Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kenaikan harga BBM menimbulkan kegaduhan di SPBU hingga Istana Negara.
Tekanan berat harga minyak dunia tak hanya dialami APBN, tapi juga neraca keuangan Pertamina.
Gangguan arus kas Pertamina dikhawatirkan mengancam keamanan stok BBM nasional.
MASIH berseragam putih abu-abu, Ilham Amijudin masuk ke barisan kendaraan di stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) Jalan Pajajaran, Kota Bogor, Jawa Barat. Sore itu, Kamis, 7 April lalu, dia nekat antre hendak mengisi Pertamax meski deretan sepeda motor yang lebih dulu menunggu giliran begitu panjang. Jarum indikator tangki bensin Honda Beat-nya di bawah huruf “E” alias kosong.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ilham mematikan mesin, mendorong sepeda motornya menuju nozzle Pertalite. Gilirannya baru tiba sekitar setengah jam kemudian. Kepada petugas SPBU, pelajar kelas dua di salah satu sekolah menengah kejuruan di Bogor itu menyodorkan selembar uang Rp 10 ribu. “Uang saya cuma itu,” kata Ilham ketika dihampiri Tempo. Dia menyengir. “Masak, mau ngisi Pertamax.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Antrean panjang sore itu tak hanya terjadi di lajur pengisian BBM untuk kendaraan roda dua, tapi juga di lajur roda empat. Sebagian pengendara mobil mengaku belum lama pindah menjadi konsumen Pertalite. “Waktu harganya masih sekitar Rp 9.000, saya isi Pertamax. Tapi, setelah naik, ternyata berat juga. Akhirnya saya pakai Pertalite,” ujar Eko Hadian, pengusaha toko kelontong di kawasan Sindangbarang, Kota Bogor, yang datang ke SPBU dengan Toyota Avanza miliknya.
Per 1 April 2022, PT Pertamina (Persero) menaikkan harga Pertamax, BBM dengan nilai oktan (RON) 92 dari semula Rp 9.000 menjadi Rp 12.500 per liter. Harga jual baru Pertamax ini bisa lebih mahal sesuai dengan daerah distribusi—termahal Rp 13 ribu per liter di Provinsi Riau dan Provinsi Kepulauan Riau.
Adapun harga Pertalite tak berubah, Rp 7.650 per liter di semua penjuru daerah. Harga jual eceran ini ditetapkan pemerintah—lewat Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral—yang menetapkan bensin dengan RON 90 tersebut sebagai BBM penugasan, menggantikan Premium (RON 88).
Diumumkan pada Kamis, 31 Maret lalu, penetapan harga baru ini mendadak sontak memompa permintaan Pertalite. Antrean panjang pengisian BBM terjadi di sejumlah daerah. Sepekan terakhir, kabar kelangkaan solar, BBM bersubsidi, menambah runyam masalah lantaran memantik protes sejumlah pelaku industri.
Baranya sampai ke Istana Negara. Ketika membuka sidang kabinet paripurna, Rabu, 5 April lalu, Presiden Joko Widodo tak bisa menyembunyikan kekesalannya. Dia menegur para pembantunya yang tak memberikan penjelasan kepada masyarakat alasan kenaikan harga BBM. “Diceritain, dong, kepada rakyat, ada empati kita gitu, lho,” ucap Jokowi. “Dianggap kita ini enggak ngapa-ngapain, enggak kerja.”
•••
SIKAP pemerintah terhadap harga BBM menjadi teka-teki sebulan terakhir, bersamaan dengan memuncaknya polemik harga dan pasokan minyak goreng yang lebih dulu mencuat. Medio Maret lalu, Presiden Joko Widodo sempat menyinggung masalah kemampuan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara menahan harga bahan bakar minyak. Tekanan terhadap pemerintah tengah meningkat, lonjakan harga minyak mentah dunia telah mencetak rekor tertinggi di awal bulan itu, jauh di atas asumsi harga minyak mentah Indonesia (ICP) pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2022.
Tekanan terbesar sebenarnya dialami Pertamina, yang menanggung penugasan pemerintah untuk penyaluran BBM subsidi dan nonsubsidi. Harga jual eceran Pertamax dan Pertalite, dua jenis BBM yang paling banyak dikonsumsi konsumen, sudah jauh di bawah harga keekonomian. Setiap detik yang berlalu akibat keputusan pemerintah menahan harga BBM kudu dibayar dengan bertambahnya beban APBN untuk membayar kompensasi kepada Pertamina atas selisih harga tersebut.
Pemerintah dan Pertamina sebenarnya telah memberikan sinyal bakal ada kebijakan baru harga BBM. Pembahasan melibatkan Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan. Khusus pada produk Pertalite dan Pertamax, ada persoalan mendasar. Dalam setiap liter produk Pertalite mengandung BBM penugasan jenis Premium (RON 88) dan BBM nonsubsidi Pertamax, dengan porsi separuh-separuh. Pencampuran dua jenis produk BBM di Pertalite itulah, yakni Premium dan Pertamax, yang membuat pemerintah perlu membuat rumusan formula dana kompensasi BBM yang pas sebelum mengambil keputusan.
Hingga kenaikan harga BBM tak bisa dibendung. “Enggak mungkin kita tidak menaikkan yang namanya BBM, enggak mungkin. Karena itu, kemarin naik Pertamax,” tutur Jokowi dalam sidang kabinet paripurna, Rabu, 5 April lalu.
Pemerintah memberikan lampu hijau bagi Pertamina untuk menaikkan harga Pertamax. Sedangkan harga Pertalite dipertahankan dengan status BBM penugasan. Pemerintah akan menanggung kompensasi atas selisih antara harga jual produk ini dan nilai keekonomiannya. Bila mengacu pada harga BBM RON 90 di SPBU BP-AKR yang saat ini senilai Rp 12.500 per liter, kompensasi yang harus ditanggung pemerintah sekitar Rp 4.850 per liter.
Masalahnya, kebijakan pemerintah yang menetapkan Pertalite menjadi BBM penugasan itu ditengarai tak akan cukup untuk menyelamatkan kondisi arus kas Pertamina yang telanjur babak belur. Sepanjang paruh kedua 2021, perusahaan harus menanggung sendiri selisih antara harga Pertalite dan harga pasar. Saat itu Pertalite masih tergolong BBM non-penugasan.
Kerugian sementara—karena produk harus dijual di bawah harga keekonomian dengan janji penggantian kompensasi oleh negara yang pembayarannya juga tersendat—pada bisnis Pertalite cukup besar. Porsi penjualan produk ini paling banyak, mencapai 80 persen dari total penjualan BBM Pertamina. Sedangkan separuh dari bahan bakunya, yakni produk Pertamax, tak ditanggung dalam skema kompensasi alias subsidi oleh negara.
Ketika pemerintah memerintahkan Pertamina tak menaikkan harga Pertalite, cash flow pun terkuras lantaran perseroan harus menyiapkan bahan baku minyak mentah ataupun BBM olahan dari pasar yang harganya sedang melonjak. Belakangan, pemerintah menyatakan akan memberikan kompensasi atas tidak naiknya harga Pertalite tersebut. Nilainya hampir Rp 100 triliun.
Bukan Pertalite saja yang membuat keuangan Pertamina karut-marut. Penjualan Pertamax juga turut membuat angka kerugian pada lini pemasaran BBM makin menganga. Sudah sekitar tiga tahun terakhir harga produk BBM ini dipertahankan. Terakhir kali koreksi dilakukan pada 1 Februari 2020, dengan menurunkan harga dari Rp 9.200 menjadi Rp 9.000 per liter. Sedangkan sepanjang 2021, ketika harga minyak dunia berbalik melambung tinggi, Pertamina diminta pemerintah menjaga harga Pertamax dengan dalih mencegah turunnya daya beli masyarakat yang sudah tergerus di masa pandemi Covid-19.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Kementerian Energi Tutuka Ariadji (tengah), didampingi Dirut Pertamina Nicke Widyawati (kiri) bersiap mengikuti rapat dengan Komisi VII DPR membahas dampak kenaikah harga minyak mentah dunia terhadap harga dan penyaluran bahan bakar di dalam negeri, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 29 Maret 2022. ANTARA/Akbar Nugroho Gumay
Kerugian makin berlipat. Harga minyak mentah Indonesia (ICP) melambung tinggi mengikuti pergerakan harga minyak mentah dunia. Per Maret 2022, ICP tercatat US$ 114,55 per barel, naik lebih dari 56 persen dibanding posisi Desember 2021 yang sebesar US$ 73,36 per barel.
Pada periode ini, peretail BBM lain seperti Shell telah memasang harga Rp 12.990 per liter untuk produk RON 92. Terhitung mulai Senin, 4 April lalu, Shell kembali menaikkan harga produk setara Pertamax ini menjadi Rp 16.500 per liter.
Tak hanya buat berbelanja BBM, arus kas Pertamina juga terkuras untuk mengimpor elpiji. Seorang petinggi perseroan bercerita, selama dua bulan pertama 2022, Pertamina telah mencetak rugi bersih (unaudited) US$ 1,05 miliar alias hampir Rp 15 triliun. Sedangkan cash flow dari kegiatan operasi pada dua bulan pertama 2022 sudah minus US$ 1,8 miliar atau sekitar Rp 28 triliun. “Cash flow bisa tertolong jika piutang pemerintah dibayar,” ujarnya.
Selain soal piutang dana kompensasi senilai hampir Rp 100 triliun, pemerintah belum membereskan sisa tunggakan pencairan subsidi tahun-tahun sebelumnya yang menumpuk. “Nilainya sekitar Rp 59 triliun,” kata pejabat itu.
Hingga pekan lalu, belum ada kepastian pencairan dana kompensasi yang dijanjikan pemerintah kepada Pertamina. Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Isa Rachmatarwata tak merespons permintaan penjelasan Tempo. Adapun Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo mengatakan proses pencairan dana kompensasi saat ini sedang dilakukan. “Sedang berproses secara formal,” ucapnya.
•••
MASALAH keuangan di tubuh Pertamina menjadi sorotan dalam rapat dengar pendapat antara direksi perseroan dan Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat, yang membidangi badan usaha milik negara dan perdagangan, Selasa, 29 Maret lalu. Wakil Ketua Komisi VI dari Fraksi Partai Golkar, Muhammad Sarmuji, menilai permasalahan utamanya tidak hanya berkaitan dengan laba-rugi perusahaan, tapi juga arus kas. “Bagaimana nasib Pertamina? Pasti di ujung tanduk karena tekanan cash flow ini,” tutur Sarmuji saat itu.
Nusron Wahid, anggota Komisi VI yang juga dari Fraksi Partai Golkar, terang-terangan mempertanyakan daya tahan perusahaan. “Dengan asumsi seperti ini, kira-kira cash flow-nya bertahan berapa lama?” kata Nusron. “Ini emergency, harus ada solusi. Kalau tidak, yang bengkak (kerugiannya) Pertamina. Sudah harga enggak naik, bahan baku meningkat terus.”
Kekhawatiran terbesar jika arus kas Pertamina terganggu adalah turunnya kemampuan belanja modal, yang bisa berdampak pada ketahanan stok BBM nasional. Dalam rapat bersama Komisi VI DPR itu terungkap stok Pertalite di terminal BBM Pertamina sempat amat rendah, per 27 Maret 2022 hanya tahan untuk pasokan 7,54 hari. Angka ini belum mencakup stok di kilang yang hanya tahan untuk 2,27 hari dan stok di pengapalan selama 5,9 hari.
Napas Pertamina yang mulai ngos-ngosan juga tampak dalam laporan keuangan konsolidasi. Per 30 Juni 2021, net cash flow sebesar US$ 1,56 miliar atau sekitar Rp 22,4 triliun, menyusut 32 persen dibanding pada periode yang sama tahun sebelumnya yang masih senilai US$ 2,28 miliar.
Adapun posisi piutang pemerintah mencapai US$ 4,87 miliar atau sekitar Rp 69,6 triliun—dengan kurs Rp 14.300 per dolar Amerika Serikat. Di antara tunggakan tersebut, hanya US$ 1,77 miliar yang tercatat sebagai piutang lancar. Utang pemerintah kepada Pertamina ini bertambah dibanding posisi akhir 2020 yang hanya senilai US$ 4,54 miliar.
Tahun ini, menurut seorang petinggi Pertamina, dana kompensasi yang bisa dicairkan mungkin hanya Rp 15 triliun. Ia khawatir rendahnya pencairan dana kompensasi itu akan berdampak meningkatnya pinjaman jangka pendek perusahaan. Per semester I 2021, pinjaman jangka pendek Pertamina mencapai US$ 1,01 miliar atau sekitar Rp 14,59 triliun, meningkat dibanding posisi Desember 2020 yang hanya US$ 133,92 juta.
Rasio utang terhadap ekuitas (debt-to-equity ratio/DER) perseroan juga telah meningkat dari 62,08 persen pada akhir 2020 menjadi 69,15 persen per 30 Juni 2021. Tingginya DER menunjukkan sebagian besar modal kerja perusahaan dibiayai kredit, bukan berasal dari kantong sendiri. Kondisi ini biasanya menjadi alarm bagi pemilik dan manajemen perusahaan.
Lembaga pemeringkat internasional, Moody’s, juga mencermati masalah di tubuh Pertamina. Selama sembilan bulan pertama 2021, pendapatan perusahaan yang belum dikurangi bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi (EBITDA) Pertamina turun 23 persen secara tahunan menjadi US$ 4,4 miliar. Padahal pada periode itu harga minyak mentah Brent meningkat sekitar 60 persen. Pertamina berharap sebagian kerugian dapat dikompensasikan dengan subsidi dan penggantian biaya dari pemerintah.
Vice President Corporate Communications Pertamina Fajriyah Usman optimistis pemerintah akan memberikan kompensasi atas selisih harga jual dengan harga keekonomian BBM—yang saat ini ditaksir mencapai Rp 4.000-4.500 per liter. Masalahnya, dalam pelaksanaanya, Pertamina harus menanggung dulu selisih harga tersebut. Kompensasi akan diperhitungkan pada akhir tahun dan diaudit Badan Pemeriksa Keuangan. Dari pengalaman selama ini, hasil audit dan nilai yang diakui perseroan bisa berbeda sehingga perlu dilakukan penyesuaian.
Adapun kenaikan harga Pertamax menjadi Rp 12.500 saat ini, kata Fajriyah, hanya sedikit mengurangi tekanan terhadap cash flow. Sebab, harga baru masih jauh dari nilai keekonomian yang saat ini sekitar Rp16 ribu per liter. Artinya, Pertamina masih menanggung selisih harga sekitar Rp 3.500 per liter. “Tentu kondisi ini masih lebih baik dibanding beberapa bulan sebelumnya, ketika harga Pertamax dipertahankan di level Rp 9.000.”
Untuk mengurangi tekanan terhadap keuangan, Pertamina menjaga cash flow dengan menyeimbangkan keuntungan di sektor hulu dengan beban berat di sektor hilir. Selain itu, perseroan mengupayakan efisiensi di berbagai lini bisnis.
Fajriyah justru mewanti-wanti bahwa penggunaan Pertalite, sebagai BBM bersubsidi, kini dibatasi lewat kuota. Pemerintah menetapkan kuota BBM bersubsidi sebesar 23,05 juta kiloliter pada 2022. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mencatat penyaluran Pertalite selama dua bulan pertama 2022 sebanyak 4,25 juta kiloliter. Jumlah ini sudah 18,5 persen melebihi jatah pendistribusian bulanan yang ditetapkan.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Kementerian Energi Tutuka Ariadji memaparkan dua skenario penyaluran Pertalite pada tahun ini. Pertama, skenario normal yang disesuaikan dengan permintaan. Tapi skema penyaluran ini berpotensi melampaui kuota hingga 15 persen menjadi 26,5 juta kiloliter. Sedangkan skenario kedua menggunakan pola pendistribusian berdasarkan kuota bulanan sehingga diharapkan tidak terjadi pembengkakan volume penyaluran pada akhir tahun.
Fajriyah memastikan Pertamina akan menjaga stok BBM nasional tetap aman. Melalui command centre, ujar dia, perusahaan memonitor stok dan proses distribusi secara real-time. “Jika ada SPBU yang stok-nya menipis, kami akan memprioritaskan pengiriman BBM-nya,”
Dalam beberapa pekan ke depan, akan makin terlihat bagaimana ujung semua persoalan ini.
M. SIDIK PERMANA (BOGOR)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo