Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Waskita Karya diduga memanipulasi laporan keuangan.
Kementerian BUMN menelisik dugaan fraud di tubuh Waskita Karya.
Restatement laporan keuangan BUMN sudah terjadi berulang kali.
WAKIL Menteri Badan Usaha Milik Negara Kartika Wirjoatmodjo bersiap mengambil tindakan. Setelah mengungkapkan kecurigaan terhadap laporan keuangan PT Waskita Karya (Persero) Tbk, Kartika meminta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan mengaudit perusahaan itu. "Apabila ada fraud akan ditindak tegas, kami ingin ada efek jera," katanya pada Senin, 5 Juni lalu, seusai rapat kerja bersama Komisi Badan Usaha Milik Negara Dewan Perwakilan Rakyat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kartika mengendus ada yang aneh dalam laporan keuangan Waskita Karya. Sebabnya, perusahaan konstruksi ini seperti memperbaiki kinerja dalam beberapa tahun terakhir, tapi hasilnya tak sesuai dengan yang dilaporkan. “Dilaporkan seolah-olah untung bertahun-tahun," ujarnya. Menurut Kartika, pendapatan jangka pendek Waskita Karya tak cukup untuk memenuhi kewajiban alias utangnya yang terus menggunung. "Jangan sampai laporan keuangan itu overstate, setelah itu bangkrut.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak 2017 hingga 2019, laporan keuangan Waskita Karya terus mencatatkan perolehan laba. Pada 2017, laba bersih Waskita Karya mencapai Rp 3,88 triliun, lalu naik 2,08 persen menjadi Rp 3,96 triliun setahun kemudian. Pada 2019, laba bersihnya turun menjadi Rp 1,03 triliun dengan arus kas Rp 9 triliun. Namun setelah itu Waskita Karya merugi dan nyaris kukut. Di sini, pemerintah mengendus ada yang tak beres dengan laporan keuangan perusahaan itu.
Dugaan manipulasi laporan keuangan menjadi persoalan terbaru yang menimpa Waskita Karya. Senyampang dengan dugaan itu, pucuk pimpinan Waskita Karya terseret dugaan korupsi dengan modus proyek fiktif hingga pencairan pembiayaan di luar prosedur legal. Pada 2020, Komisi Pemberantasan Korupsi mengungkap korupsi proyek fiktif Waskita. Dua tahun kemudian, Kejaksaan Agung menetapkan sejumlah tersangka korupsi PT Waskita Beton Precast Tbk (WSBP), anak usaha Waskita Karya.
Mantan Direktur Utama PT Waskita Beton Precast, Jarot Subana, setelah menjalani pemeriksaan, di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 27 Oktober 2020. Tempo/Imam Sukamto
Pada Desember tahun lalu, muncul kasus baru berupa penggelapan pinjaman bank dalam bentuk supply chain financing, skema pinjaman untuk membayar tagihan kepada para pemasok atau vendor proyek-proyeknya. Kasus ini menjerat pucuk pimpinan perusahaan, antara lain Direktur Utama Waskita Karya 2020-2022, Destiawan Soewardjono, dan Direktur Operasi II Waskita Karya 2017-2022, Bambang Rianto.
Ironisnya, Destiawan terjerat kasus yang ia laporkan sendiri ke Kejaksaan Agung dua tahun sebelumnya. Pada tahun itu, Destiawan dan timnya mengaudit WSBP. Sejumlah narasumber menyebutkan audit terhadap WSBP itu mengungkap bagaimana manipulasi proyek dan rekayasa laporan keuangan terjadi bertahun-tahun.
•••
GEJOLAK akibat dugaan korupsi di tubuh Waskita Karya muncul ketika Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan tiga eks petinggi perusahaan itu sebagai tersangka kasus bermodus proyek fiktif periode 2009-2015. Ada lima orang yang dinyatakan bersalah, termasuk Jarot Subana yang menjabat Direktur Utama Waskita Beton Precast periode 2016-2020. Bahkan mantan Direktur Utama PT Jasa Marga (Persero) Tbk, Desi Arryani, ikut tercokok.
Ketika kasus itu muncul, WSBP sudah semaput. Perusahaan produsen beton pracetak ini tak sanggup membayar tagihan utang jangka pendek. Gara-garanya, bisnis perusahaan induk mereka, Waskita Karya, sedang jatuh tertimpa pandemi Covid-19. Waskita Karya adalah salah satu pengguna produk beton WSBP.
Waskita Karya mulai mengalami kesulitan keuangan karena belum menerima pembayaran atas jasa pengerjaan proyek penugasan pemerintah. Perusahaan ini juga berinvestasi dan mengerjakan proyek penugasan pemerintah yang sebenarnya tidak layak secara bisnis. Kejatuhan Waskita Karya selaku induk usaha langsung menyeret WSBP. Sebabnya, sekitar 90 persen pendapatan WSBP berasal dari transaksi bisnis dengan Waskita Karya.
Menteri BUMN Erick Thohir (tengah) dan Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo (kanan) mengikuti rapat kerja dengan Komisi VI DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, 5 Juni 2023. Antara/Dhemas Reviyanto
Kementerian BUMN kemudian meminta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) mengaudit WSBP, yang hasilnya keluar pada 2021. Dalam laporannya, BPKP menemukan kerugian negara Rp 2,546 triliun pada 2016-2020, saat Jarot Subana memimpin WSBP. “Isi dan temuannya macam-macam. Antara lain ada rekayasa laporan keuangan,” kata Deputi Kepala BPKP Bidang Investigasi Agustina Arum Sari kepada Tempo pada Rabu, 14 Juni lalu.
Kementerian BUMN lantas menyodorkan temuan BPKP tersebut kepada Kejaksaan Agung. Pengacara Destiawan Soewardjono, Enita Adylaksmita, mengatakan kliennya yang melaporkan temuan BPKP tersebut kepada Kejaksaan Agung, atas perintah Kementerian BUMN. “Pak Destiawan sendiri yang melaporkan,” tutur Enita ketika ditemui di kantornya pada Jumat, 16 Juni lalu.
Pada Juli 2022 atau setahun setelah laporan itu masuk, Kejaksaan Agung menetapkan rombongan tersangka pertama dalam kasus dugaan korupsi WSBP. Mereka di antaranya Jarot Subana dan Mischa Hasnaeni Moein, Direktur Utama PT Misi Mulia Metrical. Hasnaeni, yang dijuluki Wanita Emas, diduga menawarkan pekerjaan kepada WSBP dalam pembangunan jalan tol Semarang-Demak dengan imbalan tertentu.
Kejaksaan Agung melanjutkan penyelidikan hingga akhirnya sampai pada dugaan keterlibatan sejumlah direktur Waskita Karya. Selain menetapkan Bambang Rianto yang menjabat Direktur Operasi II Waskita Karya sebagai tersangka penggelapan dana SCF, Kejaksaan Agung menjerat Taufik Hendra Kurniawan selaku Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko Waskita Karya periode Juli 2020-Juli 2022. Tersangka lain adalah Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko Waskita Karya periode Mei 2018-Juni 2020, Haris Gunawan; serta Nizam Mustafa, Komisaris Utama PT Pinnacle Optima Karya.
Menurut penyidik Kejaksaan Agung, para tersangka mengatur dan menyetujui permohonan pencairan fasilitas pinjaman SCF ke sejumlah bank dengan dokumen tagihan palsu. Proyek fiktif yang ditagihkan dalam SCF antara lain jalan tol Cileunyi-Sumedang-Dawuan atau Cisumdawu dan jalan tol Bogor-Ciawi-Sukabumi atau Bocimi. Dana SCF itu digunakan seolah-olah untuk membayar tagihan vendor, antara lain ke Pinnacle Optima Karya yang punya tagihan ke Waskita Karya. Nizam selaku pemilik Pinnacle Optima Karya diduga berperan menampung dana tersebut untuk kemudian ia tarik secara tunai dan dibagikan kepada orang-orang Waskita Karya.
Proyek pembangunan jalan tol Bogor-Ciawi-Sukabumi di Cicurug, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, November 2022. Antara/Raisan Al Farisi
Pada 2017-2021, manajemen Waskita Karya telah mencairkan SCF senilai Rp 25 triliun dari sejumlah bank. PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk atau BNI menjadi pemberi fasilitas SCF terbesar, yaitu Rp 7,9 triliun, sepanjang 2017-2020. Pemberi pinjaman lain adalah PT Bank Mandiri (Persero) Tbk senilai Rp 4,5 triliun, PT Bank Syariah Mandiri Rp 2,9 miliar, dan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk atau BRI Rp 2,5 triliun.
SCF adalah fasilitas pinjaman modal kerja jangka pendek yang diberikan bank kepada perusahaan konstruksi. Kontrak pembiayaan berlaku per proyek. Perusahaan konstruksi seperti Waskita Karya bisa mencairkan pinjaman itu hanya dengan menyodorkan tagihan dari vendor atau rekanan pemasok material untuk proyek mereka kepada bank. Bank biasanya memegang tagihan itu sebagai jaminan.
Dalam kasus yang menjerat direksi Waskita Karya, tagihan dari vendor dipakai untuk menarik SCF yang diduga palsu dan diklaim bolak-balik. Sebagian dana SCF juga digunakan untuk membeli alat berat, membebaskan lahan jalan tol, hingga membayar gaji pegawai. Padahal belanja itu tidak sesuai dengan tujuan pencairan SCF.
Dalam kasus Waskita Karya, penggunaan dana SCF relatif longgar. Kuasa pengguna dana ini adalah direktur operasi. Selagi proyek masih dalam pengerjaan, direktur operasi bertindak laksana direktur utama, yang berkuasa atas alur keluar-masuk dana. Persetujuan dari direktur keuangan diperlukan hanya bila jumlah dana SCF yang ditarik sangat besar.
Menurut sumber Tempo di kalangan penegak hukum, Destiawan tersangkut kasus pencairan SCF tahun 2020. SCF itu ditarik oleh Bambang Rianto. Ada sejumlah SCF yang ditarik Bambang sendiri dan timnya, yang punya kuasa penuh keuangan dalam proyek. Namun beberapa kali penarikan dilakukan dengan diketahui dan atas persetujuan direktur keuangan karena nilai nominalnya cukup besar. Sedangkan Destiawan, yang tidak ikut membubuhkan tanda tangan dalam penarikan SCF, diduga menerima sebagian dana yang cair, yaitu US$ 20 ribu dari Bambang.
Pengacara Destiawan, Enita Adylaksmita, tak menjawab pertanyaan tentang nilai uang yang diterima kliennya. Namun dia mengakui Destiawan pernah menerima uang dari Bambang. Uang itu, menurut Enita, adalah bonus akhir tahun buat direksi yang sudah dibahas dalam sejumlah rapat. “Klien kami tidak pernah menerima uang dari Nizam atau vendor, tapi dari perusahaan secara resmi. Uang itu juga sudah dikembalikan ke kejaksaan,” ucapnya.
•••
DUGAAN manipulasi laporan keuangan Waskita Karya sudah terendus sejak BPKP menelisik keuangan WSBP pada 2020. Hasil pemeriksaan BPKP menyimpulkan ada kerugian negara Rp 2,5 triliun pada WSBP. BPKP juga menemukan rekayasa laporan keuangan karena WSBP memberikan kontribusi besar terhadap laba-rugi Waskita Karya. Dari temuan ini, BPKP menyarankan Kementerian BUMN memeriksa Waskita Karya. “Dugaannya, apakah rekayasa laporan keuangan ini ada pengaruhnya terhadap induk usaha,” kata Deputi Kepala BPKP Bidang Investigasi Agustina Arum Sari pada Rabu, 14 Juni lalu.
Selain BPKP, WSBP diaudit oleh PricewaterhouseCoopers (PWC), auditor independen, atas permintaan Waskita Karya. Dua sumber yang mengetahui hasil audit itu menyatakan ada jejak penghilangan data dari komputer para terperiksa. Selain itu, sejumlah tagihan dari penyuplai dan vendor yang sudah masuk dan jatuh tempo disembunyikan. Walhasil, beban keuangan perusahaan terlihat lebih kecil dari seharusnya. Ini yang kemudian membuat laba Waskita Karya melejit.
Ekonom dan pengamat pasar modal, Yanuar Rizky, mengatakan penyembunyian tagihan adalah pelanggaran Pasal 90 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal. "Itu adalah off balance sheet,” ujar Yanuar, mantan auditor keuangan yang pernah menjadi komisaris PT Pupuk Indonesia (Persero), kepada Tempo pada Rabu, 14 Juni lalu.
Menurut Yanuar, indikasi ketidakberesan laporan keuangan Waskita Karya sudah terlihat dalam laporan keuangan 2022. Saat itu pendapatan Waskita Karya hanya naik Rp 1 triliun, dari Rp 12,2 triliun pada 2021 menjadi Rp 15,3 triliun. Namun beban ke pemasok naik dari Rp 12 triliun menjadi Rp 16 triliun. “Ini berarti ada yang masuk biaya. Ada impairment potensi kerugian dari piutang tak tertagih atau pembengkakan biaya yang tidak diakui oleh pemilik proyek,” ucapnya.
Yanuar mengatakan pembengkakan biaya proyek adalah hal biasa dalam perusahaan konstruksi. Persoalan ini bisa menjadi rumit karena pemilik proyek, dari pihak swasta, pemerintah, hingga BUMN, tidak mau mengakui pembengkakan biaya itu. Walhasil, pembengkakan biaya tersebut ditanggung oleh kontraktor, termasuk Waskita Karya, dan ujung-ujungnya menjadi sumber kerugian.
Sebelum Penerapan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 71 berlaku pada Januari 2020, perusahaan masih boleh mencatatkan selisih sengketa piutang pembengkakan biaya sebagai piutang. Namun, sejak PSAK 71 berlaku, perusahaan harus mencadangkan selisih piutang ini sebagai kerugian karena adanya potensi tak tertagih. Dalam laporan keuangan Waskita Karya per 31 Desember 2022, ada penambahan cadangan kerugian penurunan nilai piutang dagang yang berasal dari penambahan PSAK 71 tahun berjalan senilai Rp 594 miliar.
Yanuar juga menyoroti dampak penerapan aturan lain, yaitu PSAK 72, terhadap Waskita Karya setelah 2020. Sebelum Januari 2020 atau sebelum PSAK 72 berlaku, perusahaan dibolehkan mencatatkan perolehan kontrak dan tagihan bruto sebagai pendapatan dengan beberapa kriteria. Celah ini yang membuat nilai pendapatan Waskita Karya sebelum 2020 menggelembung.
Setelah PSAK 72 berlaku, perusahaan hanya bisa mengakui pendapatan kontrak dari apa yang sudah mereka kerjakan. Sebagai contoh, jika menerima kontrak proyek Rp 1 triliun tapi pekerjaan yang baru diselesaikan Rp 100 miliar, perusahaan hanya boleh mengakui pendapatan dan beban sebesar Rp 100 miliar. “Apakah ini juga mau disajikan ulang oleh Kementerian BUMN?” Yanuar bertanya.
Restatement atau penyajian ulang laporan keuangan bukan pertama kali terjadi di BUMN. Pada 2018, PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk pernah terlilit kasus ini, ketika maskapai penerbangan pelat merah itu mencatatkan nilai kontrak tahun jamak yang diakumulasikan sebagai pendapatan pada tahun tersebut. Akibat pencatatan yang tak sesuai dengan ketentuan itu, Garuda Indonesia mengklaim pendapatan lain-lain US$ 239 juta. Manajemen Garuda merasa pengakuan pendapatan secara berlebihan itu tidak melanggar standar akuntansi, hingga akhirnya disemprit oleh Otoritas Jasa Keuangan dan Badan Pemeriksa Keuangan.
Pada semester I 2019, manajemen Garuda Indonesia melakukan restatement laporan keuangan, sekaligus terkena denda. Sedangkan para auditor, yaitu akuntan publik Kasner Sirumapea dan kantor akuntan publik Tanubrata, Sutanto, Fahmi, Bambang & Rekan (anggota BDO International), mendapat sanksi pembekuan izin selama 12 bulan.
Dalam kasus Waskita Karya, Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo berjanji mengejar bukti-bukti dugaan fraud alias kejahatan keuangan dengan modus manipulasi laporan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo