Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemerintah sudah menetapkan kuota pemasangan PLTS atap.
PLTS atap menjanjikan penghematan biaya.
Pemasangan PLTS atap juga ditujukan untuk mengklaim upaya transisi energi.
HAMPARAN panel surya berjajar rapi di atap pabrik PT Mitsubishi Motors Krama Yudha Indonesia di Cikarang, Jawa Barat. Tak lama lagi, proses pemasangan pembangkit listrik tenaga surya atau PLTS atap pada pabrik kendaraan itu bakal rampung. Setelah rangka besi dan dudukan terpasang, kontraktor akan memasang rel, panel surya, serta komponen penunjang lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mitsubishi menunjuk Utomodeck Group untuk menggarap proyek PLTS atap berkapasitas 10 megawatt itu. “Izin sudah keluar, sebentar lagi akan masuk tahap commissioning,” kata Managing Director Utomodeck Group Anthony Utomo pada Rabu, 11 September 2024. Pada tahap commissioning, tim Utomodeck akan memeriksa dan menguji instalasi PLTS yang hendak dioperasikan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Panel surya milik Mitsubishi hanya satu dari sederet proyek instalasi PLTS atap yang digarap Utomodeck Group melalui anak usahanya, Utomo Solar UV. Anthony mengatakan minat konsumen segmen industri terus meningkat. Peningkatan ini terjadi setelah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menetapkan kuota PLTS atap pada akhir Mei 2024. “Penetapan kuota memberikan kepastian kepada pelaku usaha dan konsumen," ujarnya.
Sebelum penetapan kuota, kata Anthony, pelaku usaha dan konsumen tidak memiliki acuan tentang kapasitas sistem PLTS atap, khususnya yang terhubung ke jaringan listrik PLN atau on-grid. “Dulu ketika mengajukan proses perizinannya juga lama sehingga sempat muncul dugaan ada pelanggaran," ucapnya. Kini, Anthony menambahkan, permintaan kuota dan prosesnya cukup transparan karena menggunakan aplikasi PLN Mobile.
Managing Director Utomodeck Group Anthony Utomo. Instagram/anthony_utomo
Pemasangan PLTS atap on-grid dimulai dengan memasukkan permohonan melalui aplikasi PLN Mobile oleh pelanggan. Aplikasi itu bakal menghitung ketersediaan kuota di wilayah pelanggan. Selanjutnya PLN akan mengecek berkas hingga akhirnya menerbitkan izin pemasangan paling lambat 30 hari seusai verifikasi. Setelah izin terbit, pelanggan dapat memasang PLTS atap oleh badan usaha yang telah terdaftar di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
Kebijakan kuota PLTS atap periode 2024-2028 tercantum dalam Keputusan Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 279.K/TL.03/DJL.2/2024. Aturan ini membagi kuota dalam 11 kluster daerah dengan potensi peningkatan kuota setiap tahun. Sebagai contoh, pada 2024, kuota kapasitas terpasang PLTS atap ditetapkan 901 MW. Pada 2025, kuota meningkat 11,4 persen menjadi 1.004 MW, hingga akhirnya mencapai 1.593 MW pada 2028. Kuota terbesar ada di Jawa, Madura, dan Bali sebesar 825 MW pada 2024, diikuti Sumatera 35 MW, dan Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, serta Kalimantan Timur 22,1 MW.
Anthony optimistis kepastian kuota akan mempercepat pengembangan PLTS atap di berbagai daerah. Proyek PLTS atap yang tengah digarap Utomodeck antara lain milik PT Yamaha Indonesia Motor Manufacturing berkapasitas 1,5 megawatt-peak (MWp), Asahimas Group 5,2 MWp, dan Shoetown Ligung Indonesia 2 MWp. “Nilai proyek untuk 1 MWp Rp 2-3 miliar,” ujarnya.
Larisnya pemasangan PLTS atap terlihat dari sisa kuota yang nyaris habis. Menurut Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Eniya Listiani Dewi, dari kuota 901 MW tahun ini, yang tersisa kurang dari 100 MW. “Sudah laku keras,” katanya. Pemerintah, menurut Eniya, menggenjot target pemasangan PLTS atap hingga 3,6 gigawatt (GW) pada 2025. Sampai saat ini, realisasi pemanfaatan PLTS atap hanya 140 MW.
Tak hanya menyoal penambahan kuota, Direktur PT Infiniti Energi Indonesia atau Infien Energi, Muhammad Firmansyah, menyoroti masa pendaftaran izin pemasangan PLTS atap yang hanya dibuka dua kali dalam setahun, yakni pada Januari dan Juli. Menurut dia, sempitnya waktu pendaftaran berdampak pada konsumen, khususnya skala rumah tangga residensial. "Ada kesan rumit karena waktu pendaftaran dibatasi," katanya.
Menurut Firmansyah, tren penggunaan PLTS atap untuk konsumen residensial bakal terus meningkat karena ada efisiensi biaya. Dia memberi contoh, PLTS atap rumahan dengan daya listrik minimal 1.300 volt membutuhkan biaya pemasangan sekitar Rp 20 juta. "Tapi investasi ini bisa menghemat tagihan listrik lebih dari 60 persen,” ujarnya. Investasi pemasangan PLTS atap bisa "balik modal" dalam tujuh tahun dengan benefit hingga 25 tahun sebelum dibutuhkan pembaruan.
Selain memperjelas kepastian perizinan, penetapan kuota PLTS atap bertujuan memastikan keandalan sistem PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN. Direktur Retail dan Niaga PLN Edi Srimulyanti beberapa waktu lalu mengatakan kondisi PLTS yang intermiten disebabkan oleh produksi listrik yang masih bergantung pada faktor cuaca. Jika kondisi cuaca relatif cerah dan stabil, daya yang dihasilkan dapat diprediksi dengan mudah. Sebaliknya, jika terjadi anomali, ada potensi penurunan daya yang relatif ekstrem dalam kurun waktu singkat.
PLN pun harus memperhitungkan cadangan atau backup dari pembangkit listrik lain milik perseroan yang dapat menjadi penyangga ketika terjadi gangguan atau blackout. “Harapannya agar tidak mengganggu pelanggan yang lain,” ucapnya pada Maret 2024.
Kepastian penetapan kuota diyakini bakal makin memacu minat konsumen menggunakan PLTS atap. Terlebih jika memperhitungkan tambahan potensi kuota dari badan usaha pemegang wilayah usaha non-PLN seperti PT Cikarang Listrindo dan PT Bekasi Power di wilayah Jakarta dan sekitarnya.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform Fabby Tumiwa mengatakan tingkat kesadaran melakukan transisi energi masyarakat yang makin baik menjadi pemicu kenaikan angka permintaan PLTS atap segmen industri ataupun residensial. “Jika ditambah dengan wilayah usaha non-PLN, kuota PLTS atap 2-3 GW per tahun itu sangat mungkin habis,” katanya. Pemerintah juga dapat mempertimbangkan penetapan kuota yang fleksibel guna mengakomodasi kebutuhan konsumen yang membeludak.
Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi Rachmat Kaimuddin mengimbuhkan, pemerintah bakal terus menyisir permintaan dan kebutuhan energi bersih, khususnya dari pelaku industri. “Kami membuat forum untuk mendata kebutuhan industri berapa, semacam marketplace untuk mencocokkan berapa kebutuhannya, sehingga PLN juga percaya diri dengan pasarnya.”
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Retno Sulistyowati dan Vindry Florentin berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Laris Kuota Listrik Surya"