Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seekor kerbau berkubang, sekandang kena luluknya. Satu perusahaan tambang timah diduga berulah, semua smelter swasta kena getahnya. Begitulah kondisi ekspor timah nasional selama dua pekan terakhir.
Pada Selasa dua pekan lalu, Bursa Komoditi dan Derivatif Indonesia (BKDI) bersama Indonesia Clearing House (ICH) mengeluarkan surat edaran bersama. Isinya: BKDI menolak menjual semua timah batangan yang diverifikasi PT Surveyor Indonesia (SI). Penolakan ini buntut dari operasi Direktorat Tindak Pidana Tertentu Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI yang menggerebek smelter PT Panca Mega Persada (PMP) di Bangka, Kepulauan Bangka Belitung, Selasa tiga pekan lalu. PMP diduga menadah timah ilegal dari penambang liar di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) badan usaha milik negara PT Timah Tbk (TINS).
Dalam rangkaian penggerebekan, polisi menyita 50 ton timah batangan murni PMP di gudang PT Tantra Karya Sejahtera—gudang yang ditunjuk BKDI. Timah batangan itu sudah laku dibeli pembeli internasional dan tinggal menunggu pengapalan. “Kami gagal serah kepada pembeli, padahal mereka sudah bayar,” kata Fenny Wi-djaja, komisaris BKDI, di kantornya di Jakarta, Rabu dua pekan lalu. Pembeli, Fenny menerangkan, sudah membayar US$ 1 juta kepada BKDI.
PMP adalah sayap bisnis Fongs Group, kelompok usaha yang dikendalikan Fahmi Babra—Presiden Direktur Polo Ralph Lauren Indonesia—dan Fong Franky. Keduanya lebih dikenal sebagai pengusaha tekstil dan properti. PMP merupakan smelter swasta yang asal-asal usul timahnya diverifikasi Surveyor Indonesia. Dihubungi sepanjang pekan lalu, Franky tak merespons upaya konfirmasi dan sejumlah pertanyaan yang diajukan Tempo.
Surveyor Indonesia juga memverifikasi smelter swasta lain. Fenny mengatakan Surveyor Indonesia memverifikasi semua smelter timah swasta. Hanya PT Timah yang diverifikasi PT Superintending Company of Indonesia (Sucofindo). Hingga September lalu, volume ekspor smelter swasta dari Bangka dan Belitung mencapai 76 persen atau 41.589 ton. Adapun PT Timah hanya mengekspor 13.745 ton atau 24 persen. “Kalau timah PMP bermasalah, bisa jadi timah dari perusahaan lain yang diverifikasi Surveyor Indonesia juga bermasalah,” ucap Fenny. “Daripada kami gagal serah lagi, mending kami stop dulu.”
Berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan tentang Ketentuan Ekspor Timah, timah murni batangan yang dapat diekspor—dijual kepada pembeli internasional lewat BKDI—harus berasal dari bijih timah yang ditambang dari wilayah IUP sendiri. Menteri Perdagangan kemudian menunjuk verifikatur, yaitu Surveyor Indonesia dan Sucofindo, untuk memastikan asal-usul timah eksportir tersebut. “Kami tidak mau ambil risiko,” tutur Fenny.
Surveyor Indonesia membalas surat BKDI dan ICH pada hari yang sama ketika edaran keluar.
Dalam surat tersebut, yang salinannya diperoleh Tempo, Surveyor Indonesia menyatakan sudah menjalankan verifikasi sesuai dengan prosedur verifikasi ekspor logam timah. Menurut Surveyor Indonesia, surat edaran bersama BKDI dan ICH merugikan perusahaan, baik reputasi maupun bisnisnya. Surveyor Indonesia meminta BKDI dan ICH menarik surat edaran bersama itu dan memulihkan nama perusahaan.
Kepada Servio Maranda dari Tempo, Kepala Surveyor Indonesia Perwakilan Bangka Belitung Deddy Irwan mengatakan surat edaran bersama tersebut sangat tidak tepat. Keputusan membatalkan verifikasi ekspor, menurut Deddy, adalah kewenangan Kementerian Perdagangan. Deddy mengklaim verifikasi Surveyor Indonesia sudah sesuai dengan prosedur. “Kami harap Kementerian Perdagangan secepatnya memberikan solusi terkait dengan edaran BKDI ini,” ujar Deddy, yang kini dimutasi ke Jambi.
Kementerian Perdagangan, lewat Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti), telah bersikap. Bappebti meminta smelter swasta beralih ke Sucofindo sampai ada kejelasan kasus PMP. “BKDI tidak mau ambil risiko. Kalau nanti gagal serah lagi, pelaku usaha dirugikan, nama negara juga rusak,” kata Kepala Bappebti Wisnu Wardhana, Jumat pekan lalu. “Kalau memang nanti terbukti SI tidak tersangkut, ke surveyor mana saja boleh.”
BKDI dan pemerintah memang sedang membangun reputasi sebagai bursa terpercaya dan barometer timah dunia. Modalnya, Indonesia adalah eksportir terbesar dan produsen terbesar kedua dunia di bawah Cina, yang menjadi produsen sekaligus importir timah terbesar di dunia. Kasus PMP yang memicu gagal serah timah melemahkan upaya tersebut. “Apa yang kami bangun akan sia-sia,” tutur Fenny.
GEGER timah ilegal Panca Mega Persada bermula pada Kamis tiga pekan lalu. Hari itu, tim dari Direktorat Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Polri menggerebek smelter PMP di Kawasan Industri Jelitik, Kecamatan Sungailiat, Kabupaten Bangka.
Intel Bareskrim sebelumnya menerima informasi rencana pengiriman bijih timah dari Akiong, salah satu kolektor bijih terkemuka di Bangka, ke smelter PMP. Bijih dikirim menggunakan truk dengan nomor polisi BN-8036-QN. Polisi menggaruk truk kuning itu setelah masuk smelter dan menyita sembilan karung jumbo berisi 9 ton bijih timah. Bijih-bijih yang dibeli Akiong dari penambang tersebut diduga berasal dari area izin usaha pertambangan PT Timah. “Kami sudah punya data siapa yang punya smelter dan siapa yang bermain,” ucap Direktur Tipidter Bareskrim Polri Brigadir Jenderal Fadil Imran, Jumat pekan lalu.
Dari dalam smelter PMP, tim Bareskrim menyita 15 ikat timah batangan seberat 15 ton. Baru setelah operasi itu, tim dari Jakarta tersebut mengabari kepolisian lokal. “Segala proses penindakan dilakukan penyidik Mabes Polri,” kata Kepala Subdirektorat IV Direktorat Tindak Pidana Tertentu Direktorat Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Bangka Belitung, Ajun Komisaris Besar Wayan Riko Setiawan, Selasa pekan lalu.
Sempat beredar kabar bahwa tim Jakarta sebetulnya membuntuti tiga truk. Namun tim akhirnya hanya menguntit truk yang mengarah ke smelter PMP. Dua truk lain, yang menuju smelter PT Refined Bangka Tin (RBT) milik pengusaha Robert Bonosusatya, diabaikan. Pengabaian itu diduga karena Robert dekat dengan polisi.
Direktur Utama RBT Suparta membantah kabar itu. “Saya tidak tahu dan tidak kenal juga dengan Akiong,” ucap Suparta, Senin pekan lalu. Adapun Robert membantah dekat dengan polisi. “Saya juga dekat dengan Anda, tapi tidak bisa mengintervensi Anda,” katanya, Sabtu pekan lalu.
Sehari setelah penggerebekan, Direktur PT PMP Siauw Sui Thin alias Asui berstatus terlapor. PT PMP diduga melanggar Pasal 161 Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batu Bara juncto Pasal 55 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana karena menampung bijih timah dari luar wilayah izin usaha pertambangan operasi produksi.
Tapi penggerebekan pada Selasa tiga pekan lalu itu tidak menimbulkan riak. Gelombang baru menggoyang Jakarta pada Senin pekan berikutnya. Saat itu, sebagai kelanjutan operasi, tim Jakarta membuat garis polisi pada 50 ton timah PMP yang sudah laku dan tersimpan di gudang PT Tantra Karya Sejahtera. “Kalau penyitaan 9 ton bijih timah itu bukan berita, kami tidak urus,” tutur Fenny Widjaja. Penyitaan bijih timah ilegal adalah cerita lama. Sedangkan penyitaan timah batangan yang sudah laku itu relatif baru, walaupun bukan yang pertama.
Kasus peredaran timah ilegal yang masih dalam bentuk bijih memang bak kaset kusut. Jumlah kasus tak terkira. Pada 2016, smelter yang berafiliasi dengan Fongs Group, PT Belitung Industri Sejahtera, juga tersangkut kasus serupa PMP. PT Timah Tbk, korban utama pencurian bijih, sampai jenuh melapor. “Kami sudah lapor ke mana-mana,” ujar Direktur Keuangan PT Timah Emil Ermindra di Jakarta, Jumat pekan lalu.
PT Timah tercatat sebagai pemilik IUP timah terluas, mencapai 512 ribu hektare. Sebanyak 331 ribu hektare di antaranya di darat dan 184 ribu hektare di lepas pantai. Mayoritas IUP itu berada di Bangka. Luas IUP Timah bahkan masih lebih besar dibanding milik semua pengusaha swasta pemegang IUP timah di Bangka. “Area kami paling luas dan cadangan timah kami paling besar,” Emil menjelaskan. Tapi ekspor PT Timah sampai September tahun ini tidak sampai 30 persen dari total ekspor timah Bangka Belitung.
Emil menduga timah-timah dari IUP PT Timah disedot penambang liar. Tambang PT Timah yang jadi bancakan penambang liar itu, kata Emil, kerap berada di lepas pantai atau pedalaman. Dari penambang, bijih dijual kepada kolektor atau penadah. Kolektor selanjutnya menjualnya ke smelter yang menawarkan harga tertinggi.
Warga Bangka mengenal pengusaha smelter timah swasta dengan sebutan “panglima”. Ada banyak panglima di Bangka. Empat tahun lalu, Tempo menelusuri nama para panglima. Beberapa di antaranya adalah Robert Bonosusastya dan Hendry Lee, pemilik Sriwijaya Air, yang memiliki PT Tinindo Inter Nusa. Emil mengatakan daftar panglima saat ini belum berubah. “Tapi Tinindo menambang timah di wilayah IUP-nya sendiri,” ucap Emil.
Robert Bonosusatya mengklaim perusahaannya tidak lagi menadah bijih timah ilegal dari para kolektor. RBT, kata Robert, menambang bijih timah dari IUP-nya sendiri. “Kami ada kapal sendiri,” kata Robert. “Kami sekarang kerja baik-baik.”
Emil berharap, dengan turunnya Bareskrim Polri langsung ke Bangka, praktik penambangan liar yang merugikan BUMN bisa ditekan. Direktur Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Polri Fadil Imran berjanji kepolisian akan menindak semua pihak yang terlibat pertambangan timah ilegal. “Kalau faktanya kami temukan, pasti kami proses,” ujar Fadil. Jangan sampai tiba di perut dikempiskan, tiba di mata dipicingkan, tiba di dada dibusungkan.
KHAIRUL ANAM, SERVIO MARANDA (BANGKA BELITUNG)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo