Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

hukum

Ancaman Baru UU ITE

Presiden Joko Widodo mengesahkan revisi kedua Undang-Undang ITE. Tetap berisi pasal karet pengekang kebebasan berpendapat.

14 Januari 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

EMPAT aktivis Koalisi Masyarakat Sipil pulang tanpa bisa memasukkan kajian Rancangan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) kepada Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika Nezar Patria. Mereka bertemu dengan Nezar pada 30 November 2023 guna membicarakan Rancangan Undang-Undang ITE yang tengah dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mereka berharap Nezar datang ke DPR mewakili pemerintah dengan membawa masukan tersebut. “Beliau bilang hampir tidak mungkin ada perubahan substansi Rancangan Undang-Undang ITE karena bakal diparipurnakan,” ujar Damar Juniarto, pendiri Southeast Asia Freedom of Expression Network atau SAFEnet, salah satu aktivis yang hadir dalam pertemuan itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rupanya, panitia kerja revisi Undang-Undang ITE di DPR sudah menyepakati draf awal dan tinggal menunggu pengesahan dalam rapat paripurna. Kabar ini, Damar menambahkan, menohok Koalisi Masyarakat Sipil. Jerih payah mereka selama dua tahun membuat kajian Rancangan Undang-Undang ITE kandas.

Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Arie Setiadi (kanan) bersama Wakil Menteri Kominfo Nezar Patria saat mengikuti rapat kerja dengan Komisi I DPR RI yang menyepakati RUU tentang perubahan ke-2 atas UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) atau revisi UU ITE dibawa ke rapat paripurna untuk disahkan di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, 22 November 2023/Tempo/M Taufan Rengganis

Kekecewaan mereka kian bertambah setelah mengetahui draf yang bakal disepakati tak mengakomodasi tuntutan Koalisi menghilangkan pasal pencemaran nama yang multitafsir alias pasal karet. Pasal-pasal ini, Damar menjelaskan, bermasalah karena kerap dipakai aparat hukum menjerat aktivis dan warga sipil yang kritis kepada pemerintah. “Terus terang kami kecewa,” ucap Damar.

Sejak Februari 2021, Presiden Joko Widodo mengusulkan revisi Undang-Undang ITE. Ini kedua kalinya pemerintah merevisi peraturan ini. Undang-Undang ITE disahkan pada 2008 lalu direvisi pertama kali pada 2016. Proses revisi Undang-Undang ITE jilid kedua ini sempat mandek karena menunggu revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. “Undang-undang ini harus selaras dengan KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana),” kata Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika Semuel Abrijani Pangerapan.

Pembahasan Rancangan Undang-Undang ITE jilid kedua di Komisi Komunikasi dan Informatika DPR dikebut sejak pertengahan 2023. Pada masa ini, Presiden melantik Ketua Projo, organisasi relawan Jokowi, Budi Arie Setiadi, sebagai Menteri Komunikasi dan Informatika dan Nezar Patria sebagai wakilnya.

Seorang anggota Komisi Komunikasi dan Informatika mengatakan pelantikan Budi mendorong percepatan pembahasan RUU ITE di DPR. Selama proses pembahasan, nyaris tak ada perdebatan berarti terhadap pasal-pasal yang diajukan pemerintah karena rapat-rapat digelar secara tertutup.

Meski banjir kritik dari masyarakat, pengesahan Rancangan Undang-Undang ITE jilid kedua berjalan mulus dalam rapat paripurna DPR pada 5 Desember 2023. Rapat dipimpin Wakil Ketua DPR Lodewijk Freidrich Paulus dari Partai Golkar. Tak ada satu pun anggota DPR yang menolak. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 itu mulai berlaku setelah diteken Presiden Joko Widodo pada 2 Januari 2024.

UU ITE teranyar menambahkan tujuh pasal dalam Undang-Undang ITE 2008 dan mengubah 20 pasal. Koalisi Masyarakat Sipil menilai ada lima pasal yang rentan digunakan aparat hukum atau penguasa untuk membungkam kritik, mengekang kebebasan berekspresi, dan menyuburkan kriminalisasi seperti yang selama ini terjadi.

Dalam revisi Undang-Undang ITE jilid kedua, alih-alih dicoret, pasal tentang pengekangan kebebasan berekspresi malah bertambah. Pasal tentang kebebasan berbicara ini yang paling banyak dikritik Koalisi Masyarakat Sipil. “Undang-Undang ITE jilid kedua ini hanya menguntungkan elite ketimbang melindungi hak asasi manusia,” ucap Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Muhamad Isnur.

Nezar Patria menepis anggapan itu. Menurut dia, pemerintah sudah menampung usul Koalisi Masyarakat Sipil dan banyak kalangan lain lewat berbagai forum audiensi. Meski begitu, masukan dari para pemangku kepentingan bergantung pada pembahasan di DPR.

Nezar, mantan Pemimpin Redaksi Jakarta Post, meyakini rumusan pasal dalam Undang-Undang ITE terbaru sudah mempertimbangkan jaminan atas kebebasan berbicara dan berekspresi. Di sisi lain, pemerintah tak bisa membiarkan kejahatan di dunia maya terus terjadi. “Sepertinya ini pilihan terbaik,” ujar Nezar.

Sejak revisi undang-undang itu masuk daftar program legislasi nasional, sedikitnya ada 14 sesi rapat pembahasan oleh pemerintah dan DPR. Pembahasan pasal pencemaran nama diakui anggota Komisi Komunikasi dan Informatika DPR, Abdul Kharis Almasyhari, paling alot. Berbagai simulasi pilihan kata dan kalimat berulang kali memunculkan perdebatan. “Kami ini sangat hati-hati. Jangan sampai pasal ini kembali memunculkan kriminalisasi,” tutur Abdul Kharis.

Revisi Undang-Undang ITE jilid kedua menghilangkan Pasal 27 ayat 3 yang sebelumnya mengatur pidana penghinaan atau pencemaran nama. Namun DPR dan pemerintah menggantinya dengan pasal 27A dan 27B tentang pemidanaan kepada perusak kehormatan atau nama. Pasal ujaran kebencian yang sebelumnya diatur Pasal 28 ayat 2 menghilangkan kata “antargolongan” dan menambahkan etnis, jenis kelamin, warna kulit, dan penyandang disabilitas.

Desakan pencabutan pasal-pasal bermasalah itu sudah lama disuarakan kalangan akademikus dan praktisi hukum yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil. Mereka di antaranya dari SAFEnet, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Aliansi Jurnalis Independen, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), serta Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan. 

Suara senada juga disampaikan para mantan terpidana Undang-Undang ITE. Ketua Paguyuban Korban UU ITE Muhammad Arsyad mengatakan Undang-Undang ITE sudah menimbulkan ribuan korban. “Tahun 2020, kasus di Kepolisian Daerah Metro Jaya mencapai sekitar 6.000 laporan,” ucapnya. Jumlah itu dipastikan akan terus bertambah karena Undang-Undang ITE terbaru masih berisi pasal pencemaran nama dan penyebaran berita bohong.

Itu sebabnya sejumlah aktivis menyesalkan sikap pemerintah yang mengabaikan tuntutan masyarakat sipil. Direktur Eksekutif ICJR Erasmus Napitupulu mengatakan sikap pemerintah dan DPR mengabaikan masukan masyarakat sipil terlihat sejak Juli 2023. Rapat-rapat digelar tertutup. Permintaan Koalisi agar pembahasan di DPR dipublikasikan tak mendapat respons dari pemerintah dan DPR. “Kami mendapatkan draf RUU secara sembunyi-sembunyi,” tuturnya.

Kajian Koalisi Masyarakat Sipil tercantum dalam daftar inventarisasi masalah versi Koalisi Serius Revisi UU ITE tanggal 6 Februari 2023. Dokumen 63 halaman itu memetakan sejumlah masalah seputar penerapan pasal berikut rekomendasi penyelesaiannya. Koalisi meminta pemerintah mencabut Pasal 27 ayat 3 lantaran menduplikasi pasal 310, 311, 315, 317, 318, dan 319 KUHP. Pasal ini dianggap bermasalah karena menghilangkan enam gradasi kasus penghinaan yang diatur dalam KUHP.

Dalam KUHP, delik tersebut diatur secara spesifik dengan frasa pencemaran nama, fitnah, penghinaan ringan, sangkaan palsu, dan penghinaan terhadap orang mati. Sementara itu, Undang-Undang ITE menyamaratakan tindakan tersebut. Menurut Erasmus, penghilangan kategorisasi ini berakibat luasnya spektrum sebuah tindakan yang dianggap mencemarkan nama.

Pembahasan Rancangan Undang-Undang ITE di DPR pun tak menghasilkan banyak perubahan. Erasmus menerangkan, draf revisi yang disahkan pada Desember 2023 hanya mengatur urusan penomoran. Sementara itu, Undang-Undang ITE hasil revisi masih membuka ruang kesalahan tafsir di kalangan penegak hukum.

Meski berisi pasal bermasalah, Erasmus menilai ada perbaikan dalam Undang-Undang ITE terbaru. Misalnya Pasal 28 tentang penghasutan yang menambahkan frasa “menimbulkan kerusuhan di masyarakat”. Artinya, penegak hukum harus membuktikan suatu ujaran menimbulkan kerusuhan yang nyata di masyarakat, bukan di dunia maya, sebelum mempidanakan seseorang yang dijerat dengan pasal ini.

Direktur Jenderal Aplikasi dan Informatika Semuel Abrijani Pangerapan mengatakan revisi Undang-Undang ITE jilid kedua dipicu kasus Baiq Nuril yang masuk bui akibat merekam dan mentransmisikan pengakuan pelecehan seksual oleh koleganya yang juga guru di Mataram, Nusa Tenggara Barat. Nuril dinyatakan bersalah dan divonis enam bulan penjara lantaran dianggap melanggar Pasal 27 ayat 1 Undang-Undang ITE. Ia bebas dari jerat hukum setelah Presiden Jokowi memberi pengampunan (amnesti) pada 29 Juli 2019.

Semuel mengungkapkan, Nuril adalah korban implementasi Undang-Undang ITE. Hanya, sistem peradilan di Indonesia mengharuskan dia tetap dihukum. Upaya pemerintah meluruskan penerapan pasal-pasal bermasalah dalam undang-undang itu pernah ditempuh dengan menerbitkan surat keputusan bersama Kementerian Komunikasi, Kepolisian RI, dan Kejaksaan Agung pada 23 Juni 2021. “Masalahnya, ini hanya pedoman yang tidak mengikat secara hukum, makanya diperlukan revisi undang-undang,” katanya.

Ia beralasan pemerintah tetap mempertahankan pasal pencemaran nama dan penyebaran berita bohong karena masih digunakan di banyak negara. “Yang membedakan hanyalah mekanisme penyelesaiannya,” ucapnya.

Meski banyak berubah, Semuel berujar, Undang-Undang ITE hasil revisi tak menggugurkan surat keputusan bersama pedoman pelaksanaan UU ITE. Guna memastikan kepatuhan atas penerapan pasal tersebut, Kementerian Komunikasi dan Informatika berencana menggelar sosialisasi kepada aparat kepolisian dan jaksa di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Pemerintah juga akan menerbitkan buku panduan. “Biar pemahaman orang-orang juga sama,” tuturnya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Avit Hidayat berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Pasal Karet Jilid Kedua"

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus