Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Indofarma merugi ratusan miliar rupiah karena obat dan masker yang tak laku.
Tiga vendor di masa pandemi menggugat Indofarma.
BPK sedang memeriksa keuangan Indofarma.
MASKER INAmask buatan PT Indofarma Tbk (INAF) kini menjadi barang gaib. Tak ada satu pun pedagang di Pasar Pramuka, pusat perdagangan alat-alat kesehatan di Jakarta Timur, yang mengetahui keberadaan masker itu. Demikian pula para penjaga apotek Kimia Farma di Salemba dan Senen, Jakarta Pusat, yang didatangi Tempo pada Rabu, 11 Oktober lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tempo kemudian mencari INAmask di sejumlah platform perdagangan daring. Di sebuah toko online yang beralamat di Kelapa Gading, Jakarta Utara, satu kotak INAmask berisi 50 helai masker dijual Rp 35 ribu. Ternyata Kimia Farma pun menjual masker itu di toko online resminya. Harganya Rp 48.437 per kotak, lebih mahal daripada di apotek lain. Padahal Kimia Farma dan Indofarma adalah "perusahaan bersaudara" yang tergabung dalam holding badan usaha milik negara sektor farmasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di masa pandemi Covid-19, tiga tahun lalu, INAmask adalah barang penting. Indofarma sampai harus bekerja sama dengan tiga produsen untuk membuat dan memasarkan masker tersebut. Tapi rupanya ada aroma tak sedap lantaran pengadaan INAmask membuat Indofarma merugi. Hasil audit internal perseroan menyebutkan jutaan kotak INAmask tak laku dan kini hanya bertumpuk di gudang. Badan Pemeriksa Keuangan pun sedang menyelisik pengadaan INAmask dan beberapa barang lain yang digarap Indofarma di masa pandemi. "Tunggu saja hasil auditnya," kata Direktur Utama Indofarma Agus Heru Daryono pada Kamis, 12 Oktober lalu.
Bagi perusahaan industri farmasi lain, pandemi Covid-19 mungkin menjadi berkah. Banyak perusahaan yang meraup laba besar dari penjualan obat dan alat kesehatan hingga vaksinasi dan jasa tes Covid-19. Namun rupanya hal itu tak berlaku bagi Indofarma. Perusahaan produsen alat kesehatan ini malah mesti berhadapan dengan bekas rekanan bisnisnya di pengadilan.
Petugas mengambil obat-obatan dan vitamin untuk pasien Covid-19, salah satunya Oseltamivir, di instalasi farmasi Dinas Kesehatan Kota Bandung, Jawa Barat, 15 Juli 2021. Tempo/Prima Mulia
Pada 8 Juni lalu, PT Trimitra Wisesa Abadi dan PT Solarindo Energi Internasional yang menjadi pemasok Indofarma di masa pandemi mengajukan gugatan penundaan kewajiban pembayaran utang. Dua perusahaan tersebut menggugat Indofarma yang tak kunjung membayar utang. Kepada Trimitra Wisesa, Indofarma berutang Rp 19,8 miliar. Sedangkan utang kepada Solarindo Energi mencapai Rp 17,1 miliar.
Gugatan itu muncul ketika utang Indofarma menggunung. Pada kuartal pertama 2023, total utang usaha Indofarma kepada pihak ketiga mencapai Rp 525 miliar. Utang terbesarnya mencapai Rp 73,6 miliar, yaitu kepada Myland Laboratories Limited. Utang ini berasal dari pembelian sejumlah obat Covid-19 seperti remdesivir dengan merek dagang DesremTM dan oseltamivir. Seperti masker INAmask, obat-obatan ini banyak yang tak terpakai. Vendor lain yang juga memiliki tagihan kepada Indofarma antara lain PT Widatra Bakti Laboratories, PT Catur Dakwah Crane Farmasi, dan PT Merapi Utama Pharma.
Indofarma tak sanggup melunasi utang-utang yang sudah jatuh tempo karena kadung merugi. Per kuartal pertama 2023, rugi tahun berjalan Indofarma mencapai Rp 61,7 miliar. Selama tiga tahun masa pandemi 2020-2022, Indofarma juga terus merugi berturut-turut Rp 3,6 miliar, Rp 37,5 miliar, dan Rp 428,4 miliar. Rasio lancar yang menunjukkan kemampuan perusahaan membayar utang jangka pendek atau yang jatuh tempo dalam satu tahun pada Desember 2022 hanya 0,87. Artinya, aset Indofarma sudah tak cukup untuk membayar utang jangka pendeknya.
•••
RAPOR merah keuangan Indofarma adalah anomali dalam industri farmasi. Di masa pandemi, sebagian besar perusahaan yang berbisnis obat-obatan dan alat kesehatan hingga rumah sakit menangguk untung besar. PT Kalbe Farma Tbk, misalnya, meraup untung Rp 2,73 triliun pada 2020, Rp 3,18 triliun pada 2021, dan Rp 3,38 triliun pada 2022. PT Tempo Scan Pacific Tbk juga ketiban cuan Rp 834 miliar pada 2020, Rp 823 miliar pada 2021, dan Rp 1 triliun pada 2022. Adapun produsen jarum suntik PT Itama Ranoraya Tbk meraup laba Rp 60,52 miliar pada 2020, Rp 112 miliar pada 2021, dan Rp 48 miliar pada 2022.
Sejumlah pihak menunjuk penugasan pemerintah di masa pandemi sebagai salah satu sumber kerugian Indofarma. Indofarma antara lain ditugasi membeli obat-obatan yang diyakini bisa digunakan untuk menangani Covid-19, seperti ivermektin, oseltamivir, dan remdesivir. Tapi rupanya obat-obat itu tidak terserap pasar. Dewan Perwakilan Rakyat pun mulai mempersoalkan kondisi ini. “Kami sudah mengusulkan rapat gabungan Komisi BUMN dan Komisi Kesehatan, membahas nasib barang-barang ini,” ucap anggota Komisi BUMN DPR dari Fraksi Gerindra, Andre Rosiade, pada Selasa, 10 Oktober lalu.
Budiyanto A. Gani, Direktur PT Trimitra Wisesa Abadi, yang memiliki tagihan kepada Indofarma, juga menyebutkan perusahaan pelat merah itu merugi gara-gara membeli banyak obat-obatan Covid-19 yang belakangan tak terpakai. Menurut dia, Indofarma sebetulnya sudah berhasil menjual alat tes Covid-19 yang dibeli dari Trimitra Wisesa dan Solarindo Energi. Namun duit hasil penjualannya dipakai untuk membeli obat-obatan, bukan buat melunasi tagihan vendor seperti Trimitra dan Solarindo. “Sudah dua tahun lebih tak dibayar. Saya sudah menagih, omong baik-baik," tuturnya kepada Tempo pada Jumat, 13 Oktober lalu.
Budiyanto saat ditemui Tempo di kawasan Blok M, Jakarta, Rabu 10 Maret 2021. Dok.Tempo
Setelah Budi melayangkan gugatan ke pengadilan, Indofarma mengajak berdamai. Manajemen Indofarma, Budi mengungkapkan, mau melunasi 60 persen utang dan mencicil sisanya dalam setahun. Selain menjadi pemilik Trimitra Wisesa Abadi, Budi adalah orang di balik Solarindo Energi. Namanya tak terekam dalam akta perusahaan Solarindo, tapi di sana ada nama Rieky Tauresto Liebermann dan Suwarni sebagai pemegang saham. Rieky dan Suwarni adalah bagian dari manajemen Trimitra.
Solarindo mulanya bergerak di bidang panel surya sebelum merambah sektor kesehatan pada masa pandemi. Adapun Trimitra Wisesa awalnya menggeluti bisnis pemasangan dan pemeliharaan ketel uap sebelum mengadu peruntungan dengan menjual alat kesehatan.
Nama Budi pernah mencuat pada masa pandemi Covid-19. Laporan Tempo pada Maret 2021 menyebut Budi sebagai pemasok alat tes Covid-19 terbesar untuk Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang ketika itu mengkoordinasi penanganan pandemi. Budi disebut-sebut sebagai orang dekat Letnan Jenderal Doni Monardo, yang saat itu menjabat Kepala BNPB. Ketika ditanyai kembali tentang hal itu, Budi mengakui kedekatannya dengan Doni, tapi membantah jika hal tersebut dikatakan sebagai penyebab perusahaannya mendapat order besar dari BNPB. "Tak sampai 10 persen dari total proyek pengadaan BNPB selama pandemi kok dibilang mendominasi,” ujarnya.
Tidak hanya menyuplai alat tes Covid-19 untuk BNPB, Budi belakangan juga menjadi salah satu pemasok terbesar bagi Indofarma. Bisnisnya dengan perusahaan pelat merah itu awalnya lancar. Namun dua tahun lalu pembayarannya mulai tersendat. Karena itu pula Budi diperiksa auditor Badan Pemeriksa Keuangan dan Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta. Dia menjadi obyek audit karena perusahaannya tak hanya punya tagihan kepada Indofarma, tapi juga berutang kepada BUMN tersebut. “Dua minggu lalu ditanya-tanya. Saya jelaskan apa yang saya tahu,” kata Budi.
Per 31 Maret 2023, Indofarma punya utang Rp 22,7 miliar kepada Trimitra Wisesa dan Rp 8,8 miliar kepada Solarindo Energi. Namun Trimitra juga berutang Rp 5 miliar kepada Indofarma. Seorang pejabat yang mengetahui audit dan pemeriksaan terhadap Indofarma serta para vendornya menjelaskan, ada dugaan jual-beli fiktif antara Trimitra dan Indofarma.
Budi membantah dugaan tersebut. Menurut Budi, selama masa pandemi Covid-19, transaksi jual-beli barang antardistributor seperti Trimitra dengan Indofarma lumrah terjadi. Menurut dia, distributor kerap memiliki stok barang, tapi tak punya pesanan pembelian atau purchasing order (PO). Sebaliknya, saat mendapat PO, stok barangnya tidak ada.
Hal itulah, Budi melanjutkan, yang terjadi antara Indofarma dan Trimitra. Indofarma membeli barang dari Trimitra ketika mereka mendapatkan PO. Sebaliknya, Trimitra membeli barang dari Indofarma atau anak usahanya tatkala Budi yang kebagian PO sedang tak punya barang. "Sewaktu pandemi seperti itu. Kami juga sewa gudang untuk titip barang," ucapnya. Budi mengaku juga ditanyai tentang masker INAmask. “Tapi saya tidak tahu, saya tidak berbisnis masker.”
•••
PENGADAAN masker INAmask menjadi salah satu obyek pemeriksaan auditor internal Indofarma. Keganjilan mulanya muncul dari laporan piutang Indofarma kepada PT Promosindo Medika (Promedik). Promedik adalah cucu usaha Indofarma. Anak usaha Indofarma, PT Indofarma Global Medika, mendirikan Promedik pada 2007 dengan kepemilikan saham 19 persen untuk menjalankan fungsi pemasaran.
Per 13 Agustus 2021, piutang Indofarma di Promedik mencapai Rp 118,7 miliar atau 37,2 persen dari total piutang perusahaan. Umur semua piutang itu sudah di atas 60 hari, maksimal 90 hari. Sumber terbesar piutang adalah penjualan 2.000.670 kotak masker bedah tiga lapis merek INAmask isi 50 lembar (100 juta lembar masker) pada 18-28 Desember 2020. Indofarma melaporkan nilai penjualan masker kepada Promedik sebesar Rp 99 miliar atau Rp 45 ribu per kotak.
Baca Juga:
Indofarma memesan 2 juta masker itu dari tiga vendor dengan nilai pengadaan Rp 65,2 miliar. Pesanan terbesar dipenuhi PT Elegant Indonesia sebanyak 1,3 juta kotak dengan harga Rp 41,3 miliar atau Rp 31.819 per kotak. Pemasok lain adalah PT Tjahaya Inti Gemilang sebanyak 500 ribu kotak dengan harga Rp 17 miliar atau Rp 34 ribu per kotak dan PT Industri Sandang Nusantara (ISN) sebanyak 200 ribu kotak senilai Rp 6,9 miliar atau Rp 34.500 per kotak. ISN adalah BUMN sektor tekstil yang ditutup pemerintah pada Maret lalu.
Petugas menata masker saat peluncuran alat kesehatan, salah satunya produk masker INAmask, oleh PT Indofarma Tbk di Jakarta, 27 Juli 2020. DetikFoto/Grandyos Zafna
Auditor internal Indofarma mengendus sejumlah keganjilan dalam pengadaan dan transaksi penjualan ini. Keganjilan pertama adalah Promedik berstatus perusahaan pemasaran, bukan distributor alat kesehatan. Ternyata Promedik hanya bertindak sebagai distributor masker Indofarma yang bertanggung jawab atas pengiriman dan penjualan produk plus penagihan pembayarannya.
Pada kenyataannya, perjanjian distribusi ini hanya di atas kertas. Sehari-hari sebagian masker itu disimpan di gudang Indofarma Global Medika di Pasar Kemis, Tangerang, Banten. Penanggung jawab gudang tersebut adalah Indofarma. Indofarma pula yang mengirim dan menjual produk masker itu kepada pembeli.
Seorang pejabat yang mengetahui audit Indofarma mengungkapkan, diduga ada upaya mencatat transaksi itu sebagai penjualan kepada Promedik demi mendongkrak kinerja perusahaan. Hal itu dilakukan karena posisi Promedik sebagai cucu perusahaan yang laporan keuangannya tidak terkonsolidasi dengan Indofarma. “Jadi transaksi ini bisa dicatatkan sebagai ‘penjualan’,” kata pejabat itu.
Keganjilan lain dalam pengadaan masker ini ada pada nasib stok barang. Pada akhir 2021, tiga vendor telah mengirim 627.320 kotak masker ke gudang Indofarma di Pasar Kemis. Sebanyak 101 ribu kotak di antaranya dari Elegant, 326 ribu kotak dari Tjahaya Inti, dan 200 ribu dari ISN. Masih ada 174 ribu kotak yang dititipkan di gudang Tjahaya Inti per September 2021 dan 1,1 juta kotak di gudang Elegant.
Auditor internal Indofarma memeriksa stok masker yang dititipkan di Elegant. Manajemen Elegant, sebagaimana terungkap dalam laporan audit yang diperoleh Tempo, mengizinkan tim audit memeriksa stok masker Indofarma, tapi meminta mereka melunasi dulu biaya sewa gudang dan denda tagihan sebesar Rp 2 miliar. Ketika biaya itu ditagih, tim audit undur diri dan urung memastikan stok masker INAmask yang dititipkan di gudang Elegant.
Hingga September 2021, Indofarma sudah membayar sebagian tagihan tiga vendor ini. Kepada ISN yang dibubarkan pada Maret lalu, Indofarma membayar Rp 3,6 miliar tapi masih berutang Rp 3,9 miliar. Kepada Tjahaya Inti, mereka telah membayar Rp 5,3 miliar dan masih menunggak Rp 11,4 miliar. Sedangkan kepada Elegant, perusahaan penyedia jok kulit mobil dan sepeda motor yang merambah bidang alat kesehatan saat terjadi pandemi, Indofarma telah membayar Rp 17,3 miliar dan masih berutang Rp 24 miliar. Per Juni 2023, Indofarma masih memiliki utang Rp 9,4 miliar kepada Tjahaya Inti dan Rp 5,5 miliar kepada Elegant.
Pengadaan INAmask ini pun menambah beban keuangan Indofarma. Sebab, dalam perjanjian dengan Promedik, pembayaran “penjualan” ini menggunakan skema back-to-back, yakni Promedik akan membayar Indofarma sesuai dengan barang yang laku. “Ini berpotensi menjadi tambahan cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN),” demikian kutipan laporan audit internal Indofarma.
Indofarma juga makin terjepit karena harga pengadaan masker tersebut kini sama dengan harga jual produk berspesifikasi sama di pasar. Bahkan masker hasil pengadaan Kementerian Kesehatan dengan spesifikasi serupa kini dijual lebih murah daripada INAmask, yaitu Rp 15-20 ribu per kotak.
Direktur Utama Indofarma Agus Heru Daryono enggan menjawab pertanyaan tentang nasib jutaan masker INAmask yang belum terjual tersebut. Ketika dimintai klarifikasi pada Kamis, 12 Oktober lalu, dia juga tak menjawab ketika ditanyai mengenai strategi penyehatan perusahaan. “Nanti kita tunggu saja hasil audit BPK,” ujarnya. Agus baru diangkat sebagai Direktur Utama Indofarma pada Januari lalu, menggantikan Arief Pramuhanto.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Terlilit Rugi Barang Sisa Pandemi"