Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kimia Farma mencatatkan kerugian Rp 1,8 triliun pada 2023.
Pabrik Kimia Farma dan perusahaan Korea menjadi sumber kerugian.
Ada anak usaha Kimia Farma yang terjerat penyelewengan keuangan.
DAVID Utama bergegas menuju Toyota Alphard hitam yang terparkir di lobi gedung Indonesia Health Learning Institute (IHLI) milik Bio Farma Group. Selasa petang, 25 Juni 2024, David, yang baru saja melepas jabatan Direktur Utama PT Kimia Farma Tbk, mengenakan polo shirt hitam dan celana berwarna khaki. Ia berbeda dengan direktur Kimia Farma lain yang mengenakan seragam perusahaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketika itu, rapat umum pemegang saham tahunan (RUPST) Kimia Farma memutuskan untuk memberhentikan David dari jabatan direktur utama. Kementerian Badan Usaha Milik Negara menunjuk Djagad Prakasa Dwialam sebagai pengganti David. Djagad sebelumnya menjabat Direktur Utama Kimia Farma Trading & Distributions, anak usaha Kimia Farma. “Pergantian direksi sepenuhnya keputusan pemegang saham dan bisa terjadi setiap saat. Ini hal normal yang tujuannya untuk meningkatkan kinerja perusahaan,” kata Djagad. Sedangkan David enggan berkomentar dan memilih pergi dengan mobil van mewahnya.
Pergantian direktur merupakan salah satu keputusan RUPST Kimia Farma. Kepada Tempo, dua pejabat di perusahaan farmasi itu mengatakan rapat pemegang saham berjalan lambat dan alot, menanti keputusan Kementerian BUMN selaku pemegang saham pengendali. Bahkan agenda keterangan kepada media pun mundur dari sedianya pukul 16.30 WIB menjadi 19.20 WIB. Selain pergantian direktur utama, Kementerian BUMN memberhentikan Dharma Syahputra yang menjabat Direktur Sumber Daya Manusia, digantikan oleh Disril Revolin Putra.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Direktur Utama PT Kimia Farma Tbk Djagad Prakasa Dwialam (tengah) beserta direktur lain seusai konferensi pers Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan Buku 2023, di gedung ILHI Biofarma Group, Cipinang, Jakarta Timur, 25 Juni 2024. TEMPO/Ghoida Rahmah
Dua pejabat di lingkungan BUMN farmasi mengungkapkan, pergantian direktur Kimia Farma salah satunya dipicu oleh tekanan Dewan Perwakilan Rakyat. Pada 19 Juni 2024, Komisi VI DPR yang mengurusi BUMN menggelar rapat dengar pendapat dengan holding BUMN farmasi. David hadir mendampingi Direktur Utama PT Bio Farma (Persero), induk holding BUMN farmasi, Shadiq Akayasa. Rapat berlangsung panas selama hampir empat jam. Kala itu David dicecar oleh anggota Dewan yang mempertanyakan kinerja Kimia Farma yang suram.
Dalam paparannya, manajemen Bio Farma mengungkapkan kerugian Rp 2,16 triliun sepanjang 2023. Kerugian terbesar berasal dari Kimia Farma, yaitu Rp 1,8 triliun. Kondisi ini yang kemudian memunculkan wacana perombakan direksi. Kepada Tempo, Djagad mengakui dia mendapat mandat dari pemegang saham untuk melakukan transformasi kinerja Kimia Farma. “Prioritas kami mengembalikan keuangan ke arah positif,” ucapnya.
Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko Kimia Farma, Lina Sari, juga mengungkapkan sejumlah penyebab kerugian. "Ada inefisiensi pabrik. Kapasitasnya terlalu besar, tapi utilisasinya rendah," ujarnya. Sumber kerugian lain adalah produk yang tidak terserap oleh pasar dan sudah masuk masa kedaluwarsa. "Komposisi produk tahun 2023 didominasi oleh produk-produk dengan margin rendah," kata Lina.
Ternyata ada pula dugaan penyelewengan data atau rekayasa keuangan oleh anak usaha Kimia Farma, yaitu PT Kimia Farma Apotek. Namun Lina enggan merinci detailnya. "Masih dalam tahap evaluasi dan audit oleh konsultan independen," dia berkilah. Jika dirinci, beban operasional dan produksi Kimia Farma Apotek meningkat hingga 35,5 persen menjadi Rp 4,66 triliun. Karena itu, perusahaan tersebut mencatatkan kerugian dari bisnis apotek sebesar Rp 800 miliar dan dari jasa laboratorium Rp 119 miliar. Lina memperkirakan hasil penyelidikan selesai pada Agustus mendatang.
•••
PABRIK yang tak efisien menjadi masalah utama yang menggerogoti kinerja keuangan Kimia Farma. Dalam paparan di hadapan Komisi VI DPR, manajemen Kimia Farma menyatakan salah satu pabrik yang merugi adalah pabrik bahan baku obat PT Kimia Farma Sungwun Pharmacopia (KFSP). Pabrik yang berlokasi di Lippo Cikarang, Bekasi, Jawa Barat, itu berdiri pada 25 Januari 2016 melalui skema patungan atau joint venture antara Kimia Farma dan perusahaan farmasi asal Korea Selatan, Sungwun Pharmacopia Co Ltd. Kepemilikan Kimia Farma di KFSP sebesar 80,67 persen.
Ketika mendirikan pabrik ini, Kimia Farma menargetkan pengurangan ketergantungan bahan baku obat impor. Targetnya, hingga tahun ini, impor bahan baku obat dapat turun dari 90 persen menjadi 23 persen. Namun tak banyak perubahan berarti dalam delapan tahun terakhir. “Harga kami tidak mampu bersaing dengan produsen di Cina dan India,” kata David Utama di hadapan DPR, Rabu, 19 Juni 2024.
Perusahaan bahan baku obat asal Cina dan India menguasai rantai pasok farmasi global. Kedua negara itu memiliki skala usaha dan kapasitas produksi lima kali lipat lebih besar daripada pabrik milik BUMN farmasi. Karena itu, produsen Cina dan India bisa menawarkan produk dengan harga dua hingga empat kali lipat lebih murah dibanding bahan baku obat buatan Kimia Farma.
David mengatakan, jika kondisi ini terus berlangsung, napas pabrik KFSP tak akan panjang. Kimia Farma pun meminta intervensi pemerintah untuk membatasi impor bahan baku obat, memastikan penyerapan bahan baku obat lokal, serta meminta dukungan dana pengembangan skala produksi KFSP dengan skema penugasan. “Kami sudah menyampaikan permintaan kepada induk usaha, Bio Farma, sejak beberapa bulan lalu untuk disampaikan kepada Kementerian BUMN dan kementerian terkait," ucapnya. Direktur Utama Bio Farma Shadiq Akayasa, yang hadir dalam rapat tersebut, hanya menjawab singkat, “Suratnya sedang diproses.”
Tempo berupaya meminta tanggapan Shadiq dan Sekretaris Perusahaan Bio Farma Bambang Heriyanto ihwal surat tersebut, tapi tak mendapatkan jawaban. Demikian pula dengan permintaan konfirmasi mengenai perombakan jajaran direksi Kimia Farma dan permintaan proteksi bahan baku obat kepada Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga dan Asisten Deputi Menteri BUMN Bidang Industri Kesehatan Fadjar Judisiawan.
Direktur Portofolio, Produk, dan Layanan Kimia Farma Jasmine Karsono mengatakan, sejak berdiri pada 2016, utilisasi pabrik KFSP baru 74 persen dengan pangsa pasar domestik yang masih terbatas. “Sampai saat ini kami sudah membuat 17 bahan baku obat, lima di antaranya ada di top 10 molekul prioritas Kementerian Kesehatan,” katanya. Produk andalan KFSP antara lain bahan baku obat antivirus serta bahan untuk obat kolesterol dan darah tinggi.
Jasmine membenarkan kabar bahwa Kimia Farma meminta dukungan dari pemerintah berupa penugasan untuk mengembangkan kapasitas pabrik. Dengan penugasan, Kimia Farma berpeluang mendapat suntikan modal sehingga dapat memperluas pasar di dalam negeri ataupun ekspor. “Tantangan terbesar berikutnya adalah Indonesia belum memiliki produk intermediary atau turunan kimia dasar dan biologi dasar untuk sumber bahan baku obat,” ujarnya.
Direktur Eksekutif Gabungan Perusahaan Farmasi Elfiano Rizaldi mengatakan industri obat-obatan memiliki regulasi ketat ketika ingin mencari sumber bahan baku alternatif. Terlebih saat ini ketergantungan industri farmasi nasional terhadap bahan baku obat impor begitu tinggi. “Farmasi tidak semudah dan secepat itu mengubah bahan baku obat. Sebab, dalam prosesnya, ada banyak tahapan, seperti harus daftar ulang untuk mendapatkan izin edar baru dari Badan Pengawas Obat dan Makanan,” ucapnya.
Meski terseok-seok, KFSP masuk jajaran pabrik Kimia Farma yang selamat dari rencana penutupan. Inefisiensi pabrik yang berujung pada kerugian membuat Kimia Farma harus menutup lima dari sepuluh pabriknya. Direktur Produksi and Supply Chain Kimia Farma Hadi Kardoko mengatakan pabrik yang ditutup utilisasinya kurang dari 40 persen. "Semoga produksi ke depan lebih optimal sekaligus bisa menurunkan biaya operasional,” tuturnya.
Hadi tak menampik kabar akan terjadi pemutusan hubungan kerja sebagai konsekuensi dari penutupan pabrik. Menurut dia, proses penutupan pabrik membutuhkan waktu hingga tiga tahun untuk memperhitungkan keberlangsungan bisnis dan kepatuhan terhadap regulasi.
Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance, Abra Talattov, mengatakan kerugian yang dialami BUMN farmasi merupakan anomali di tengah musim semi industri kesehatan saat masa pandemi Covid-19 hingga periode sesudahnya. “Produsen swasta malah mencatatkan untung karena permintaan tinggi. Miris ketika BUMN farmasi justru mengungkap kerugian besar,” katanya.
Karena itu, Abra mempertanyakan studi kelayakan yang dilakukan Kimia Farma ketika mendirikan pabrik. "Apakah sudah benar, dan ketika melakukan proyeksi bisnis juga harus dievaluasi apakah ada unsur kesengajaan atau fraud yang menyebabkan kerugian,” ucapnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Rugi Besar Pabrik Patungan"