Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pengalihan program pensiun abdi negara ke BP Jamsostek terlunta-lunta.
Aturan pelaksana semestinya disiapkan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.
Putusan Mahkamah Konstitusi bakal menjadi penentu.
SATU berkas dokumen elektronik menuntun Pahala Nainggolan menemui Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Tjahjo Kumolo. Dokumen itu beredar dan masuk radar Pahala, Deputi Bidang Pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi, tak lama setelah Tjahjo dilantik menjadi menteri urusan abdi negara pada Oktober 2019.
Berkas elektronik itu tak lain rancangan peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara tentang pemberian perlindungan jaminan kesehatan, kecelakaan kerja, dan kematian bagi pegawai honorer pemerintah. PT Taspen (Persero) bakal menjadi penyelenggaranya. Rancangan peraturan ini sudah disetip KPK dalam program koordinasi, supervisi, dan pencegahan korupsi pada Juli 2019. “Drafnya ternyata beredar lagi setelah Pak Tjahjo naik,” kata Pahala di kantornya di Jakarta, Kamis, 20 Februari lalu.
Pahala bertandang ke kantor Tjahjo pada Kamis, 6 Februari lalu. Kepada sahibulbait, dia mengingatkan bahwa rancangan peraturan tersebut melanggar sejumlah ketentuan. Salah satunya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kajian KPK menyebutkan yang berhak menyelenggarakan, termasuk mengutip premi, jaminan kematian, kecelakaan, dan kesehatan pegawai honorer adalah Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan—kalah pamor dengan BPJS Kesehatan, badan ini belakangan gencar memperkenalkan diri sebagai Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Tenaga kerja (BP Jamsostek), nama sebelumnya.
Rupanya, persamuhan tersebut tidak hanya membahas rancangan peraturan jaminan sosial buat tenaga honorer. Keduanya juga membicarakan pengalihan program jaminan pensiun dan tabungan hari tua bagi aparatur sipil negara dan tentara yang hingga kini dikelola Taspen dan PT Asabri (Persero).
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS mengatur pengalihan program Taspen dan Asabri ke BP Jamsostek dilakukan selambatnya pada 2029. “Saya mengingatkan, Kementerian PAN-RB sudah ditugasi menyiapkan pengalihan itu,” ujar Pahala.
Tjahjo membenarkan kabar bahwa ia telah bertemu dengan KPK. Namun Menteri Dalam Negeri pada pemerintahan periode pertama Presiden Joko Widodo ini menolak menjelaskan isi pertemuan tersebut. “Saya tidak bisa cerita karena telaahan materi masukan dari KPK,” ucap Tjahjo pada Selasa, 18 Februari lalu.
Pertemuan KPK dan Kementerian PAN menambah laguh-lagah rencana pengalihan layanan Taspen dan Asabri ke BP Jamsostek yang bergulir di Mahkamah Konstitusi. Ketika gugatan uji materi yang diajukan tujuh pensiunan pegawai negeri dan sebelas amtenar aktif pada November 2019 masih disidangkan, empat purnawirawan Tentara Nasional Indonesia memperkarakan sejumlah pasal yang mengatur rencana pengalihan ini ke MK pada Januari lalu.
Kedua gugatan itu senada: pemohon menilai aturan pengalihan layanan program ke BP Jamsostek merugikan mereka. Pada gugatan pertama, para pemohon—di antaranya mantan Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Yudisial, Mohammad Saleh—khawatir pembayaran pensiunan bakal jeblok bila layanan dipindahkan ke BP Jamsostek.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dialog bersama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Tenaga Kerja di kantor Pusat BP Jamsostek, Jakarta, 21 Februari 2020. Tempo/Tony Hartawan
Masalah pengalihan layanan ke BP Jamsostek sebenarnya sudah panas tiga tahun terakhir. Gara-garanya, pada 22 November 2018, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja. Pasal 99 peraturan tersebut mengatur pegawai honorer akan diberi jaminan kesehatan, kecelakaan kerja, dan kematian sebagaimana yang didapat pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja—pegawai negeri tanpa tunjangan pensiun.
Belum keluar peraturan menterinya, Taspen sudah bergerak menyisir pemerintah daerah agar mendaftarkan tenaga honorernya ke perseroan. Masalahnya, dari 3 juta pegawai honorer yang ada di seluruh Indonesia, 2 juta sudah menjadi anggota BP Jamsostek. Taspen mengincar 1 juta yang tersisa.
BP Jamsostek lalu menyurati KPK untuk meminta pertimbangan. Belakangan, kedua lembaga meneken nota kesepahaman kerja sama dan koordinasi pemberantasan rasuah pada 6 Februari 2019. BP Jamsostek juga menyurati pemerintah daerah, mengingatkan adanya potensi kerugian negara bila mereka mendaftarkan jaminan sosial tenaga honorer ke Taspen yang memiliki iuran ditanggung pemerintah lebih mahal. Iuran jaminan kematian di Taspen, misalnya, mencapai 0,72 persen dari gaji pokok. Sedangkan iuran BP Jamsostek dalam program yang sama hanya 0,3 persen.
Surat BP Jamsostek kepada 547 pemerintah daerah itu membuat Taspen makan bawang. “Yang menentukan salah atau benar itu bukan BP Jamsostek, tapi pembuat regulasi,” ucap Iqbal Latanro, Direktur Utama Taspen saat itu, pada Juli 2019.
Percekcokan soal jaminan sosial buat tenaga honorer itu rupanya menjadi pintu masuk buat KPK untuk mengurai bonggol persoalan. KPK menyimpulkan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), yang diatur undang-undang sejak 2004, telah menyimpang jauh. Alih-alih memandu pengalihan layanan jaminan sosial ke BP Jamsostek yang diamanatkan undang-undang, peta jalan untuk mengatasi persoalan ini justru mengusulkan program tersebut dibatalkan.
KPK baru merampungkan kajian tentang sengkarut ini pada September 2019. Kajian telah dikirim kepada Presiden Joko Widodo dengan judul “Rekomendasi Perbaikan pada Kebijakan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan”. KPK merekomendasikan pemerintah segera menerbitkan peraturan pemerintah yang mengatur pengalihan layanan dari Taspen dan Asabri ke BP Jamsostek.
Dalam surat tersebut, KPK menyatakan penyelenggara jaminan sosial ketenagakerjaan harus dibentuk dengan undang-undang. Adapun Taspen dan Asabri dibentuk dengan peraturan pemerintah. Penyelenggara juga harus menerapkan sembilan prinsip pengelolaan—salah satunya nirlaba—yang mengerucut pada BP Jamsostek. Persoalannya, pemerintah jauh sebelumnya malah menerbitkan empat peraturan pemerintah, yaitu nomor 44, 45, dan 46 tahun 2016 serta nomor 102 tahun 2015, yang mengatur pengelolaan jaminan pensiun dan hari tua buat pegawai negeri serta anggota TNI dan Kepolisian RI tetap lewat Taspen dan Asabri.
Tjahjo Kumolo/Tempo/Subekti
Tak sampai sebulan setelah rekomendasi KPK terbit, Kementerian Sekretariat Negara memanggil kementerian dan lembaga yang terlibat dalam masalah ini pada 7 Oktober 2019. Salah satu peserta rapat, Direktur Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kementerian Ketenagakerjaan Retno Pratiwi, mengingat isi dua jam pertemuan tersebut. Tidak ada paparan. Hanya curahan pandangan setiap kementerian dan lembaga. “Saya datang menemani atasan,” kata Retno di ruang kerjanya di Jakarta, Kamis, 20 Februari lalu.
Rapat memutuskan Kementerian PAN sebagai pemrakarsa peraturan pemerintah tentang pengalihan program jaminan pensiun dan tabungan hari tua dari Taspen dan Asabri ke BP Jamsostek. Sedangkan Kementerian Badan Usaha Milik Negara kebagian tugas mengkaji kedudukan Taspen dan Asabri setelah program yang menjadi jantung bisnis dua BUMN itu dialihkan. Dari iuran wajib dua program itu, yang dibayarkan rutin oleh pemerintah, Taspen kini mengelola dana sebanyak Rp 263 triliun. Adapun BP Jamsostek mengelola Rp 431 triliun pada 2019.
Sepekan setelah rapat tersebut, Menteri Sekretaris Negara Pratikno menyurati para menteri yang masing-masing telah mengirim anak buahnya itu. Dalam surat, yang salinannya dilihat Tempo, Pratikno mengingatkan soal keputusan rapat.
Sekretaris Menteri PAN Dwi Wahyu Atmaji mengakui kementeriannya mendapat tugas menyusun peta jalan sejak 2019. “Kami masih mengkaji apakah akan melebur ke BP Jamsostek atau membentuk BPJS untuk aparatur sipil negara,” tutur Dwi, yang juga komisaris Taspen, pada Rabu, 19 Februari lalu. “Apa pun yang kami pilih harus sejalan dengan undang-undang yang ada dan menjamin ASN mendapat manfaat lebih baik.”
Direktur Utama PT Taspen A.N.S. Kosasih mengatakan, seturut tafsir perusahaan terhadap Undang-Undang BPJS, yang dialihkan ke BP Jamsostek adalah program atau bagian yang sesuai dengan Undang-Undang SJSN. Sementara itu, menurut Kosasih, program tabungan hari tua dan jaminan pensiun yang dikelola Taspen bukanlah bagian yang menurut Undang-Undang SJSN harus dialihkan. “Taspen hanya mengelola bagian yang jelas merupakan ‘penghargaan atas pengabdian pegawai negeri’ sesuai dengan yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1969 tentang Pensiun-Pegawai dan Pensiun Janda atau Duda Pegawai,” kata Kosasih kepada Tempo, Sabtu, 22 Februari lalu.
Ihwal kisruh tafsir dan tarik-menarik antara BP Jamsostek, Taspen, dan Asabri, Kosasih kini menyerahkannya ke Mahkamah Konstitusi. “Baik Taspen, Asabri, maupun BP Jamsostek itu kan operator alias pengelola,” ujarnya.
Direktur Perencanaan Strategis dan Teknologi Informasi BP Jamsostek Sumarjono berpendapat senada. Menurut dia, BP Jamsostek sedang menunggu regulasi turunan undang-undang sebagai dasar peralihan program dari Taspen. “Sebagai badan penyelenggara, pasti kami bekerja berdasarkan kebijakan pemerintah,” tuturnya, Rabu, 12 Februari lalu.
Dalam persidangan uji materi 5 Februari lalu, hakim Mahkamah Konstitusi, Saldi Isra, sudah bisa membaca friksi dalam pengelolaan dana pensiun pekerja di negeri ini. “Di ruang sidang hari ini, Taspen itu arah-arahnya sama dengan pemohon,” kata Saldi. “Lalu BPJS arah-arahnya sama dengan pemberi keterangan yang lain. Kira-kira begitu.”
Khairul Anam
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo