Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ekonomi

Jaringan Bersama Tersedak Biaya

Sejumlah daerah menggeber pembangunan jaringan utilitas terpadu. Operator telekomunikasi dibayangi kisruh tarif sewa di Ibu Kota. 

 

5 Maret 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Bandung dan Bekasi bersiap memulai proyek jaringan utilitas telekomunikasi.

  • Pembangunan jaringan utilitas di DKI Jakarta malah bermasalah.

  • Kementerian Komunikasi dan Informatika menyiapkan panduan agar pembangunan jaringan jamin efisiensi industri.

PT Mora Telematika Indonesia (Moratelindo) tinggal menunggu lampu hijau untuk mulai mengerjakan pembangunan sarana jaringan utilitas terpadu di Kota Bandung dan Kota Bekasi, Jawa Barat. Moratelindo telah memenangi penawaran pembangunan infrastruktur telekomunikasi itu di seluruh ruas kota, termasuk jalan nasional dan jalan provinsi yang terintegrasi di dua daerah tersebut. “Kapan pun sudah bisa dimulai, kami mulai,” kata Direktur Utama Moratelindo Galumbang Menak, Kamis, 3 Maret lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di Bandung, Moratelindo tengah menunggu finalisasi kerja sama dengan PT Bandung Infrastruktur Investama, badan usaha milik daerah Pemerintah Kota Bandung. Adapun, di Kota Bekasi, perseroan sedang dalam proses menggeber survei kebutuhan nyata (real demand survey) yang diminta oleh Pemerintah Kota Bekasi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jaringan utilitas terpadu di Bandung bakal sepanjang 402 kilometer serta memiliki 205 tiang telekomunikasi (pole). Adapun, di Bekasi, jaringan utilitas bakal mencapai 608 kilometer dengan 373 pole.

Galumbang mengklaim jaringan utilitas di Bandung dan Bekasi bisa menjadi percontohan di kota lain. Ia berjanji tarif yang disodorkan Moratelindo murah, tak memberatkan operator telekomunikasi, yakni di kisaran Rp 1.000 per meter per bulan atau Rp 75 ribu per meter jika dibayar sekali seumur hidup. “Ini kan tujuannya menata, mestinya enggak membebani, ya. Kami paling murah, lah,” ujarnya.

Moratelindo berencana menerapkan dua skema komersial yang bisa dipilih oleh operator telekomunikasi, yaitu skema tahunan dan skema sekali bayar. “Secara umum akan lebih murah dibandingkan biaya menggelar jaringan sendiri,” kata Chief Strategic Business Officer Moratelindo Resi Y. Bramani. Menurut dia, pembangunan jaringan utilitas akan dimulai paling lama enam bulan setelah perjanjian kerja sama diteken dengan pengerjaan selama dua tahun.

Jaringan utilitas merupakan infrastruktur pasif telekomunikasi. Maksudnya, sarana ini menjadi penunjang untuk menempatkan perangkat telekomunikasi di atas atau bawah tanah. Bentuknya bisa berupa gorong-gorong (ducting), menara, tiang, lubang kabel (manhole), dan terowongan (tunnel).

Pekerja memasukan pipa plastik ke dalam saluran bawah tanah untuk penataan kabel jaringan utilitas di Bandung, 4 Maret 2022. TEMPO/Prima Mulia

Jaringan utilitas disebut terpadu karena ditujukan untuk penggunaan bersama-sama oleh penyedia layanan telekomunikasi. Selain untuk menata ulang wajah perkotaan yang selama ini semrawut dengan kabel bergelantungan di berbagai penjuru wilayah, penyediaan jaringan utilitas terpadu ini diharapkan bisa membuat layanan telekomunikasi lebih akuntabel dan efisien.

Setiap operator tak perlu bergantian menggali lubang untuk memasang perangkat telekomunikasi mereka. Mereka cukup menggunakan sarana yang disediakan oleh penyelenggara jaringan utilitas, baik BUMD maupun swasta.

Provinsi DKI Jakarta telah memulai penyediaan sarana jaringan utilitas terpadu (SJUT) pada 2019—meneruskan gagasan lama di pengujung 1990-an. Pemerintah provinsi menunjuk dua perusahaan milik daerah sebagai penyelenggara.

PT Jakarta Propertindo (JakPro)—yang lantas menugasi pengerjaan kepada anak perusahaannya, PT Jakarta Infrastruktur Propertindo (JIP)—kebagian proyek jaringan utilitas sepanjang 107 kilometer di 29 ruas jalan wilayah Jakarta Selatan dan Jakarta Timur. Adapun Perusahaan Umum Daerah Pembangunan Sarana Jaya akan menggarap jaringan sepanjang 106 kilometer di 32 ruas jalan wilayah Jakarta Barat dan Jakarta Pusat.

Hingga saat ini, baru JIP yang memulai pembangunan. Sampai akhir 2021, perseroan merampungkan proyek SJUT di tujuh ruas jalan Ibu Kota.

Dua tahun proyek digelar, proyek SJUT di Ibu Kota berjalan bak siput. Sejak awal, pelaksanaannya menuai polemik di kalangan penyelenggara layanan telekomunikasi. Besaran tarif—seperti disinggung oleh Galumbang untuk mempromosikan pekerjaannya—adalah salah satu sumber masalah.

Pelaku bisnis telekomunikasi ramai-ramai menyoal tarif yang ditawarkan penyelenggara SJUT. Jakarta Infrastruktur Propertindo, misalnya, memberlakukan tarif Rp 13-15 ribu per meter untuk dibayarkan setiap tahun, bergantung pada dimensi sarana yang digunakan operator. “Dasar pengaturan tarif dan perhitungannya seperti apa? Itu yang tak jelas,” kata Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi Indonesia (Apjatel) Jerry Mangasas Swandy, Selasa, 1 Maret lalu.

***

PERSOALAN tarif jaringan utilitas DKI Jakarta menggelinding setahun terakhir. Jakarta, sebagai salah satu daerah yang mengawali proyek ini, jadi pertaruhan. Bagi operator telekomunikasi, model tarif di Ibu Kota bisa dicontoh banyak daerah yang menggelar proyek yang sama. Maka celaka bagi mereka jika pengenaan tarifnya bermasalah.

Debat soal tarif SJUT di Jakarta bermula dari komposisinya yang meliputi biaya sewa penempatan jaringan dan retribusi daerah. Di setiap besaran tarif jaringan utilitas, yang bergantung pada dimensi sarana, terdapat retribusi senilai Rp 5.000 per meter.

Merujuk pada Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2015 tentang Retribusi Daerah, tarif retribusi kabel dalam ducting memang Rp 5.000 per meter per tahun. Masalahnya, para penyelenggara jasa telekomunikasi dibingungkan oleh pengaturan tarif sewa. Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 110 Tahun 2019 tentang Penugasan Penyelenggaraan SJUT hanya memberikan hak pembayaran penempatan jaringan kepada penyelenggara, tanpa mengatur detail tarif sewa yang harus dibayarkan pengguna jaringan.

Peraturan setingkat gubernur ini juga dinilai lemah. Operator telekomunikasi khawatir besarannya bisa berubah-ubah jika kelak ada pergantian gubernur atau perubahan di manajemen penyelenggara SJUT.  

Selain masalah tarif, pengusaha telekomunikasi mempersoalkan realisasi pembangunan SJUT di DKI Jakarta. Sarana jaringan terpadu, misalnya, dibangun di daerah yang telah banyak diisi oleh kabel bawah tanah milik operator. Walhasil, pemilik jaringan existing kudu merelokasi perangkat mereka ke sarana baru yang dibangun BUMD.

Masalahnya, kata Jerry Mangasa Swandy, ukuran sarana jaringan utilitas baru tak sesuai dengan kabel jaringan lama. “Ada kemungkinan yang punya jaringan existing tidak dapat masuk kabelnya,” tutur Jerry. “Jadinya ini bukan relokasi, tapi investasi baru. Bagaimana bisa efisien?”

Dua masalah tersebut kembali diusung Apjatel dalam rapat dengar pendapat dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI Jakarta, Senin, 7 Februari lalu. Rapat ini digelar untuk membahas rencana revisi Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 1999 tentang Jaringan Utilitas.

Seusai forum itu, asosiasi juga melayangkan surat serta daftar inventarisasi masalah dari rancangan peraturan daerah yang dianggap bisa membuat biaya penyelenggaraan telekomunikasi membengkak. “Sekarang kami menunggu dan berharap DPRD bisa mempertimbangkan masukan yang kami berikan,” ujar Jerry.

Manajer Infrastruktur dan Telekomunikasi PT Jakarta Infrastruktur Propertindo Algie Fawzi Kusnadar menampik keluhan asosiasi. Jaringan utilitas yang dibangun perseroan sesuai dengan perencanaan awal. Operator sudah tentu perlu mengeluarkan dana karena memasang kabel baru saat menggunakan jaringan utilitas.

Begitu pula soal penetapan tarif, menurut Algie, JIP telah mensosialisasinya kepada para operator dan asosiasi sejak mulai dibahas pada 2019. “Saat penyusunan dengan Dinas Bina Marga sudah ada sosialisasi dengan semua operator di Jakarta,” tutur Algie.  

Algie memaparkan, saat ini 19 operator telah menggunakan jaringan utilitas yang dibangun perusahaannya. Angkanya memang masih jauh dibandingkan dengan jumlah penyelenggara telekomunikasi di Jakarta yang mencapai sekitar 40 perusahaan. Dari data JIP, rata-rata tarif yang harus dibayarkan per operator tak lebih dari Rp 50 juta per tahun. Sebagian juga membayar di kisaran Rp 20-25 juta per tahun. “Itu fakta, kami by data ada, bingung kalau dibilang mahal,” ucap Algie. Dia mengingatkan, JIP juga memberikan potongan harga bagi operator telekomunikasi yang membayar di muka untuk penggunaan jangka panjang, misalnya lima tahun.  

Dia memastikan JIP akan mengejar target penyelesaian pembangunan SJUT. Tahun ini, sejumlah pekerjaan jaringan utilitas disiapkan di tiga ruas jalan, yakni Jalan Pattimura (2,6 kilometer), Jalan Trunojoyo (1,24 kilometer), dan Jalan Sultan Hasanuddin (0,77 kilometer).

***

PEMBAHASAN rancangan peraturan daerah DKI Jakarta tentang jaringan utilitas juga menarik perhatian pemerintah pusat. Marvels Situmorang, Direktur Pengembangan Pita Lebar Kementerian Komunikasi dan Informatika, mengatakan pembahasan juga sempat dilakukan antara kementerian dan pemerintah DKI Jakarta. “Agar substansi raperda selaras dengan prinsip-prinsip penyediaan dan pemanfaatan infrastruktur pasif dalam regulasi telekomunikasi,” tutur Marvels, Jumat, 4 Maret lalu.

Dia memastikan pemerintah bakal menjalankan fungsi fasilitator dengan memberikan kemudahan kepada penyelenggara telekomunikasi dalam membangun infrastruktur telekomunikasi. Yang termasuk dalam kemudahan itu adalah tarif sewa infrastruktur pasif yang wajar dan berbasis biaya.

Untuk mendukung tarif wajar berbasis biaya itu, Kementerian Komunikasi dan Informatika tengah menyiapkan materi koordinasi pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Di dalamnya memuat kajian kondisi potensi pasar industri telekomunikasi berbasis jaringan kabel pada 514 kabupaten dan kota. Kajian itu juga mempertimbangkan kondisi jaringan telekomunikasi, kondisi keuangan penyelenggara, serta kesehatan industri telekomunikasi.

Marvels berharap kajian kondisi pasar itu akan memberikan gambaran nyata mengenai kebutuhan infrastruktur telekomunikasi di setiap daerah. “Sehingga bisa jadi pertimbangan menyediakan SJUT dalam menerapkan tarif yang wajar dan berbasis biaya,” kata Marvels.

Petugas Dinas Bina Marga DKI Jakarta menata instalasi kabel yang semrawut di kawasan Wolter Monginsidi, Jakarta Selatan, 27 Oktober 2021. TEMPO/M Taufan Rengganis

Sejumlah daerah memang telah dan sedang menggeber pembangunan jaringan terpadu. Pemerintah Kota Yogyakarta, misalnya, memulainya dengan membangun jaringan utilitas di daerah sekitar Keraton Yogyakarta menggunakan anggaran daerah. Sementara itu, Pemerintah Kota Yogyakarta belum menetapkan biaya sewa atau tarif untuk pemanfaatan fasilitas tersebut.

Wakil Wali Kota Yogyakarta Heroe Poerwadi mengatakan sedang menyiapkan peraturan tentang sewa infrastruktur pasif telekomunikasi tersebut. Agar sesuai dengan ketentuan, penetapan biaya sewa pemanfaatan ducting akan dilakukan lewat penilaian

Besaran biaya sewa pemanfaatan ducting agar sesuai dengan peraturan Kementerian Dalam Negeri, menurut Heroe, disesuaikan dengan taksiran nilai aset alias appraisal. “Untuk memudahkan appraisal, saat ini sedang disiapkan peraturan wali kota tentang klasifikasi jalan di Kota Yogyakarta,” kata Heroe, Kamis, 3 Maret lalu. “Ada sekitar lima klasifikasi untuk menetapkan biaya yang proporsional sesuai dengan kelas jalan untuk ducting tersebut.”

Sampai saat ini infrastruktur jaringan utilitas yang sudah dibangun dan digunakan bersama di Yogyakarta terdapat di Jalan Jenderal Sudirman sampai kawasan Tugu dan Jalan Ahmad Dahlan. Sementara itu, pengalihan kabel juga telah dilakukan di ruas Jalan Perwakilan, Jalan Adisucipto, dan Jalan Suroto, meski belum dibangun jaringan utilitas telekomunikasi di bawahnya. “Sehingga masuk dalam sirip-sirip Jalan Suroto,” ucap Heroe. Pembangunan berikutnya, kata Heroe, akan dilakukan bersamaan dengan penataan jalur pedestrian serta penyusunan master plan jaringan utilitas.

PRIBADI WICAKSONO (YOGYAKARTA)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus