Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JIKA tak ada aral, PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) akan menjadi milik Indonesia sepenuhnya mulai pekan ini. Setelah melewati perundingan panjang sejak Februari 2011, Nippon Asahan Aluminium, pemegang saham Inalum terbesar asal Jepang, akan menandatangani kesepakatan penghentian kerja sama dengan pemerintah Indonesia, Senin ini. Ketua tim perunding yang juga Menteri Perindustrian, Mohamad Suleman Hidayat, akan bertindak mewakili pemerintah RI.
Menurut Hidayat, dari Jepang ada 20-an perwakilan yang akan hadir. Selain pejabat Kementerian Perdagangan dan Industri Jepang, wakil konsorsium Nippon yang beranggotakan Japan Bank for International Cooperation, sebagai pemilik 50 persen saham, bakal hadir. Yang lain mewakili 12 perusahaan swasta Jepang dalam konsorsium. Beberapa di antaranya Sumitomo Chemical Company Ltd, C Itoh & Co Ltd, Nissho Iwai Co Ltd, Marubeni Corporation, Mitsubishi Chemical Industries Ltd, dan Mitsui Aluminium Co Ltd.
Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa dan Hidayat mengakui negosiasi pengalihan saham Jepang ke pihak Indonesia sangat alot, terutama menyangkut jumlah kompensasi yang harus dibayarkan pemerintah. "Angka akhir nilai buku pengambilalihan 58,87 persen saham Nippon di PT Inalum adalah US$ 556,7 juta," kata Hidayat. "Itu berarti angka yang dipakai adalah perhitungan BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan)."
Pemerintah menganggap kesediaan Nippon menerima angka itu sebagai kemenangan perundingan. Dalam rapat bersama Kementerian Keuangan, Selasa pekan lalu, Dewan Perwakilan Rakyat juga menyetujui harga ini. Tapi, sebaliknya, nilai dan pengambilalihan perusahaan melalui mekanisme transfer saham itulah yang membuat Bisuk Siahaan merasa masygul.
Ketua Otoritas Asahan pada 1998-2001 itu menilai ada yang keliru dalam proses pengakhiran kerja sama dan transfer PT Inalum ke pemerintah. "Saya tak habis mengerti mengapa pemerintah mau membayar harga sebanyak itu dan mengapa pula Jepang mau menerimanya? Karena itu, berarti kedua pihak menyalahi master agreement," ujar pria 78 tahun yang pada awal 1970-an memimpin tim perunding ke Jepang untuk proyek Asahan ini.
Bisuk lalu menyodorkan dokumen perjanjian yang ia rujuk, yang menurut dia tak pernah diubah isinya sampai hari ini. Dalam perjanjian 7 Juli 1975 itu jelas disebutkan kontrak kerja sama pengelolaan Inalum berlaku 30 tahun, terhitung sejak operasi pertama pada Oktober 1983. Artinya perjanjian ini semestinya berakhir pada pengujung Oktober 2013. Pada waktu kontrak itu berakhir, seluruh aset tetap PT Inalum akan diserahkan ke pemerintah Indonesia, dengan ganti rugi sesuai dengan nilai buku. "Tolong dicatat, tak ada sedikit pun di sana disebut soal nilai saham," kata Bisuk. "Aset tetap yang dimaksud di perjanjian itu pun adalah mesin-mesin yang sudah puluhan tahun digunakan dan telah menyusut nilainya sesuai dengan depresiasi."
Karena terlibat sejak mula dan sempat mengepalai proyek ini, Bisuk mengaku tahu benar berapa nilai aset tetap PT Inalum ketika masih baru, yakni 87,77 miliar yen atau setara dengan US$ 382 juta. "Aset itu sudah beroperasi 30 tahun, jadi bisa diperkirakan berapa nilainya sekarang. Taruhlah ada perbaikan di sana-sini, tapi apa masuk akal kalau angkanya sampai US$ 556,7 juta?"
Dalam hitung-hitungan Bisuk, ganti rugi yang patut untuk 58,87 persen pemilikan Nippon atas aset tetap itu semestinya berkisar di angka US$ 225 juta. Dia sebetulnya sempat menyampaikan pendapatnya ini saat diundang dalam rapat di Dewan Perwakilan Daerah bersama beberapa wakil pemerintah dari berbagai kementerian. "Saya kira mereka bukannya tidak tahu isi dan maksud perjanjian itu," ucap Bisuk. "Itu juga yang membuat saya semakin tak paham mengapa mereka menyetujui harga begitu mahal."
Persepsi tentang mahal atau murahnya harga Inalum ini memang tak sama di antara beberapa pihak sejak mula. Menjelang berakhirnya kontrak pada Oktober lalu, konsorsium Nippon sempat mematok angka US$ 626,1 juta sebagai harga yang harus dibayarkan pemerintah Indonesia. Padahal, menurut taksiran BPKP, nilai aset yang tersisa tak lebih dari US$ 424 juta. Belakangan, BPKP mengoreksinya menjadi US$ 665,7 juta.
Karena perundingan tak juga menemukan titik sepakat, Nippon sempat berkirim surat ke pemerintah. Isinya pemberitahuan mengenai rencana mereka membawa masalah ini ke jalur arbitrase. Tapi langkah Nippon itu dilihat oleh berbagai pihak di Tanah Air tak lebih dari sekadar akal-akalan mereka.
Mantan wakil presiden Jusuf Kalla, misalnya, menganggap pada akhirnya biaya yang harus dikeluarkan Indonesia akan jauh lebih besar kalau jalur arbitrase ditempuh. Proses arbitrase paling cepat bisa memakan waktu sembilan bulan. Selama itu pula operasi Inalum masih akan dikuasai Jepang, dan semua keuntungan harus tetap dibagi berdasarkan porsi pemilikan mereka.
Jikapun nantinya ditemukan harga kompromi baru, Kalla memperkirakan selisihnya tak akan sebanding dengan keuntungan yang harus kita bagi. "Dihitung dari sisi mana pun, akan lebih menguntungkan buat kita kalau Inalum segera diambil alih," ujar Kalla beberapa waktu lalu. Menurut dia, tanpa perlu menghitung pabrik peleburan aluminiumnya pun harga pembangkit listrik tenaga air yang ada di Inalum sudah akan cukup menggantikan ongkos transfer itu. "Maka jadi aneh kalau proses ini dibikin terlalu lama."
Hatta Rajasa tak membantah bahwa pola transfer saham Inalum itu memang tak seperti yang diamanatkan dalam master agreement. Tapi, kata dia, selama semua pihak menyetujui, perubahan skema peralihan itu bukan masalah. "Lagi pula ini cara kita mempermudah prosesnya. Sebab, kalau tidak begitu, perusahaan harus ditutup dulu dan kita bikin perusahaan baru. Ada banyak potensi masalah di situ. Belum lagi keresahan karyawan dan operasional yang mungkin terganggu," Hatta menjelaskan. "Ini juga cara kita menghindari jalur arbitrase. Sebab, kalau sampai dihitung nilai sahamnya sesuai dengan pasar, nilainya bisa US$ 1 miliar lebih. Dengan harga dari BPKP itu, kita sudah untung."
Soal keuntungan itu pula yang hendak ditegaskan Menteri Hidayat. Ia membuka rahasia mengapa pemerintah memang tak perlu terlalu lama menerima nilai sesuai dengan taksiran BPKP. "Asal tahu saja, di dalam perusahaan itu masih ada uang tunai US$ 400 juta lebih. Belum lagi tagihan lain," tuturnya. "Begitu seluruh saham pindah ke pemerintah, uang dan semua tagihan yang ada di dalamnya juga langsung jadi milik kita. Jadi sebenarnya pemerintah hanya perlu mentransfer selisihnya ke Nippon, sekitar US$ 150 juta lebih. Kalau sudah begitu, masak masih mau dibilang enggak untung kita?"
Y. Tomi Aryanto, Ananda Teresia
Perbandingan Hitungan Transfer Saham dan Kompensasi Aset
Komponen | Saham | Aset | |
Kompensasi Aset | Likuidasi | ||
Cash: | 404 | 1.029 | 1.159 |
Receivables: | 80 | 80 | - |
Inventories: | 150 | - | - |
Fixed Assets: | 475 | - | - |
Other Assets: | 50 | 50 | - |
Total aset: | 1.159 | 1.159 | 1.159 |
-/- Liabilities: | 25 | 25 | 25 |
Equities: | 1.134 | 1.134 | 1.134 |
Porsi NAA (58,88%): | 556,7 | - | 556,7 |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo