Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ekonomi

Saatnya Mengerem Belanja di Tengah Pelemahan Ekonomi

Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia melambat. Bukan saatnya Menteri Keuangan membelanjakan APBN ugal-ugalan.

14 Januari 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan ekonomi global melambat tahun ini.

  • Kenaikan suku bunga dan perang menghambat laju pertumbuhan ekonomi.

  • Pemerintah terjebak dalam pembiayaan proyek yang kurang bermanfaat.

EKONOMI dunia bakal melambat tahun ini. Itulah kesimpulan utama Bank Dunia yang termaktub dalam laporan "Global Economic Prospect" edisi Januari 2024 yang terbit pekan lalu. Memang, Bank Dunia memperkirakan ekonomi global bakal selamat dari resesi. Namun jangan meremehkan dampak melambatnya pertumbuhan ekonomi. Banyak negara maju dan berkembang bisa terjerumus ke dalam masalah serius karenanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahkan, Bank Dunia menilai, perlambatan itu bisa berlanjut melampaui 2024. “Outlook ekonomi global setelah dua tahun ke depan pun masih gelap,” tulis Indermit S. Gill, Kepala Ekonom Bank Dunia, dalam laporan itu. Di paruh kedua dekade ini, ekonomi dunia akan mengalami pertumbuhan paling lemah semenjak 1990-an. Banyak penyebabnya. Yang paling menonjol adalah kebijakan moneter ekstraketat di negara-negara maju. Tingkat bunga yang amat tinggi dalam dua tahun terakhir membuat ongkos pinjaman untuk modal usaha ataupun konsumsi makin mahal. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ada pula eskalasi konflik Timur Tengah, distorsi pasar komoditas, hingga melonjaknya beban utang privat ataupun pemerintah di berbagai negara. Pemulihan ekonomi Cina yang jauh lebih lemah ketimbang ekspektasi sebelumnya turut menjadi penyebab. Perdagangan global makin tersekat-sekat karena rivalitas geopolitik. Bencana alam karena perubahan iklim juga makin kerap menimpa berbagai negara sekaligus. Selain itu, meski sudah terlihat melunak, inflasi di banyak negara masih menunjukkan persistensi yang sangat kuat.

Negara-negara pengekspor komoditas, seperti Indonesia, tak akan lolos dengan mudah dari berbagai masalah yang memicu kelesuan itu. Komoditas ekspor Indonesia memang pernah menjadi berkah di masa pandemi, yang kemudian berlanjut ketika meletus invasi Rusia ke Ukraina. Perang memicu lonjakan harga energi. Harga nikel dan kelapa sawit yang merupakan barang ekspor utama kita ikut terdongkrak. 

Namun dampak gejolak ekonomi global yang datang kali ini akan sangat berbeda. Harga berbagai komoditas kini sudah menurun dan tren ini cenderung berlanjut. Secara global, jumlah permintaan merosot karena ekonomi negara-negara pembeli sedang lesu. Alih-alih mendapat berkah, Indonesia berisiko menghadapi masalah serius karena melesunya permintaan komoditas global.

Itu sebabnya dalam laporan tersebut Bank Dunia memberi catatan khusus bagi negara-negara pengekspor komoditas agar bisa selamat menempuh kondisi sulit ini. Resep utamanya: pemerintah mengadopsi Sumpah Hippokrates, yang dipegang para dokter, untuk diterapkan pada kebijakan fiskal. Yang paling penting adalah jangan ugal-ugalan mengambil kebijakan fiskal yang bisa membahayakan keselamatan ekonomi, sebagaimana para dokter yang bersumpah tidak akan mengambil tindakan yang bisa membahayakan nyawa pasien mereka.

Kebijakan fiskal memang bisa menjadi titik rawan bagi negara pengekspor komoditas dalam situasi ekonomi global yang melambat. Sebab, harga komoditas selalu berada dalam siklus naik-turun yang tajam. Biasanya, ketika sedang menikmati rezeki harga tinggi, negara pengekspor komoditas cenderung terlena dan sembrono, amat agresif berbelanja. Bahkan, dalam banyak kasus, pemerintahnya juga berani berutang besar-besaran karena merasa kaya dan bakal mampu membayar.

Ciri-ciri itu ada pada Indonesia, terutama di periode kedua pemerintahan Presiden Joko Widodo. Pemerintah terjebak membiayai banyak proyek yang kurang membawa manfaat bagi ekonomi secara keseluruhan dan menimbulkan beban utang. Apakah Indonesia memerlukan kereta cepat yang menimbulkan utang miliaran dolar Amerika Serikat kepada Cina? Apakah kita perlu menghamburkan ratusan triliun rupiah untuk membangun ibu kota baru? Apakah kita perlu membelanjakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara puluhan miliar dolar untuk membeli senjata?

Menjelang pergantian pemerintahan, kita pun patut mencermati satu hal ini. Jangan-jangan pemerintah baru kelak justru makin tak peduli akan kebijakan fiskal. Sudah saatnya kita bertanya kepada para calon presiden itu: siapakah calon Menteri Keuangan mereka? Indonesia memerlukan figur Menteri Keuangan yang teguh memegang Sumpah Hippokrates untuk kebijakan fiskal, yaitu berani menolak perintah yang bisa membahayakan keselamatan ekonomi Indonesia. 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Menanti Menteri Keuangan Penyelamat Anggaran"

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus