Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Cina mengalami deflasi yang menjadi gejala melambatnya ekonomi.
Kebijakan pascapandemi belum berhasil mengerek ekonomi Cina.
Indonesia bakal terkena dampak langsung lesunya ekonomi Cina.
KEKHAWATIRAN pasar mulai menjadi kenyataan. Dua bulan lalu, ketika angka inflasi di Cina persis berada di ambang deflasi, banyak analis cemas ekonomi Negeri Tirai Bambu akan segera jatuh ke siklus perlambatan. Kini data mutakhir per akhir Juli 2023 jelas menunjukkan pemburukan itu. Cina mengalami deflasi 0,3 persen dalam setahun terakhir.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Deflasi merupakan sinyal awal terjadinya kontraksi ekonomi. Alih-alih tumbuh, ekonomi susut. Jika melihat data, ekonomi Cina tampak makin melambat. Antara kuartal pertama dan kuartal kedua tahun ini, tingkat pertumbuhan ekonomi Cina hanya 0,8 persen. Berbagai indikator lain juga memberikan sinyal mencemaskan. Pertumbuhan kredit perbankan jatuh ke titik terendah dalam 14 bulan terakhir. Nilai ekspor selama Juli turun 14,5 persen dibanding pada Juli tahun lalu. Ini adalah penurunan nilai ekspor terbesar sejak awal masa pandemi Covid-19.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam situasi seperti ini, pasar finansial global amat berharap pemerintah Cina akan menggelontorkan stimulus besar-besaran. Setiap tahun pada pertengahan Agustus, para pejabat tinggi Cina berkumpul di Beidaihe, sebuah resor di pinggir pantai, sekitar 250 kilometer dari Beijing. Selain digelar untuk retret, berteduh dari hawa musim panas yang menyengat, pertemuan tahunan itu merupakan ajang pembuatan keputusan penting. Tahun ini, pasar menunggu keputusan pemerintah yang lebih agresif agar Cina tak makin terperosok ke dalam kelesuan panjang.
Harapan itu tak terkabul. Memang, People’s Bank of China, bank sentral Cina, pekan lalu menurunkan suku bunga acuan 0,15 persen menjadi 2,5 persen. Penurunan bunga acuan ini adalah yang terbesar sejak 2020. Namun analis menilai ekonomi Cina membutuhkan kebijakan stimulus yang jauh lebih kuat agar tidak terus melorot. Penurunan bunga saja tidaklah cukup.
Umumnya, ketika kelesuan ekonomi datang, pemerintah di berbagai negara akan segera memberi stimulus dengan menyuntikkan bantuan tunai ataupun kredit secara langsung baik kepada konsumen maupun pebisnis kelas kecil-menengah. Targetnya, daya beli masyarakat meningkat. Ekonomi bisa bergerak lebih kencang karena dorongan konsumsi dan tarikan aktivitas usaha kecil-menengah. Kebijakan agresif yang penting untuk mencegah perlambatan ini sama sekali belum terlihat di Cina.
Yang lebih parah, Beijing malah cenderung menutup diri. Pemerintah Cina tak menerbitkan lagi data pengangguran di kalangan muda (usia 16-24 tahun). Per akhir Juni lalu, data ini memang menggegerkan. Ada 21,3 persen orang muda Cina yang menganggur, rekor terburuk semenjak data ini mulai dipublikasikan pada 2018. Membengkaknya angka pengangguran ini menunjukkan betapa ekonomi Cina tidak berhasil pulih setelah terbelenggu sangat ketat selama masa pandemi Covid-19. Berbagai akibat buruk kekeliruan kebijakan dalam penanganan pagebluk itulah yang kini mulai membebani ekonomi Cina.
Celakanya, pada banyak negara yang selama ini berseteru dengan Cina, muncul schadenfreude atau perasaan senang melihat kesusahan orang lain. Presiden Amerika Serikat Joe Biden, misalnya, malah melontarkan olok-olok bahwa masalah ekonomi Cina adalah bom waktu yang siap meledak. Dan jika orang jahat sedang dalam masalah, mereka bisa melakukan hal-hal buruk, begitu kata Biden.
Senang melihat kesusahan orang lain memang manusiawi. Namun kelesuan yang tengah menyergap ekonomi terbesar kedua dunia ini semestinya justru mendorong otoritas ekonomi di berbagai negara bekerja sama, bukannya melontarkan olok-olok yang hanya akan memperburuk keadaan. Sebab, banyak sekali negara yang amat bergantung pada kesehatan dan pertumbuhan ekonomi Cina. Sikap schadenfreude sungguh ironis mengingat ekonomi global masih memerlukan Cina sebagai lokomotif penggerak.
Ekonomi Indonesia, misalnya, akan terkena imbas buruk yang amat serius jika nilai ekspor berbagai komoditas ambruk karena harga makin merosot terseret buruknya kondisi ekonomi Cina. Celakanya, seperti halnya Biden, saat ini energi dan waktu para politikus Indonesia makin tersedot oleh urusan pemilihan presiden. Entah siapa yang akan serius memikirkan dan menyiapkan antisipasi jika kondisi kian buruk.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Ironi Schadenfreude Saat Cina Loyo"