Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI Chengdu, di tengah kunjungan ke Republik Rakyat Tiongkok pada Jumat, 28 Juli lalu, Presiden Joko Widodo menemui sejumlah bos perusahaan negara itu. Seperti dikutip dari laman Sekretaris Kabinet, di Hotel Shangri-La itu, Jokowi berbicara tentang rencana Indonesia mengembangkan industri kimia dan energi di Kalimantan Utara. Banyak bos perusahaan Cina yang datang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hanya dua hari Jokowi melawat ke Cina. Tiba di Jakarta pada Sabtu, 29 Juli lalu, Jokowi langsung menggelar rapat terbatas kabinet pada Senin, 31 Juli, di Istana Kepresidenan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bukan industri kimia atau energi yang dibahas, melainkan ekosistem kendaraan listrik, isu yang sebetulnya juga disinggung Jokowi dalam lawatannya ke Tiongkok tersebut. Berjudul pengembangan ekosistem kendaraan bermotor listrik berbasis baterai, rapat mendiskusikan perangsang tambahan agar produsen mobil setrum dunia mau berinvestasi di Indonesia.
Agaknya Jokowi tersengat oleh Thailand. September tahun lalu, BYD, raksasa mobil listrik asal Tiongkok, telah mengumumkan rencana investasinya di Thailand. Pemerintah Thailand bahkan menargetkan BYD sudah bisa memproduksi 150 ribu mobil listrik per tahun dari pabrik mereka di Provinsi Rayong, bagian timur negeri itu, mulai 2024.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Pandjaitan di kantor pusat BYD di Shenzhen, Cina, 25 Mei 2023. Maritim.go.id
Thailand dan Indonesia adalah dua kuda pacu produsen otomotif di Asia Tenggara. Namun untuk mobil listrik Thailand sudah selangkah di depan. Makanya kini pemerintah berusaha memastikan agar BYD juga berinvestasi di Indonesia. Termasuk, jika perlu, mengobral insentif seperti yang ditawarkan oleh Thailand kepada BYD.
Rencana pemerintah mengobral diskon fiskal buat BYD mengemuka sejak Februari lalu. Deputi Bidang Investasi dan Pertambangan Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi Septian Hario Seto mengatakan pemerintah siap memberikan fasilitas bebas bea masuk bagi mobil listrik impor untuk pabrik yang berkomitmen berinvestasi di Indonesia. Fasilitas itu akan berlaku selama investor membangun pabrik di Indonesia. Hario Seto mengatakan investor perlu mengimpor mobil untuk mengetes pasar di Indonesia.
Akhir Mei lalu, giliran bos Seto, Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, yang bertandang ke kantor pusat BYD di Shenzhen, Cina. Bertemu dengan pendiri sekaligus Direktur Utama BYD Wang Chuanfu, keduanya menandatangani nota kesepahaman eksplorasi peluang investasi BYD di Indonesia.
Kunjungan Luhut itu hanya berselang beberapa pekan dari lawatan Wang Chuanfu ke Vietnam. Di Hanoi, Wang diterima oleh Wakil Perdana Menteri Vietnam Tran Hong Ha. Dikutip dari Vietnamnet Global, Provinsi Phu Tho terpilih sebagai lokasi investasi BYD di negeri itu.
Sementara di Thailand dan Vietnam BYD sudah memastikan investasi, sejauh ini Indonesia belum mereka lirik. Sebagai Toyota-nya mobil listrik, dengan jumlah produksi 1,8 juta unit pada 2022, tak mengherankan jika BYD kini jadi rebutan negara-negara Asia Tenggara.
Tidak hanya menyambangi BYD, para pejabat Kementerian Koordinator Investasi juga mendatangi bos produsen mobil listrik lain. Tapi permintaan mereka sama seperti BYD, dari bebas bea masuk mobil, keringanan syarat tingkat kandungan dalam negeri, hingga insentif investasi. Permintaan ini yang membuat pemerintah tak kunjung mengikat perjanjian penanaman modal.
Sebetulnya insentif pemerintah untuk menghidupkan industri kendaraan listrik tak kurang-kurang. Insentif terbaru adalah diskon pajak pertambahan nilai (PPN) 10 persen bagi produsen mobil listrik yang tingkat kandungan dalam negerinya mencapai 40 persen. Dengan diskon itu, konsumen hanya perlu membayar PPN 1 persen.
Produsen awal juga mendapat insentif fiskal untuk merangsang minat investasi mereka. Namun upaya itu belum cukup nendang untuk menarik investor baru. Mereka yang tertarik justru produsen mobil konvensional yang membuka lini produksi baru mobil listrik di pabrik lamanya, seperti Hyundai dan Wuling.
Kantor Menteri Luhut yang memelototi masalah ini kemudian mendapati sejumlah hal. Mereka mengintip resep Thailand dalam membangun industri dan pasar kendaraan listrik dalam negeri. Sepanjang lima bulan pertama 2023, sudah ada 24 ribu unit mobil listrik yang terjual di Thailand, sementara di Indonesia baru 4.632 unit.
Di Thailand, raja mobil listrik sebenar-benarnya adalah produsen mobil listrik, bukan pabrik mobil berbahan bakar minyak yang nyambi berjualan mobil listrik. BYD memimpin pasar Thailand dengan pangsa 34 persen, disusul Tesla dengan 19 persen. Sementara itu, di Indonesia, pasar mobil listrik justru dikuasai Hyundai dan Wuling.
Tawaran fasilitas Thailand yang membuat BYD memastikan investasi adalah aneka keringanan pajak serta subsidi bagi konsumen. Aneka insentif Thailand ini berada di bawah naungan Program 30@30 yang diluncurkan pada September 2022. Dalam program ini, Thailand menargetkan 30 persen produk otomotifnya pada 2030 harus berbasis listrik. Untuk mewujudkannya, pemerintah menyediakan Rp 1,3 triliun paket subsidi plus Rp 17,4 triliun investasi jangka panjang selama 2023-2025.
Paket subsidi itu meliputi insentif Rp 30,6 juta untuk setiap pembelian mobil listrik dengan kapasitas baterai 10-30 kilowatt-jam (kWh) dan 150 ribu baht (Rp 65 juta) dengan baterai berkapasitas di atas 30 kWh. Adapun untuk menarik investasi, Thailand mengobral pajak.
Presiden Joko Widodo (kanan) saat pertemuan dengan sejumlah pemimpin perusahaan Tiongkok di Hotel Shangri-La, Chengdu, Republik Rakyat Cina, 28 Juli 2023. BPMI Setpres/Laily Rachev
Mobil listrik impor utuh (CBU) mendapat diskon bea masuk dari semula 80 persen menjadi 60-0 persen. Adapun pajak barang mewah berkurang dari 8 persen menjadi 2 persen. Untuk memastikan investor yang sudah diguyur insentif itu berinvestasi, Thailand meminta sejumlah jaminan. Misalnya garansi bank, nota kesepahaman dengan Departemen Cukai, dan komitmen memproduksi kendaraan listrik di Thailand sebanyak yang mereka impor pada dua tahun pertama.
Adapun situasi di Indonesia berbeda. Yang selama ini dapat fasilitas bebas bea masuk mobil impor utuh justru produk Jepang, negara yang bukan pemain utama mobil listrik dunia. Pangsa pasar mobil listrik Jepang hanya 1 persen secara global. Sedangkan tarif bea masuk mobil impor utuh Korea Selatan sebesar 5 persen. Sementara tarif bea masuk impor mobil utuh dari Cina, yang kini menguasai 60 persen pasar mobil listrik dunia, malah 50 persen.
Akhirnya pemerintah Indonesia mencoba meniru kebijakan fiskal Thailand. “Skemanya disiapkan oleh Pak Rachmat (Kaimuddin), Deputi Bidang Infrastruktur dan Transportasi Kementerian Koordinator Kemaritiman,” tutur Taufiek Bawazier, Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika Kementerian Perindustrian. “Poinnya, Indonesia harus lebih menarik dari Thailand dan Malaysia.”
Karena ini kebijakan fiskal, Taufiek menambahkan, Kementerian Keuangan yang memimpin perumusan kebijakan untuk menarik investasi kendaraan listrik. Kementerian Perindustrian dan Kementerian Koordinator Kemaritiman kini mengebut usulan kebijakan tersebut. Mereka khawatir, jika insentif tak segera keluar, dan BYD batal berinvestasi di Indonesia, produk BYD justru akan masuk ke Indonesia lewat Thailand, dengan tarif bea masuk 0 persen, sesuai dengan perjanjian dagang ASEAN. "Sedang kami kerjakan hitung-hitungan usulannya dengan Kemenkeu secara komprehensif," kata Rachmat Kaimuddin ketika dihubungi pada Sabtu, 5 Agustus lalu.
***
SETELAH menghadiri rapat terbatas pada Senin, 31 Juli lalu, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengakui ada usul membebaskan bea masuk mobil impor utuh. Menurut Agus, Presiden Joko Widodo secara prinsip sudah setuju dengan usul tersebut. “Sedang kami rumuskan bersama Kementerian Keuangan,” ujar Agus. “Semua kebijakan fiskal harus kompetitif.”
Selain membebaskan bea masuk, pemerintah berencana melonggarkan aturan tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) di Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) untuk Transportasi Jalan. Pemerintah berencana memundurkan penerapan aturan TKDN, yang semula wajib 40 persen pada 2024 menjadi 2026. “Kalau tetap 2024, Hyundai pun tak akan mampu memenuhinya,” kata seorang pejabat. Meski demikian, penerapan hal ini bergantung pada kesiapan industri dalam negeri menyuplai komponen baterai mobil listrik.
Seorang pejabat lain yang mengetahui pembahasan aturan ini mengatakan Kementerian Keuangan masih ragu terhadap hitung-hitungan insentif dari Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi. Para pejabat di Kementerian Keuangan ragu obral insentif berkorelasi langsung terhadap investasi. Sebab, ada variabel lain yang menentukan realisasi investasi.
Karena itu, Kementerian Keuangan disebut akan meminta pemerintah menerapkan jaminan jika program insentif investasi kendaraan listrik diberlakukan seperti di Thailand. Misalnya garansi bank yang bisa dipegang atau dicairkan. Sebab, bebas bea masuk produk impor berarti merelakan pendapatan negara berkurang. Dengan garansi bank, jika kelak investor mendapat fasilitas ini tapi ogah membangun pabrik di dalam negeri, pemerintah bisa menarik jaminan itu.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu tak mau menjelaskan tarik-menarik kebijakan insentif investasi kendaraan listrik. Ia mengaku belum menerima usulan Kementerian Koordinator Kemaritiman. “Nanti saya lihat dulu usulannya,” tuturnya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani juga irit bicara seusai rapat kabinet membahas kebijakan insentif fiskal untuk menarik minat investasi kendaraan listrik. Para menteri yang bersemangat menjelaskan isi rapat kabinet adalah Menteri Investasi Bahlil Lahadalia, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita, dan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Gula-gula Investasi Kendaraan Listrik"