Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENANDA lahan kosong seluas 21 hektare itu hanya plang besi putih bertulisan “Tanah milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta CQ Perusahaan Umum Daerah Pembangunan Sarana Jaya”. Hanya pepohonan dan alang-alang yang mengisi lahan di Kelurahan Rorotan, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara, itu. Berada di dalam perumahan Rorotan Kirana Legacy, kawasan tersebut mulanya direncanakan sebagai lokasi hunian berskema uang muka nol rupiah atau DP 0 Rupiah yang dicanangkan Pemprov Jakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lahan yang kini milik Perumda Pembangunan Sarana Jaya itu mangkrak beberapa tahun belakangan. Gara-garanya proses pembelian tanah itu bermasalah. Sarana Jaya merupakan perusahaan milik Pemerintah Provinsi DKI yang ditugasi menyediakan lahan untuk perumahan DP 0 Rupiah pada 2019-2020. Salah satunya berada di Rorotan. “Awalnya tanah itu akan kami manfaatkan untuk membangun kawasan, tapi batal,” ujar Sekretaris Perusahaan Perumda Pembangunan Sarana Jaya Yadi Robby kepada Tempo, Jumat, 28 Juni 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hunian DP 0 Rupiah ditujukan bagi masyarakat berpenghasilan rendah di Jakarta. Program penyediaan rumah tanpa uang muka ini dimulai dan gencar dibangun di masa pemerintahan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Dalam perjalanannya, Anies meresmikan dua tower hunian DP 0 Rupiah di Menara Samawa dan Menara Kanaya dengan total 1.348 unit pada September 2022.
Yoory Corneles Pinontoan (kelima dari kanan) saat menjabat Direktur Utama PD Pembangunan Sarana Jaya dan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan dalam peresmian pembangunan Rumah DP 0 Rupiah Klapa Village di Pondok Kelapa, Jakarta, 12 Oktober 2018. Tempo/M. Taufan Rengganis
Komisi Pemberantasan Korupsi sedang menyelidiki peran para makelar tanah yang menjual tanah tersebut kepada Sarana Jaya. KPK menduga ada selisih Rp 400 miliar dari harga tanah yang sebenarnya. Jumlah itu yang diperkirakan menjadi kerugian negara. “Kasus ini menjadi perhatian KPK karena nilai kerugiannya besar,” kata Pelaksana Harian Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur Rahayu.
Sarana Jaya membeli lahan seluas 24 hektare pada 2019. Badan usaha milik daerah pemerintah Jakarta itu mengeluarkan anggaran Rp 776 miliar untuk membeli lahan. Fulus berasal dari penyertaan modal daerah Pemerintah Provinsi Jakarta. Saat itu tanah dibeli dengan harga Rp 3,22 juta per meter persegi. Sarana Jaya mengklaim penentuan harga itu mengacu pada hasil appraisal kantor jasa penilai publik.
Sarana Jaya membeli lahan itu dari PT Citratama Inti Persada. Pemilik 1 persen saham PT Citratama adalah Zahir Ali, pembalap gokar dan putra Ali Mohammad alias Ali Idung. Pemilik 99 persen saham PT Citratama adalah PT Kalma Indocorpora. Zahir, 37 tahun, juga tercatat pemilik 51 persen saham di PT Kalma.
KPK sudah mencegah sepuluh orang ke luar negeri sejak 12 Juni 2024 hingga enam bulan ke depan dalam kasus ini. Salah seorang di antaranya ditengarai adalah Zahir. Dua manajer PT Citratama dan PT Kalma berinisial DBA dan PS dikabarkan turut dicegah. Ada juga notaris berinisial JBT dan advokat berinisial SSG yang masuk daftar cegah tersebut. Sementara itu, enam orang lain tercatat sebagai pihak swasta. “Mereka dicegah ke luar negeri untuk memudahkan KPK menelusuri korupsi pengadaan lahan di Rorotan,” ucap anggota tim juru bicara KPK, Budi Prasetyo.
Lahan Perusahaan Umum Daerah Pembangunan Sarana Jaya yang dibeli dari PT Citratama Inti Persada, perusahaan milik Zahir Ali. Tanah ini berlokasi di Kelurahan Rorotan, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara, 29 Juni 2024. Tempo/Martin Yogi Pardamean
Penyelidikan kasus pengadaan lahan DP 0 Rupiah merupakan pengembangan dari kasus pengadaan lahan di Munjul dan Pulogebang, Jakarta Timur, yang juga ditangani KPK. Lahan itu juga akan digunakan untuk program perumahan DP 0 Rupiah. Kasus ini menyeret mantan Direktur Utama Perumda Pembangunan Sarana Jaya, Yoory Corneles Pinontoan. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta memutus Yoory bersalah dan menghukumnya enam tahun enam bulan penjara serta denda Rp 500 juta subsider enam bulan kurungan.
Kerugian negara dalam kasus tanah di Munjul dan Pulogebang bernilai Rp 152 miliar. Selain Yoory, mantan Direktur PT Adonara Propertindo, Tommy Adrian, dan mantan Wakil Direktur PT Adonara Propertindo, Anja Runtuwene, serta beneficial owner PT Adonara Propertindo, Rudy Hartono Iskandar, menjadi terpidana dalam kasus ini. Pengadaan tanah di Pulogebang, Cakung, Jakarta Timur, pun bermasalah. Perkara ini sedang berjalan di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Dalam kasus tanah di Rorotan, KPK sudah memeriksa Zahir Ali. Seseorang yang mengetahui proses pengadaan tanah ini mengatakan Zahir dan Yoory Corneles berkomunikasi intensif sebelum Sarana Jaya membeli lahan PT Citratama di Rorotan. Zahir Ali kerap bolak-balik ke kantor Sarana Jaya di Jakarta Pusat. Ia langsung dijamu Yoory Corneles di ruang kerjanya.
Pertemuan tertutup ini terjadi beberapa kali sebelum Sarana Jaya akhirnya memutuskan membeli tanah PT Citratama. Sumber yang sama mengatakan, saat bertandang ke PT Sarana jaya, Zahir ditemani salah seorang manajer PT Citratama yang juga sudah dicegah ke luar negeri.
Sekretaris Perusahaan Perumda Pembangunan Sarana Jaya Yadi Robby menjelaskan, PT Citratama Inti Persada yang mengajukan surat penawaran penjualan lahan di Rorotan. Dia mengimbuhkan, banyak perusahaan yang mengajukan penawaran karena Sarana Jaya berencana membangun kawasan seluas 500 hektare di sana. Direksi lantas memilih tanah milik PT Citratama lewat proses appraisal kantor jasa penilai publik. “Semua prosesnya penunjukan langsung,” ujar Yadi.
Rupanya, tak semua lahan itu dimiliki PT Citratama. Dari total luas 24 hektare lahan yang dibeli dari PT Citratama, ternyata seluas 2,9 hektare merupakan tanah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Tanah itu memang dikabarkan kerap berpindah tangan. Namun secara resmi lahan tersebut merupakan tanah yang seharusnya diserahkan kepada pemerintah Jakarta. Artinya, selain harga jual yang tidak wajar, kerugian negara dalam pembelian tanah di Rorotan yang menyeret PT Citratama terjadi karena sebagian uang itu digunakan untuk membeli lahan milik pemerintah Jakarta.
Yadi Robby mengklaim urusan tanah seluas 2,9 hektare di Rorotan sudah selesai. Ia mengatakan PT Citratama sudah menyerahkan lahan pengganti. Lokasinya masih dalam satu kawasan yang sama. Legalitas dan kepemilikan aset lahan Rorotan pun sudah atas nama Sarana Jaya. “Proyek ini sudah clear,” tuturnya.
Sebelum akan diusulkan digunakan untuk perumahan DP 0 Rupiah, lahan itu digunakan sebagai bank tanah Pemerintah Provinsi Jakarta. Sarana Jaya tak hanya membeli 24 hektare lahan dari PT Citratama. Mereka juga membeli lahan 12,3 hektare dari PT Totalindo Eka Persada. Nilainya mencapai Rp 370 miliar. Ada juga lahan sekitar 6,1 hektare yang dibeli dari pemilik individu senilai Rp 171 miliar. Pembelian lahan itu juga kontroversial karena salah seorang pemilik lahan ditengarai seorang pejabat pemerintah Jakarta.
Sarana Jaya juga sebenarnya berencana membeli 9,1 hektare lahan senilai Rp 257 miliar di Rorotan. Mereka menggunakan jasa makelar. Tapi rencana pembelian itu dibatalkan karena penjual tak kunjung menyelesaikan urusan sertifikat kepemilikan tanah. Padahal Sarana Jaya telah membayar puluhan miliar rupiah.
Hingga 31 Desember 2022, penjual belum membayar utang Rp 71 miliar. Sarana Jaya lantas melapor ke Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI pada 22 Desember 2022. “Atas dugaan memberikan keterangan palsu atau penipuan atau perbuatan curang,” ucap Yadi.
Dalam kasus di Rorotan, KPK sudah menggeledah, menyita, dan memeriksa saksi lain. Namun, hingga kini, KPK belum mengumumkan tersangka. “Kami belum bisa menyampaikan siapa tersangkanya,” kata koordinator juru bicara KPK, Tessa Mahardhika Sugiarto.
Sementara itu, kuasa hukum Yoory Corneles di Pengadilan Tipikor Jakarta, Arman Hanis, mengatakan ia tak bisa membahas kasus itu lagi. “Kami bukan kuasa hukum beliau lagi,” tuturnya. Sementara itu, pengacara Yoory di tingkat banding, Muhammad Arif Sulaiman, tak merespons pertanyaan Tempo hingga Sabtu, 29 Juni 2024.
Zahir Ali (berjaket putih) hadir di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi untuk diperiksa sebagai saksi, 19 Juni 2024. RMOL/Jamaludin Akmal
Tempo juga mendatangi dan mengirimkan surat permohonan wawancara ke alamat Zahir di Jalan Tanah Abang II. Tapi alamat itu hanya gedung kosong yang belum selesai dibangun. Alamat kantor PT Citratama Inti Persada yang berada di sebelahnya juga sudah lama beralih fungsi menjadi kantor hukum. Surat juga sudah dikirim ke kantor PT Kalma Indocorpora di Selong, Jakarta Selatan. Salah satu staf berjanji meneruskan surat tersebut. Namun surat itu tak kunjung berbalas hingga Sabtu, 29 Juni 2024. Adapun nomor telepon Zahir Ali yang diperoleh Tempo sudah tak aktif lagi.
Pemilik PT Citratama Inti Persada, Zahir Ali, sudah mesra dengan Perumda Pembangunan Sarana Jaya ketika hendak membeli hotel Novotel, Cikini, Jakarta Pusat, pada 2019. Sarana Jaya membeli hotel seluas 3.588 meter persegi itu senilai Rp 645 miliar. Transaksi dilakukan langsung dengan PT Hotel Batavia Harmoni yang sahamnya dikuasai oleh Zahir Ali dan keluarganya.
Informasi ini tertuang dalam berkas putusan Yoory Corneles Pinontoan di Pengadilan Tipikor Jakarta. Dalam putusan Yoory itu, nama Zahir setidaknya tiga kali disebut. Konteks pertama adalah soal pembelian tanah di Rorotan, lalu pembelian hotel Novotel di Cikini.
Sarana Jaya sebenarnya belum melunasi pembelian hotel Novotel di Cikini. Sebab, pada waktu itu sertifikat laik fungsi pembangunan hotel belum terbit. Pindah tangan hotel bermula ketika PT Hotel Batavia Harmoni mengajukan penawaran. Transaksi itu selesai pada Maret 2024. “Sudah resmi menjadi punya Sarana Jaya,” kata Sekretaris Perusahaan Perumda Pembangunan Sarana Jaya Yadi Robby.
Hubungan Zahir Ali dengan Sarana Jaya makin intens. Sejak saat itu, perusahaan Zahir mulai menggarap sejumlah proyek Sarana Jaya. Salah satunya pengembangan lahan untuk mendirikan bangunan komersial serta hunian di Jalan Haji Ilyas, Lebak Bulus, Cilandak, Jakarta Selatan, seluas 18.854 meter persegi. Zahir menggunakan bendera PT Kalma Indocorpora dalam proyek tersebut. “Beliau langsung menghadap kepada pimpinan,” ucap Yadi Robby saat ditanyai soal kedekatan Zahir dengan Sarana Jaya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Fajar Pebrianto dan Mutia Yuantisya. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Makelar Tanah di Utara Jakarta "