Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Nilai tukar mata uang terhadap dolar Amerika Serikat melorot ke titik terendah.
Ada anomali ketika kurs dolar Amerika Serikat naik harga emas ikut terkerek.
Investor global cemas menghadapi ketidakpastian.
INVESTOR di pasar keuangan tak bisa berlibur dengan nyaman selama perayaan Lebaran tahun ini. Ada kecemasan yang kian mencekam karena gonjang-ganjing cukup keras sedang berlangsung di pasar global. Dampaknya turut merambat kemari, berupa pelemahan rupiah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Episentrum guncangan ini adalah dolar Amerika Serikat yang makin perkasa, menguat di mana-mana. Nilai mata uang negara berkembang sampai negara kaya merosot dengan cepat. Menurut data Bloomberg, dolar Amerika kini sudah menguat terhadap 28 dari 31 mata uang penting di dunia, jika dibandingkan dengan posisi di awal tahun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sekadar contoh, rupee India dan naira Nigeria sama-sama sudah menyentuh kurs terendah dalam sejarah. Sedangkan investor di Tiongkok dan Jepang kini berdebar-debar mengantisipasi kebijakan ekstrem yang mungkin segera diambil bank sentral dua negara itu untuk menyelamatkan mata uang masing-masing dari kejatuhan lebih dalam.
Ini memang pembalikan arah yang luar biasa karena nilai dolar Amerika Serikat masih dalam tren merosot di awal 2024. Kala itu pasar masih yakin akan ada penurunan bunga The Federal Reserve (The Fed) sebanyak enam kali sepanjang tahun ini, total sebesar 1,5 persen.
Logikanya, jika bunga The Fed turun, otomatis nilai dolar Amerika Serikat akan ikut melemah. Sedangkan berbagai aset finansial yang bisa dianggap sebagai pilihan tempat berlindung yang aman, seperti emas, akan menanjak harganya. Pada 11 Maret 2024, harga emas sempat mencapai puncak, US$ 2.183 per ons troi.
Estimasi pasar soal bunga ternyata meleset. Ekonomi Amerika Serikat terbukti amat resilien meski sudah tercekik bunga tinggi sekian lama. Pertumbuhan ekonomi tetap tinggi dan inflasi tak kunjung turun mencapai target sebesar rata-rata 2 persen. Walhasil, tak ada cukup alasan bagi The Fed untuk menurunkan bunga seturut perkiraan pasar tersebut.
Pasar pun harus merevisi prediksinya. Penurunan suku bunga The Fed kini diprediksi hanya tiga kali saja atau total sebesar 0,75 persen. Inilah yang memicu pembalikan arah kurs dolar Amerika Serikat yang menguat di seluruh dunia sejak awal Maret 2024.
Ketika dolar kembali menguat, biasanya harga emas akan terkoreksi menurun. Namun gonjang-ganjing di pasar keuangan global kali ini memang tak biasa. Rabu, 3 April 2024, harga emas malah terus terbang hingga hinggap di titik tertinggi sepanjang sejarah, US$ 2.295 per ons troi.
Melonjaknya harga emas ini bisa juga dibaca sebagai pertanda kecemasan investor global terhadap meningkatnya ketidakpastian. Biasanya itulah yang terjadi jika investor tengah mengantisipasi datangnya krisis. Emas memang merupakan tempat berlindung paling aman.
Di Indonesia, gejolak pasar global itu juga memicu keluarnya dana asing dalam jumlah cukup signifikan. Sepanjang Maret 2024 saja, dana asing yang kabur dari pasar obligasi yang diterbitkan pemerintah atau surat berharga negara (SBN) mencapai Rp 27 triliun. Sedangkan di pasar saham, dana asing baru mulai mengalir keluar belakangan. Hanya dalam empat hari pertama pada April 2024, investor asing secara neto menjual saham senilai Rp 6,67 triliun.
Aliran dana asing yang keluar dengan deras dari pasar keuangan Indonesia tentu saja membuat nilai rupiah merosot. Sejauh ini, intervensi Bank Indonesia masih mampu menahan kurs rupiah tidak melampaui batas psikologis 16 ribu per dolar Amerika Serikat.
BI melakukan intervensi untuk menjaga nilai rupiah, antara lain dengan membeli SBN yang dilepas investor asing. Walhasil, jumlah SBN yang menjadi milik BI terus meningkat nilainya. Ada kenaikan sebesar Rp 14 triliun dalam kurun 15 Maret-3 April 2024.
Tak ada yang bisa memprediksi seberapa kuat gejolak pasar global ini akan terus menggerus nilai mata uang berbagai negara, termasuk rupiah. Celakanya, perhatian para petinggi negara saat ini malah masih terpaku pada drama politik yang tengah berlangsung di gedung Mahkamah Konstitusi. Ada gugatan sengketa hasil pemilihan umum yang belum selesai. Dalam keadaan begini, investor cuma bisa berharap tak akan muncul gejolak lebih kuat yang bisa menggoyahkan pasar finansial di seluruh dunia, termasuk Indonesia.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo