Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kementerian BUMN menggodok skema restrukturisasi keuangan PT Rekayasa Industri.
Rapor merah keuangan PT Rekayasa Industri ditengarai berimbas ke porsi perusahaan di konsorsium proyek kilang olefin TPPI.
Sejumlah proyek jumbo PT Rekayasa Industri lainnya juga terhambat pandemi.
TERPILIH sebagai salah satu calon penggarap megaproyek kilang olefin dan aromatik di kompleks PT Trans-Pacific Petrochemical Indotama (TPPI), Tuban, Jawa Timur, tak otomatis membuat PT Rekayasa Industri alias Rekind bernapas lega. Anak perusahaan PT Pupuk Indonesia (Persero), induk holding badan usaha milik negara sektor industri pupuk, ini sedang diterpa seabrek masalah keuangan. “Saat ini restrukturisasi Rekind masih berjalan. Kami sedang melakukan berbagai kajian dengan berbagai pihak, termasuk konsultan,” tutur Wijaya Laksana, Kepala Komunikasi Korporat PT Pupuk Indonesia (Persero), pada Jumat, 17 September lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wijaya belum bisa memaparkan detail rencana restrukturisasi Rekind. Namun sumber Tempo di lingkungan holding BUMN pupuk mengungkapkan, Wakil Menteri BUMN I Pahala Mansury ikut dalam rapat-rapat virtual sebulan terakhir bersama direksi Pupuk Indonesia dan Rekayasa Industri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pupuk Indonesia telah menunjuk PT Mandiri Sekuritas untuk membantu restrukturisasi. Di antara skema yang disiapkan, Pupuk Indonesia bakal menyuntikkan dana ke Rekayasa Industri, yang tengah terimpit masalah ekuitas dan likuiditas.
Hingga akhir pekan lalu, Rekayasa Industri belum merilis laporan keuangan 2020. Namun buruknya kinerja keuangan perseroan tergambar dalam laporan tahunan induknya, Pupuk Indonesia, yang dipublikasikan pada Agustus lalu. Dalam laporan itu, Pupuk Indonesia mencatat kinerja holding di segmen jasa konstruksi—yang dijalankan Rekind—merugi hingga Rp 1,63 triliun.
Di tengah memburuknya kinerja keuangan, angin segar datang pada 6 September lalu. PT Kilang Pertamina Internasional, anak usaha PT Pertamina (Persero), mengumumkan konsorsium Hyundai Engineering Co Ltd, PT Rekayasa Industri, PT Enviromate Technology International, dan Saipem SpA sebagai satu dari dua pemenang tender desain proyek kilang olefin TPPI. Konsorsium Hyundai-Rekind ini akan bersaing dengan konsorsium Technip Italy SpA, PT Tripatra Engineers and Constructors, PT Technip Indonesia, dan Samsung Engineering Co Ltd. Kelak pemenang kompetisi rancang desain ini akan menjadi pelaksana pembangunan kilang senilai Rp 50 triliun.
Kemenangan sementara itu tak cuma-cuma. Biang persoalan balik ke kondisi keuangan Rekind yang masih megap-megap. Kerugian perseroan pada 2020 dikabarkan membuat konsorsium Hyundai sempat diragukan bakal mampu menangani megaproyek kelak di tahap konstruksi.
Sumber Tempo yang mengetahui proses tender ini mengungkapkan, persoalan itu akhirnya diatasi dengan mengurangi porsi pendanaan Rekind dalam konsorsium, dari semula sekitar 17 persen menjadi 2 persen saja. Strategi itu, menurut sumber yang sama, datang dari Wakil Menteri BUMN I Pahala Mansury sebagai bagian dari langkah restrukturisasi Rekind.
Pahala tak merespons permintaan konfirmasi Tempo. Namun Senior Vice President Corporate Secretary and Legal PT Rekayasa Industri Edy Sutrisman membantah adanya perubahan porsi Rekind dalam konsorsium proyek kilang olefin TPPI. "Sesuai dengan perjanjian yang ada, hingga saat ini tidak ada perubahan porsi di antara member joint operational," ujar Edy, Jumat, 17 September lalu.
Walau begitu, Edy menambahkan, perubahan porsi pendanaan dalam konsorsium berbentuk joint operation sangat mungkin terjadi. Menurut dia, hal itu menjadi konsekuensi logis bila salah satu anggota konsorsium mengalami kesulitan cash flow.
Betapapun demikian, Edy menegaskan, dalam skema joint operation, perubahan porsi pendanaan tidak mencerminkan lingkup pekerjaan. "Walaupun porsinya kecil, dalam pelaksanaan pekerjaan bisa saja jumlah manpower yang dikerahkan Rekind besar," katanya.
Sekretaris Perusahaan PT Kilang Pertamina Internasional Ifki Sukarya juga menyatakan belum memperoleh pemberitahuan mengenai perubahan porsi keikutsertaan Rekind dalam konsorsium Hyundai. Jumlah porsi, dia menjelaskan, ditentukan di lingkup internal konsorsium sesuai dengan ketentuan dalam kontrak. "Konsorsium bertanggung jawab terhadap seluruh lingkup pekerjaan secara tanggung renteng sebagaimana diatur kontrak," ucap Ifki, Jumat, 17 September lalu.
•••
MASALAH keuangan telah lama membelit PT Rekayasa Industri. Pada 2019, rasio utang terhadap ekuitas perseroan mencapai 1.025 persen, melonjak dari tahun sebelumnya yang sebesar 915 persen. Kala itu Rekind masih mencatatkan laba bersih senilai Rp 184,32 miliar dalam laporan tahunan. Namun laporan tahunan Pupuk Indonesia 2020 mengoreksi profitabilitas 2019 anak usahanya tersebut menjadi minus alias rugi Rp 306,8 miliar. Kerugian Rekind pun membengkak tahun lalu.
Laporan tahunan Pupuk Indonesia menyatakan kinerja Rekind jeblok tahun lalu akibat banyaknya proyek konstruksi, pengadaan, dan rekayasa teknik (EPC) yang terhambat pandemi Covid-19. Nilai perolehan kontrak baru di segmen refinery, oil, and gas merosot hingga 40,27 persen dibanding pada tahun sebelumnya. Di saat yang sama, perseroan harus menyesuaikan neracanya dengan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan 72 yang mengatur pengakuan biaya kontrak.
Sejumlah proyek yang ditangani Rekind dikabarkan tengah bermasalah. Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi Rantau Dedap milik PT Supreme Energy Rantau Dedap, misalnya, molor dari semula ditargetkan kelar dan beroperasi secara komersial pada 2020. Supreme Energy, kata sumber Tempo, sempat menalangi biaya pengerjaan di awal proyek sekitar US$ 26 juta.
Dihubungi Tempo, Jumat, 17 September lalu, Chairman Supreme Energy Supramu Santosa menolak berkomentar. "Kurang etis saya mengungkapkan hubungan bisnis dengan perusahaan lain," tutur Supramu.
Sedangkan Chief Executive Officer Supreme Energy Nisriyanto mengatakan perusahaannya sedang meninjau ulang masalah keterlambatan proyek pembangkit di Muara Enim, Sumatera Selatan, tersebut. Tanpa menyebutkan jumlah nilainya, Nisriyanto menyatakan keterlambatan telah menyebabkan ongkos pekerjaan membengkak. "Masalahnya kompleks, termasuk kondisi Covid saat ini. Jadi memang saat ini belum bisa diketahui root cause-nya apa saja," ujar Nisriyanto, Jumat, 17 September lalu.
Target penyelesaian pembangunan Refinery Development Master Plan (RDMP) Balikpapan juga dipastikan meleset dari rencana awal pada 2023. Proyek jumbo senilai US$ 4 miliar atau sekitar Rp 57 triliun ini dikerjakan Rekind bersama SK Engineering & Construction Co Ltd, Hyundai Engineering Co Ltd, dan PT Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk. Biaya pembangunan kilang milik Pertamina ini dikabarkan telah menggelembung hingga sekitar US$ 7 miliar.
Sekretaris Perusahaan PT Kilang Pertamina Internasional Ifki Sukarya mengatakan pandemi Covid-19 menjadi kendala utama proyek di Balikpapan. Karantina wilayah diberlakukan di sejumlah negara pembuat alat utama kilang. Dampaknya, peralatan utama dan mobilisasi tenaga kerja terlambat. Belum lagi, menurut Ifki, ada temuan materi tak terduga saat lahan konstruksi proyek RDMP dibersihkan. "Terlepas dari kendala-kendala tersebut, performance proyek oleh joint operation Hyundai-Rekind cukup baik," ucapnya.
Sedangkan Rekind mengatakan perubahan jadwal pekerjaan telah disepakati semua pihak lantaran sama-sama menyadari permasalahan proyek yang begitu dinamis. "Sudah diatur di dalam kontrak yang drafnya telah tersedia bagi semua peserta lelang," kata Sekretaris Perusahaan PT Rekayasa Industri Edy Sutrisman.
RETNO SULISTYOWATI
Pada Senin, 20 September 2021, pukul 12.00 WIB redaksi memperbaiki kesalahan pada bagian "Proyek jumbo senilai US$ 4 miliar atau sekitar Rp 57 miliar" yang benar adalah Rp 57 triliun.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo