Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pendapatan industri penerbangan mulai meningkat selepas masa pandemi Covid-19.
Maskapai penerbangan nasional mulai bergairah meski menghadapi masalah.
Industri penerbangan berhadapan dengan mahalnya harga avtur.
ENAM helikopter diparkir berjajar memenuhi lapangan terbuka di area Heli Expo Asia atau Hexia 2024 di Cengkareng Heliport, Tangerang, Banten, Selasa, 25 Juni 2024. Beberapa unit helikopter lain sedang dirakit oleh para teknisi sebelum dipajang di arena pamer. Berselang satu hari sebelum pembukaan pameran industri penerbangan itu, sebanyak 20 ribu orang tercatat dalam daftar registrasi pengunjung. “Bakal terus bertambah,” kata Chief Executive Officer dan Founder Whitesky Group, Denon Prawiraatmadja, kepada Tempo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Whitesky Group merupakan penyelenggara Hexia, festival tahunan yang biasa dihadiri oleh pelaku industri penerbangan hingga penggemar helikopter. Apabila mengacu pada penyelenggaraan tahun lalu, Denon memperkirakan jumlah pengunjung bisa dua kali lipat dari data registrasi. Tahun lalu, jumlah pengunjung dalam daftar registrasi adalah 10 ribu orang, tapi pada kenyataannya yang hadir 18 ribu orang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hexia 2024 kedatangan sejumlah produsen helikopter dunia, seperti Airbus Helicopters SAS—sebelumnya bernama Eurocopter Group—yakni divisi manufaktur helikopter Airbus. Ada pula Bell Helicopter Textron, produsen helikopter yang bermarkas di Fort Worth, Texas, Amerika Serikat. Perusahaan lain adalah Hammock Helicopter dan Hammock Robotics dari Malaysia serta Helitak Fire Fighting Equipment Pty Ltd dari Australia. Beberapa perusahaan jasa penunjang penerbangan, seperti Bose Aviation, United Aero Helicopter, dan BETA Technologies, ambil bagian.
Jika melongok pameran Hexia 2024, geliat industri penerbangan bisa terasa. Asosiasi Transportasi Udara Internasional (IATA) memperkirakan jumlah penumpang pesawat di seluruh dunia tahun ini bisa mencapai 5 miliar orang. Angka tersebut melampaui capaian pada 2019, tahun terakhir sebelum pandemi Covid-19 melanda. Proyeksi tersebut tertuang dalam kertas fakta IATA edisi Juni 2024, yang dirilis pada awal Juni.
Petugas mengisi bahan bakar minyak avtur untuk pesawat komersial di Bandara Internasional Lombok, Nusa Tenggara Barat, April 2024. Antara/Ahmad Subaidi
Peningkatan jumlah penumpang seharusnya bisa mendongkrak pendapatan maskapai penerbangan. Tahun lalu, pendapatan industri penerbangan global mencapai US$ 908 miliar, melampaui perolehan pada 2019 yang sebesar US$ 838 miliar. Tahun ini, pendapatan industri penerbangan akan mencapai US$ 996 miliar.
Dalam laporan kinerja triwulan I 2024 yang dirilis pada akhir Mei 2024, PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk mencatatkan pertumbuhan pendapatan usaha tahunan 18,07 persen atau menjadi US$ 711,98 juta. Kenaikan pendapatan terjadi pada bisnis penerbangan berjadwal yang tumbuh 18,19 persen atau menjadi US$ 599,01 juta. Penerbangan tidak berjadwal tumbuh 53,57 persen menjadi US$ 19,67 juta, sementara pendapatan lain meningkat 11,92 persen menjadi US$ 92,28 juta.
Di lain pihak, beban usaha meningkat dari US$ 605,18 juta pada triwulan I 2023 menjadi US$ 702,92 juta pada triwulan I 2024. Biaya terbesar ada pada beban operasional penerbangan, beban pemeliharaan dan perbaikan, beban bandar udara, serta beban pelayanan penumpang. Beban operasional penerbangan, misalnya, naik dari US$ 346,18 juta pada triwulan I 2023 menjadi US$ 371,07 juta pada triwulan I 2024. Walhasil, Garuda mencatatkan kerugian periode berjalan sebesar US$ 86,8 juta. Angka ini menurun dari periode yang sama tahun lalu yang mencapai US$ 110,03 juta.
Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra, dalam keterangannya kepada media, mengatakan ada capaian penting seperti laba bersih US$ 251,99 juta dan selesainya pembayaran utang secara penuh kepada kreditor, dengan nilai utang hingga Rp 255 juta. Angka itu sesuai dengan skema perjanjian perdamaian yang mendapatkan putusan homologasi. Irfan pun optimistis penyehatan kinerja perseroan berjalan sesuai dengan target. “Fundamen kinerja perusahaan terus menunjukkan tren positif.”
Peningkatan kinerja juga diraih oleh Indonesia AirAsia. Perusahaan yang masuk daftar maskapai penerbangan berbiaya hemat terbaik versi Skytrax ini mencatatkan kenaikan pendapatan 75,24 persen menjadi Rp 6,62 triliun pada kuartal I 2024. Nilai penjualan tiket pesawat mencapai Rp 5,63 triliun, sementara pendapatan dari bagasi Rp 731,74 miliar. Sumber pendapatan lain adalah layanan jasa pendukung penerbangan Rp 125,85 miliar, kargo Rp 44,26 miliar, dan penerbangan carter Rp 14,08 miliar. “AirAsia melanjutkan pemulihan kinerja setelah pandemi,” tutur Direktur Utama Indonesia AirAsia Veranita Yosephine Sinaga pada Sabtu, 11 Mei 2024.
Per Maret 2024, Indonesia AirAsia melayani 33 rute yang terdiri atas 12 rute domestik dan 21 rute internasional. Dari semua rute, penerbangan dari dan menuju Denpasar menjadi sumber pendapatan utama dengan nilai Rp 2,63 triliun. Posisi kedua adalah penerbangan ke Jakarta senilai Rp 2,58 triliun. Sedangkan penerbangan dari dan menuju Surabaya serta Medan masing-masing tercatat Rp 784 miliar dan Rp 624 miliar.
Meski keuangannya lumayan moncer, perbaikan kinerja sektor penerbangan tak mulus. Ada sederet tantangan yang harus dihadapi, seperti kenaikan harga bahan bakar avtur. Berdasarkan data One Solution Pertamina, harga avtur di Bandar Udara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, untuk penerbangan domestik periode 1-30 Juni 2024 sebesar Rp 13.734,42 per liter. Sedangkan pada 1-29 Februari 2024 harganya Rp 13.300,35 per liter.
Masalah lain adalah melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Bagi industri penerbangan yang mayoritas biaya produksinya menggunakan dolar Amerika, pelemahan kurs merupakan tekanan berat. Belum lagi biaya perbaikan dan pemeliharaan yang sempat terjegal regulasi impor suku cadang.
Menurut Denon Prawiraatmadja, yang juga menjabat Ketua Umum Maskapai Penerbangan Nasional Indonesia atau INACA, masalah pelemahan nilai tukar dan harga avtur adalah problem klasik. Masalah ini, dia mengimbuhkan, bisa selesai apabila industri penerbangan terus tumbuh. Tapi usaha untuk tumbuh pun ternyata tidak mudah. Di Indonesia, industri transportasi, sebagai penopang sektor industri lain, tidak punya fokus.
Denon membandingkan situasi ini dengan Uni Emirat Arab yang mulai menggeser sektor prioritas, yakni dari minyak dan gas ke pariwisata, dengan melahirkan Dubai sebagai destinasi wisata. Dengan begitu, arah sektor penerbangan bisa lebih jelas, yakni menopang industri pariwisata. Berbeda dengan Uni Emirat Arab, Indonesia, menurut Denon, tidak memiliki perencanaan yang dapat digunakan sebagai acuan. Pelaku menanti arah kebijakan pemerintah, apakah akan mengusung industri pariwisata sebagai produk andalan atau malah sektor lain. “Konsep yang holistik diperlukan untuk menghindari ekonomi biaya tinggi.”
Karena itu, Denon berharap geliat sektor penerbangan seperti yang tergambar dalam meriahnya Heli Expo Asia 2024 bisa terwujud. Ia menargetkan pameran kali ini menghasilkan setidaknya 12 transaksi pembelian atau sewa helikopter, naik dua kali lipat dari tahun lalu.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Pada edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Mahal Peluang untuk Bertumbuh".