayarkan oleh pemerintah. Walhasil, tunggakan yang tercatat sebagai piutang pemerintah di buku Pertamina ini terus menumpuk. Tak hanya menunggak pembayaran selisih harga BBM nonsubsidi, pemerintah juga belum lunas membayar selisih harga BBM bersubsidi kepada Pertamina. Tunggakan kompensasi ini mirip dengan piutang pemerintah kepada PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang timbul akibat keputusan pemerintah menahan tarif listrik kendati nilainya jauh di bawah biaya pokok penyediaan.
Akhir Maret lalu, ketika memaparkan realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga menyinggung persoalan ini. Menurut dia, nilai utang pemerintah yang mesti dibayarkan kepada Pertamina dan PLN sampai akhir 2021 sebesar Rp 109 triliun. Pemerintah belum melunasi kewajiban itu sampai saat ini.
Subsidi “abu-abu” berkedok penugasan ini dinilai membebani kas Pertamina. Dalam hitungan Komaidi, beban Pertamina amat berat lantaran perseroan setiap hari kudu menyiapkan sekitar US$ 6 juta—atau kini sekitar Rp 85 miliar—untuk pengadaan minyak mentah dari pasar.
Kondisinya memburuk ketika harga minyak mentah dunia kini bergerak di atas US$ 100 per barel. Sedangkan APBN 2022 disusun dengan asumsi harga minyak mentah Indonesia (ICP) sebesar US$ 63 per barel. Komaidi khawatir persoalan ini berdampak serius pada kemampuan Pertamina menjaga stok produknya, termasuk Pertalite yang kini beralih status menjadi BBM penugasan—menggantikan Premium.
Dalam catatan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, konsumsi Pertalite telah melampaui kuota yang ditetapkan. Hingga Februari 2022, volumenya telah mencapai 4,26 juta kiloliter, atau 18,5 persen dari total kuota Pertalite sepanjang tahun ini yang ditetapkan sebanyak 23,05 juta kiloliter.
Masalah yang sama terjadi pada solar, yang tahun ini kuotanya ditetapkan sebesar 15,1 juta kiloliter. “Hari ini kita sudah overquota 13 persen. Secara penyaluran seharusnya tidak boleh overquota karena ini anggaran APBN, ini uang rakyat," kata Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat, yang membidangi sektor energi, pada Rabu, 6 April lalu.
Pertamina menegaskan, stok BBM nasional masih cukup aman. Tapi persoalannya kini jelas makin ruwet akibat tumpukan masalah dari tahun-tahun sebelumnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo