Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ekonomi

Dua Nyawa Sama Janggalnya

Omnibus law kluster energi dan sumber daya mineral dianggap hanya melanggengkan Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batu Bara yang bermasalah. Fasilitas pembebasan royalti batu bara jadi kontroversi baru.

17 Oktober 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Omnibus law lahir di tengah gugatan uji materi Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batu Bara.

  • Pembebasan royalti bagi perusahaan batu bara kian memancing kecurigaan adanya kepentingan raksasa tambang batu bara.

BARU juga sepuluh menit berlangsung, sidang yang dipimpin Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman pada Rabu, 7 Oktober lalu, diakhiri. Siang itu, agenda persidangan semestinya mendengarkan keterangan Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan pemerintah. “DPR dan DPD berhalangan. Terus dari kuasa presiden mengajukan surat minta penundaan sidang karena belum siap,” kata Anwar, yang kemudian memutuskan menunda persidangan ke jadwal berikutnya, yakni 21 Oktober, Rabu pekan ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Persidangan Rabu dua pekan lalu itu adalah sidang ketiga dalam perkara uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba). Wet anyar yang disahkan DPR pada medio Mei lalu—diundangkan sebulan kemudian—tersebut banjir gugatan lantaran dianggap bertentangan dengan konstitusi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Latar belakang penggugatnya beraneka macam, dari anggota DPD, kepala daerah, hingga wiraswasta. Materi gugatan pun beragam, dari penyusunan undang-undang yang dianggap cacat prosedur hingga banyaknya pasal yang kontroversial. 

Pasal 169A Undang-Undang Minerba, misalnya, memberikan jaminan perpanjangan masa operasi perusahaan pemegang kontrak karya (KK) dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B). Perpanjangan dilakukan dengan mengubah KK dan PKP2B menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK), tanpa melalui lelang.

Belum juga perkara-perkara ini diputus oleh majelis hakim MK, ganjalan baru mulai dirasakan para penggugat. Sumbernya adalah Undang-Undang Cipta Kerja yang baru disahkan DPR pada Senin, 5 Oktober lalu, dua hari sebelum sidang ketiga perkara Undang-Undang Minerba tadi digelar. Masalahnya, undang-undang sapu jagat alias omnibus law ini juga mengatur ulang Undang-Undang Minerba yang tengah diuji di MK.

Ahmad Redi, salah satu kuasa hukum pemohon uji materi, menilai pengaturan ulang dalam Undang-Undang Cipta Kerja bisa membuat Undang-Undang Minerba langgeng, apa pun isi putusan MK kelak. Maksudnya, kalaupun MK membatalkan Undang-Undang Minerba, pemerintah tetap bisa menggunakan aturan di omnibus law. “Seolah-olah ada dua nyawa ini. Kalau satu dibunuh, istilahnya, masih ada satu lagi,” ujar Redi, yang menganggap sejumlah pasal minerba sarat dengan kepentingan oligarki tambang.

Ekonom Universitas Indonesia, Faisal Basri, punya kecurigaan yang sama. Dia menilai lahirnya Undang-Undang Minerba yang bermasalah merupakan buah dari upaya sistematis untuk melindungi kepentingan pengusaha tambang. “Karena omnibus ketika itu diperkirakan tidak bisa selesai dalam seratus hari, proses pengesahan Undang-Undang Minerba dipercepat,” ucapnya.

Rencana revisi terhadap Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara memang lebih dulu mencuat tahun lalu. Rancangannya diinisiasi oleh DPR di pengujung masa tugas parlemen periode 2014-2019, hampir bersamaan dengan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi. Namun, belakangan, Rancangan Undang-Undang Minerba urung dibahas setelah menuai banyak kritik.

Penolakan terhadap RUU Minerba, kala itu, dipicu draf yang dianggap mengistimewakan tambang PKP2B. Selain mendapat perpanjangan otomatis lewat perubahan perizinan ke IUPK, kontraktor penguasa puluhan hingga ratusan ribu hektare lahan tambang itu tak lagi wajib menciutkan konsesinya menjadi paling luas 15 ribu hektare—seperti diatur dalam Undang-Undang Minerba 2009.

Januari lalu, rancangan pasal senada muncul dalam draf RUU Cipta Kerja—kala itu masih bernama Cipta Lapangan Kerja. Namun, di tengah berlarut-larutnya pembahasan omnibus law, RUU Minerba menyalip di tikungan, lebih dulu disahkan pada Mei lalu dengan isi aturan yang sama sehingga menuai gugatan di MK. Kini omnibus law mengatur lagi sebagian isi dalam Undang-Undang Minerba.

Direktur Pembinaan Pengusahaan Mineral Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Yunus Saefulhak enggan dimintai tanggapan tentang duplikasi aturan dalam Undang-Undang Minerba dan omnibus law. “Maaf, ini porsi Biro Hukum,” kata Yunus, Kamis, 15 Oktober lalu.

Staf Khusus Menteri Energi Bidang Tata Kelola Mineral dan Batu Bara Irwandy Arif mengatakan proses pembahasan omnibus law sudah lama berjalan dan bersamaan waktunya dengan pembahasan perubahan Undang-Undang Minerba. “Sehingga kemungkinan ada yang sama,” tuturnya.

Dalih serupa diutarakan Wakil Ketua Komisi Energi DPR Eddy Soeparno. Menurut dia, tidak ada maksud DPR selain menguatkan pasal-pasal dalam Undang-Undang Minerba pada omnibus law. “Mungkin kata yang lebih tepat adalah penegasan,” kata anggota Fraksi Partai Amanat Nasional itu, Rabu, 14 Oktober lalu.

•••

Aerial bekas tambang batu bara di Kecamatan Samboja, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Agustus 2019. ANTARA/Akbar Nugroho Gumay

PENGATURAN ulang Undang-Undang Minerba ada di Pasal 39 Undang-Undang Cipta Kerja. Isinya sebenarnya hanya satu pasal tambahan dan satu pasal perubahan. Ketentuan baru dalam Undang-Undang Minerba yang disisipkan di omnibus law, yakni berupa Pasal 128A, kini menjadi sumber kontroversi terbaru.

Pasal baru itu menambahkan ketentuan tentang kewajiban pemegang izin pertambangan untuk membayar pendapatan negara dan daerah yang diatur dalam Pasal 128 Undang-Undang Minerba. Berdasarkan Pasal 128A, perusahaan pemegang izin tambang dapat menerima perlakuan tertentu jika meningkatkan nilai tambah batu bara. Perlakuan tertentu yang dimaksud, seperti disebutkan dalam Pasal 128A ayat 2, dapat berupa pengenaan royalti sebesar 0 persen. Nilai tambah yang dimaksud mengacu pada Pasal 102 Undang-Undang Minerba.

Menteri Energi Arifin Tasrif menjelaskan, ada perlakuan tertentu dalam sub-kluster mineral dan batu bara agar bahan baku bisa kompetitif. “Intinya, bagaimana memudahkan investasi serta meningkatkan nilai tambah sumber daya alam yang ada. Supaya investasi masuk dan bisa menyerap tenaga kerja,” katanya dalam paparan lewat telekonferensi tentang Undang-Undang Cipta Kerja, Rabu, 7 Oktober lalu.

Yang jadi soal, kewajiban meningkatkan nilai tambah pada Pasal 102 Undang-Undang Minerba diperuntukkan bagi tambang mineral. Peningkatan nilai tambah dilakukan lewat pengolahan atau pemurnian, seperti terhadap emas, nikel, dan tembaga. Adapun bahasa yang dipakai untuk pelaku usaha tambang batu bara—diatur dalam ayat 2 pasal yang sama—adalah pengembangan dan pemanfaatan.

Saat ini, beberapa perusahaan tambang batu bara mulai mengembangkan produk hilir. PT Bukit Asam (Persero) Tbk, misalnya, tengah mengembangkan konversi batu bara menjadi gas (gasifikasi) untuk menghasilkan dimethyl ether (DME) dan metanol. Perusahaan milik negara ini bekerja sama dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi (Lemigas) untuk uji laboratorium dan uji terapan pemakaian DME. “Produk ini digadang-gadang bisa memangkas impor elpiji ke depan,” kata Sekretaris Perusahaan Apollonius Andwie C.

Rencana gasifikasi juga disiapkan PT Bumi Resources Tbk. Induk kontraktor batu bara PT Kaltim Prima Coal dan PT Arutmin Indonesia ini akan memasok batu bara untuk proyek gasifikasi senilai US$ 2 miliar di Bengalon, Kalimantan Timur.

Simon Sembiring, mantan Direktur Jenderal Mineral, Batu Bara, dan Panas Bumi Kementerian Energi, melihat ada kesalahkaprahan dalam rencana pembebasan royalti bagi pengembang batu bara. Kegiatan pertambangan terpisah dari industri hilir, misalnya dalam batu bara bisa berupa pengolahan menjadi briket, coal bed methane, atau gas. Itu sebabnya tambang diatur oleh Kementerian Energi, sementara industri turunan dikelola Kementerian Perindustrian.

Royalti merupakan alat penerimaan negara untuk mengatur kegiatan ekstraktif, seperti tambang, karena mengambil hasil sumber daya alam. Insentif bagi perusahaan tambang semestinya bisa diberikan industri di sektor hilir atau pengolahan, bukan hulu, misalnya lewat pembebasan pajak. “Bukan royalti dinolkan. Itu namanya merampok uang rakyat,” ujar Simon.

Kritik serupa dilontarkan pegiat lingkungan yang menilai pembebasan royalti ini berarti perusahaan memberikan batu bara secara cuma-cuma kepada perusahaan-perusahaan tambang. Kecurigaan mereka mengarah pada kepentingan sejumlah perusahaan raksasa tambang batu bara yang kini juga banyak membangun pembangkit listrik tenaga uap batu bara (PLTU).

Draf rancangan peraturan pemerintah yang akan menjadi aturan pelaksana Undang-Undang Minerba, termasuk Pasal 39 Undang-Undang Cipta Kerja, memang menempatkan PLTU sebagai salah satu bentuk pemanfaatan batu bara. “Ini aneh. Bagi kami ini aneh. Penilaian peningkatan nilai tambah itu seharusnya sudah berubah. Seharusnya pembangunan PLTU batu bara itu makin berkurang,” tutur Aryanto Nugroho, peneliti Publish What You Pay, yang tergabung dalam koalisi #BersihkanIndonesia. “Jadi aturan ini untuk siapa?”

RETNO SULISTYOWATI, GABRIEL ANIN
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus