Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Aturan wajib simpan devisa hasil ekspor berlaku mulai Agustus.
Kurs rupiah tetap melemah meski aturan devisa berlaku.
Ada tarik-ulur dan lobi yang membuat aturan penyimpanan devisa tak berdaya.
EKSPORTIR hasil alam Indonesia tak bebas lagi menyimpan devisa di luar negeri. Ada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2023 tentang devisa hasil ekspor sumber daya alam yang berlaku mulai bulan ini. Aturan ini mewajibkan paling sedikit 30 persen devisa hasil ekspor dari empat bidang usaha (pertambangan, perkebunan, kehutanan, dan perikanan) disimpan di bank dalam negeri dan masuk ke sistem keuangan Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berdasarkan penerimaan ekspor Indonesia dari empat bidang tersebut tahun lalu, Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto menghitung ada potensi tambahan cadangan devisa senilai US$ 60,9 miliar per tahun. Jika cadangan devisa membesar, rupiah berpotensi menguat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sayangnya, jika melihat pergerakan kurs rupiah belakangan ini, pasar finansial rupanya tidak seyakin Airlangga. Pasar tak menganggap ada potensi cadangan devisa menggemuk. Alih-alih menguat, kurs rupiah justru melemah sejak akhir bulan lalu. Per 11 Agustus 2023, kurs rupiah sebesar 15.222 per dolar Amerika Serikat, melemah sekitar 1,78 persen dalam sebulan terakhir.
Indonesia memang memerlukan aturan yang bisa memaksakan masuknya devisa hasil ekspor. Devisa yang melimpah di dalam negeri amat bermanfaat bagi ekonomi kita. Nilai rupiah lebih stabil. Posisi neraca pembayaran pun lebih kuat.
Sedangkan yang terjadi selama ini terasa ironis. Neraca perdagangan Indonesia surplus, terutama dari eksploitasi sumber daya alam dalam skala yang sangat masif. Buat negara, ongkos mencapai surplus neraca perdagangan itu tidaklah murah. Bumi Indonesia bolong-bolong karena deposit batu bara dan nikelnya dikeruk. Hutan-hutan tropis juga harus rela tergusur perkebunan sawit. Namun devisa dari hasil penjualan komoditas-komoditas itu lebih banyak parkir di luar negeri.
Walhasil, meski angka surplus perdagangannya melejit, cadangan devisa Indonesia tak melambung tinggi. Ini salah satu gambarannya. Per akhir Juli 2023, posisi cadangan devisa Indonesia US$ 137,7 miliar, nyaris tak bertambah ketimbang posisi di akhir 2022 yang sebesar US$ 137,2 miliar. Padahal, selama semester I 2023, Indonesia menikmati surplus perdagangan US$ 19,93 miliar. Nyata betul, tak ada aliran devisa yang menggemukkan cadangan devisa dari surplus perdagangan sebesar itu.
Bisakah PP baru itu memperbaiki situasi? Melihat reaksi pasar yang tampak datar-datar saja—rupiah malah cenderung melemah—sepertinya PP baru itu masih kurang efektif, belum cukup kuat memaksakan masuknya devisa hasil ekspor sumber daya alam.
Persoalan utama sepertinya ada pada batas minimal yang cuma 30 persen. Batas ini terasa terlalu kecil. Tanpa ada PP itu pun eksportir tentu harus membawa sebagian devisa hasil ekspornya ke Indonesia untuk mengongkosi berbagai keperluan, seperti membayar gaji dan berbagai kebutuhan operasi lain. PP itu akan lebih berdaya menambah jumlah devisa yang parkir di dalam negeri jika batas minimalnya lebih besar.
Padahal, untuk batas minimal serendah itu, PP Nomor 36 Tahun 2023 juga memberikan insentif menarik bagi eksportir. Misalnya ada keringanan pajak penghasilan (PPh) jika devisa hasil ekspor itu disimpan di deposito bank dalam negeri. Deposito biasa yang uangnya tak berasal dari devisa hasil ekspor dikenai tarif PPh 20 persen, sementara tarif deposito hasil ekspor hanya 10 persen untuk tenor satu bulan, 7,5 persen untuk tenor tiga bulan, dan 2,5 persen untuk tenor enam bulan. Dus, tanpa ada iming-iming fasilitas ekstra dari pemerintah itu pun devisa akan masuk ke dalam negeri.
Pengaturan devisa hasil ekspor memang hasil kompromi. Tentu, eksportir tak senang kehilangan kebebasan menyimpan devisa di mana saja yang mereka sukai. Selalu ada lobi kuat dari pengusaha batu bara, nikel, ataupun sawit agar pemerintah tidak menetapkan batas kewajiban yang lebih besar. Tarik-ulur lobi inilah yang membuat penerbitan PP itu sempat tertunda-tunda sebelum akhirnya keluar dengan batas minimal yang tak berdampak besar.
Pemerintah terlihat tak cukup berdaya melawan desakan pengusaha kakap. Rupiah tak akan mendapat banyak dorongan positif dari aturan baru tentang devisa hasil ekspor yang tak terlalu bergigi itu.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Upaya Tanggung Menarik Devisa "