Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ekonomi

Apa Saja Kontrak Gas Bermasalah Pertamina

Pertamina mencari cara agar selamat dari sejumlah kontrak gas bermasalah. Pembelian LNG berpotensi merugi. 

1 Oktober 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pertamina berupaya mencari pembeli LNG yang diperoleh beberapa tahun lalu.

  • Ada upaya membangun proyek di luar negeri untuk menyerap gas impor.

  • Mantan bos Pertamina menjadi tersangka karena transaksi gas.

KRISIS keamanan di Mozambik dalam dua tahun terakhir secara tak langsung menyelamatkan PT Pertamina (Persero). Gara-gara perang di negara belahan tenggara Benua Afrika itu, Pertamina punya peluang tak melanjutkan kontrak pembelian gas alam cair (LNG) dari Mozambique LNG1 Company Pte Ltd. Kondisi ini menjadi berkah lantaran transaksi tersebut diduga mengandung banyak masalah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pertamina pun memutuskan mengakhiri perjanjian jual-beli atau dengan Mozambique LNG1 pada Agustus lalu. “Sudah dibatalkan,” kata Komisaris Utama Pertamina Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok kepada Tempo, Rabu, 27 September lalu. Dia menjelaskan, langkah ini menjadi bagian dari upaya mitigasi oleh manajemen perseroan. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gejolak di proyek gas Mozambique LNG1 sebenarnya terjadi sejak dua tahun lalu. Pada 26 April 2021, Total SE selaku operator Mozambique LNG1 menyatakan mengalami kondisi kahar atau force majeure. Sejak saat itu, tak ada kepastian kapan proyek di Cekungan Rovuma, sekitar 40 kilometer di lepas pantai utara Mozambik, itu bisa berjalan. Padahal ladang gas di kedalaman 1.600 meter ini digadang-gadang bisa memasok 100 juta kaki kubik gas per hari (MMSCFD). 

Pertamina meneken kontrak pengadaan LNG dari Mozambik sekitar empat tahun lalu, tepatnya pada 13 Februari 2019. Gas cair ini sedianya mengalir mulai akhir 2024 atau awal 2025 untuk pasokan selama 20 tahun. Rencananya operator ladang gas Mozambique LNG1 akan memasok gas 1 juta ton per tahun (MTPA) atau setara dengan 16-17 kargo per tahun kepada Pertamina. 

Namun pembelian gas ini menjadi sorotan penegak hukum karena mekanisme pengadaannya dianggap tidak layak. Salah satunya karena tidak didukung oleh permintaan gas dari konsumen dalam negeri. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah mengingatkan manajemen Pertamina mengenai hal ini. Hasil audit BPK menyatakan perencanaan pengadaan LNG Pertamina lemah. Proyeksi kebutuhan dan suplai LNG Pertamina untuk kurun 2019-2026 tidak disusun berdasarkan data kebutuhan yang akurat. 

Salah satu yang disoroti BPK adalah proyeksi permintaan dari PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN. Saat menentukan kebutuhan LNG PLN, Pertamina menggunakan asumsi yang berbasis data publikasi pemerintah. Transaksi ini, menurut BPK, juga belum didukung perjanjian kerja sama atau kontrak jual-beli antara Pertamina dan PLN. 

Selain itu, permintaan gas untuk kilang Pertamina didasarkan atas proyek-proyek yang belum memiliki dokumen keputusan investasi akhir atau final investment decision (FID). Laporan BPK menyebutkan data kebutuhan mengacu pada dokumen FID proyek ekspansi kilang atau refinery development master plan dan proyek kilang grass root refinery yang belum ditandatangani. Walhasil, kepastian atas proyek tersebut dianggap tidak akurat. 

Berdasarkan hitungan ulang, menurut laporan BPK, saat ini belum diperlukan tambahan pasokan LNG untuk kebutuhan domestik. Apalagi Pertamina belum memiliki kontrak jual-beli dengan konsumen di dalam negeri ketika meneken pembelian LNG dari Mozambik. Walhasil, berdasarkan penjelasan BPK, Pertamina berpotensi terkena kewajiban membayar atau take or pay atas pembelian LNG Mozambik senilai US$ 32 juta atau sekitar Rp 495 miliar per kargo. 

Agar tak merugi, manajemen Pertamina sempat melakukan berbagai upaya untuk menjual gas Mozambik. Salah satunya melalui proyek pembangkit listrik tenaga gas uap (PLTGU) berkapasitas 1.200 megawatt di Bangladesh. Namun program kerja sama antara pemerintah Indonesia dan Bangladesh yang digagas sejak 2017 ini nyaris tak ada perkembangan.

Sekretaris Perusahaan PT Pertamina Power Indonesia Dicky Septriadi mengatakan hingga saat ini belum ada persetujuan dari pemerintah Bangladesh atas proyek senilai US$ 1,4 miliar atau setara dengan Rp 21,69 triliun tersebut. “Kami berharap persetujuan bisa didapatkan segera,” ucapnya, Jumat, 29 September lalu. Padahal, kata seorang pejabat Pertamina, megaproyek ini digadang-gadang bisa menyerap LNG Mozambik sehingga perseroan tak merugi. “Kalau PLTGU Bangladesh jalan, LNG Mozambik aman,” ujarnya. 

Tapi pengadaan LNG ini agaknya bakal menjadi perkara. Sebabnya, BPK kadung menyerahkan laporan hasil audit terhadap pengadaan LNG Mozambik ke Komisi Pemberantasan Korupsi. Kini bola panas LNG Mozambik ada di tangan KPK.

•••

PROYEK LNG Mozambik hanya satu dari sekian transaksi pengadaan gas Pertamina yang diselidiki oleh penegak hukum. KPK juga sedang menyidik kasus pengadaan LNG Pertamina dari Corpus Christi Liquefaction, anak usaha perusahaan minyak dan gas asal Amerika Serikat, Cheniere Inc. KPK menilai pengadaan LNG dari Corpus Christi menyebabkan kerugian negara US$ 140 juta atau Rp 2,1 triliun. KPK pun menetapkan Karen Agustiawan, Direktur Utama Pertamina 2009-2014, sebagai tersangka. KPK menahan Karen pada Selasa, 19 September lalu.

Mantan Direktur Utama Pertamina Karen Agustiawan seusai menjalani pemeriksaan di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 19 September 2023. Tempo/Imam Sukamto

Pasokan gas dari Corpus Christi sebenarnya sudah beberapa kali ditawarkan kepada sejumlah perusahaan, antara lain Trafigura Pte Ltd. Negosiasi antara tim negosiasi Pertamina dan Trafigura terjadi lima tahun lalu. Saat itu Pertamina berniat memasok 0,38 juta ton gas per tahun (MTPA) atau setara dengan lima kargo LNG ke Trafigura selama tiga tahun, dari 1 Januari 2020 sampai 31 Desember 2022. Selanjutnya, Trafigura punya opsi melanjutkan pembelian untuk periode Januari 2023-Desember 2026. Gas untuk Trafigura akan berasal dari fasilitas Corpus Christi Liquefaction di Texas, Amerika Serikat. 

Tapi rencana jual-beli itu gagal karena tim negosiasi Pertamina tak kunjung mendapat persetujuan dari direksi hingga tenggat pada 8 Oktober 2018. Target Pertamina untuk masuk ke tahap perundingan perjanjian jual-beli atau master of sales and purchase agreement serta memo confirmation notes pun ambyar. Manajemen Pertamina juga terlambat menyiapkan jasa konsultan hukum internasional untuk membantu proses negosiasi.

Trafigura adalah satu dari lima trader minyak dan gas yang memasukkan penawaran ke lelang direct selection yang digelar oleh Pertamina. Penawar lain adalah Diamond Gas Internasional, Mitsui, BP Singapore, dan RWE Supply Trading. Trafigura menawarkan harga dengan formula 115 persen Henry Hub plus US$ 4,11 per juta metrik British thermal unit (MMBTU). Dengan formula itu, Pertamina bisa meraup keuntungan US$ 61 per MMBTU. 

Toh, proyeksi laba itu hangus lantaran Pertamina gagal bekerja sama dengan Trafigura. Setelah itu, Pertamina berkontrak dengan perusahaan lain untuk menjual LNG dari Corpus Christi. Di antaranya dengan perusahaan asal Prancis, Total.

Di tengah proses ini, KPK kadung menilai pengadaan gas dari Corpus Christi merugikan keuangan negara. Ketua KPK Firli Bahuri mengatakan Karen diduga secara sepihak memutuskan menjalin kontrak perjanjian dengan Corpus Christi tanpa kajian dan analisis yang memadai. “Dan tidak melapor kepada dewan komisaris Pertamina," katanya pada Selasa, 19 September lalu. KPK juga menduga Karen tidak melaporkan hal ini dalam rapat umum pemegang saham (RUPS) sehingga tindakannya tidak mendapat restu dari pemerintah selaku pemegang saham Pertamina.

Karen membantah tuduhan tersebut. Pada Senin, 25 September lalu, dia membuat surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo yang isinya menyebutkan keuntungan yang telah diperoleh Pertamina dari LNG Corpus Christi mencapai US$ 2,2 juta atau sekitar Rp 34 miliar. Surat terbuka itu dikirimkan melalui Sekretariat Negara pada Selasa, 26 September lalu. “Sejauh ini belum ada respons,” tutur kuasa hukum Karen, Luhut M.P. Pangaribuan. 

Dalam surat itu, Karen menyatakan kerugian pernah terjadi pada 2020-2021 karena pandemi Covid-19. Pada periode ini, harga komoditas turun drastis, termasuk harga LNG di pasar spot. Namun, setelah pandemi berakhir dan terjadi konflik Rusia-Ukraina pada awal 2022, harga LNG melonjak hingga lima kali lipat, termasuk gas dari Corpus Christi. Walakin, menurut Karen, Pertamina membukukan keuntungan US$ 91,5 juta atau Rp 1,41 triliun. Pertamina pun telah memiliki komitmen penjualan dengan harga di atas saat pembelian. 

Karen telah meminta Nicke Widyawati, Direktur Utama Pertamina saat ini, membuat pernyataan tertulis mengenai pembukuan penjualan LNG Corpus Christi periode 2018-2023 yang menghasilkan keuntungan. Pernyataan Nicke, Karen mengungkapkan, akan sangat berguna sebagai alat bukti di persidangan. Surat pernyataan itu juga dinilai penting untuk membersihkan nama Pertamina di kancah bisnis LNG global. 

Di sisi lain, Karen mengatakan khawatir proses hukum yang sedang berjalan akan membuat Corpus Christi membatalkan kontrak secara sepihak. Jika hal ini terjadi, akan ada potensi kerugian US$ 127 juta atau sekitar Rp 1,96 triliun dengan basis hitungan kontrak penjualan Pertamina sampai 2025 dan potensi penjualan hingga 2030. Hitungan itu belum termasuk potensi gugatan dari para pembeli dan kerugian imateriil, seperti reputasi perusahaan serta hilangnya sumber pasokan gas.

•••

KONTRAK jual-beli LNG Pertamina dengan Corpus Christi semula diteken dalam dua perjanjian. Yang pertama adalah sales and purchase agreement (SPA) LNG Train 1 pada 4 Desember 2013, diikuti dengan SPA LNG Train 2 pada 1 Juli 2014. Setahun kemudian, kontrak diubah dengan menyatukan dua skema awal dalam satu SPA yang diteken pada Maret 2015. Perjanjian ini ditandatangani kembali secara simbolis bersamaan dengan kunjungan Presiden Joko Widodo ke Amerika Serikat pada Oktober 2015. Nilai kontrak ini mencapai US$ 13 miliar yang berlaku selama 20 tahun, dari 2019 hingga 2039.

Presiden Joko Widodo (kedua kanan) saat berkunjung ke Amerika Serikat, 26 Oktober 2015. Pada kunjungan ini juga dibahas mengenai erjanjian jual beli gas alam cair (LNG) antara Pertamina dan Corpus Christie Liquefaction. Antara/Setpres-Laily Rachev

Karena itu, dalam suratnya kepada Jokowi, mantan Direktur Utama Pertamina Karen Agustiawan, membantah tuduhan pengadaan LNG Corpus Christi tidak didasari persetujuan dewan komisaris Pertamina dan RUPS. Menurut dia, berdasarkan Anggaran Dasar Pertamina tanggal 1 Agustus 2012, penandatanganan perjanjian jual-beli cukup disetujui direksi. Persetujuan dewan komisaris serta RUPS tidak dibutuhkan. 

Karen juga menyebutkan sederet regulasi yang menjadi dasar pengambilan keputusan transaksi LNG Pertamina-Corpus Christi pada 2013 dan 2014. Aturan itu di antaranya Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional, Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional 2010, serta Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 2011 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional 2011. 

Selain itu, ada surat Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara kepada Kepala Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) Nomor S-140 Tahun 2012 tentang Relokasi Proyek Terminal Gas Terapung Belawan dan Proyek Revitalisasi Terminal LNG Arun. UKP4 adalah unit kerja yang dibentuk untuk menjalankan tugas khusus di masa Kabinet Indonesia Bersatu II. 

Karen menjelaskan, surat itu berisi berbagai program prioritas nasional di bidang energi, salah satunya pembangunan fasilitas regasifikasi dan penyimpanan gas terapung (FSRU) di Jawa Tengah. Seiring dengan itu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral bertugas menetapkan alokasi dan kebutuhan gas, yang salah satunya harus dipenuhi oleh Pertamina. Dalam hitungan tersebut, ada perkiraan kekurangan pasokan gas karena Pertamina menggarap berbagai proyek, seperti pembaruan Kilang Cilacap serta Balongan dan pasokan untuk PLN. 

Floating Storage Regasification Unit (FSRU) Lampung yang dikelola PGN menerima pengiriman LNG dari kilang LNG Tangguh. Dok.PGN

Tapi, di luar alasan Karen, KPK memiliki tuduhan lain. Dalam pernyataannya pada Sabtu, 23 September lalu, pelaksana tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, menyatakan ada dua perusahaan Amerika Serikat yang terkait dengan Karen, yaitu Corpus Christi dan Blackstone. KPK menduga Karen menerima kompensasi atas jual-beli gas Corpus Christi berupa pekerjaan di perusahaan investasi Blackstone. Perusahaan ini, menurut KPK, terafiliasi dengan Cheniere Energy, induk usaha Corpus Christi. 

Perihal ini, Managing Director and Global Head of Blackstone Energy Partners David Foley memberi klarifikasi pada Juli 2022. Menurut Foley, Blackstone tidak memiliki kepentingan ekuitas dengan Corpus Christi ataupun Cheniere. Karena itu, dia menerangkan, Blackstone tidak memiliki kepentingan ekonomi dengan entitas yang menandatangani kontrak jual-beli LNG dengan Pertamina. 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Waswas Lantaran Transaksi Gas"

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus