Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Produsen roti di Gang Babakan Rahayu, Bandung, terancam oleh roti buatan pabrik.
Skala produksi roti rumahan jauh di bawah buatan pabrik.
Merek roti legendaris bisa bertahan melawan roti pabrikan.
SUTARNO alias Nano mengeluarkan enam loyang berisi roti berbentuk memanjang dari sebuah oven berbahan bakar gas tabung 3 kilogram. Roti yang telah diisi parutan kelapa itu didinginkan selama tiga jam di loyang persegi, kemudian diiris dan dimasukkan ke kantong plastik bening berukuran 11 x 25 sentimeter. Dua pekerja lantas merekatkan bagian ujung plastik itu dan memberi label kertas bertulisan “Roti Kopyor Sawargi Rp 3.000”.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Inilah rutinitas sehari-hari Nano, pembuat roti di Gang Babakan Rahayu, Kelurahan Babakan Asing, Bojongloa Kaler, Kota Bandung. Kamis, 18 Juli 2024, pria 41 tahun itu menjalani rutinitasnya mulai pukul 07.00 hingga pukul 17.00 WIB. Dia memulai produksi roti dari menyiapkan loyang pada pagi, membuat adonan berbahan terigu, ragi, air, garam, improver, mentega, gula pasir, dan bahan pengawet, hingga mengemas dan mengantar roti kepada pembeli pada malam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Aktivitas itu dilakoni puluhan warga Gang Babakan Rahayu—salah satu sentra produksi roti di Kota Bandung. Di jalan gang sepanjang sekitar 100 meter itu, tercium wangi roti dari rumah-rumah warga. Gerobak dan sepeda motor hilir-mudik mengambili roti yang telah dikemas untuk dijual.
Nano dan istrinya, Lia Muliawati, 36 tahun, merintis usaha roti pada Februari 2012 dengan label Putri Sawargi. Modalnya Rp 11 juta untuk membeli peralatan serta bahan baku. Roti rumahan ini pecahan dari bisnis orang tua Lia, yang membangun merek Sawargi sejak 1987. Berlokasi di gang yang sama, jarak tempat usaha keduanya hanya terpaut 10 meter. Mereka bertetangga dengan pembuat roti merek lain, seperti Mekar Sari 99 dan Kurnia.
Menurut Nano, ada sekitar 30 pembuat roti di Gang Babakan Rahayu. Sebelum masa pandemi Covid-19, terdapat 40 rumah tempat bisnis roti. Nano dan istrinya pun kini hanya membuat roti kopyor bersama dua pekerja dengan kapasitas produksi setara dengan tiga karung terigu. Harga jual rotinya Rp 3.000 per bungkus. “Ukurannya sekarang lebih kecil, setengah dari yang dulu,” katanya kepada Tempo.
Selain pagebluk, salah satu musabab turunnya jumlah produksi roti di Babakan Rahayu adalah persaingan bisnis yang makin sengit. Roti rumahan khas Babakan Rahayu tergilas roti buatan pabrik yang dijual pada rentang harga yang sama. Roti Okko dan Aoka adalah dua merek yang bersinggungan langsung dengan produk Gang Babakan Rahayu karena sama-sama dijajakan di warung dan pasar tradisional. “Seharusnya roti sekelas itu dijual di minimarket. Kemasan bagus, empuk, dan awet, jelas kami tersisihkan oleh mereka yang kuat teknologi dan modal,” tutur Nano.
Seusai masa pandemi, pamor Okko dan Aoka kian menanjak. Terlebih keduanya menawarkan tanggal kedaluwarsa yang terhitung lama untuk produk roti, yaitu hingga tiga bulan dari tanggal produksi. Nano dan produsen roti lain di Babakan Rahayu memakai bahan pengawet biasa, seperti kalsium propionat. Takarannya maksimal 4 gram untuk 1 kilogram tepung, yang menurut Nano sesuai dengan standar Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). “Daya tahan roti maksimal hanya lima hari,” ujarnya.
Lantaran serbuan produk produk roti pabrikan masif, pembeli grosir di sentra roti Gang Babakan Rahayu mulai beralih ke merek seperti Aoka dan Okko. Ironisnya, Nano menambahkan, di depan gang Babakan Rahayu biasanya datang beberapa truk berisi roti-roti pabrikan tersebut. “Ngedrop muatan bisa 1-2 kontainer. Pembeli dari Subang, Tasikmalaya, Garut, Cianjur dulu belinya roti kami, sekarang beralih,” ucapnya. Persaingan ini, Nano mengungkapkan, membuat resah produsen roti rumahan yang merasa strategi pabrik roti berskala besar tak adil.
Agar bisa bersaing, Nano mengumpulkan tambahan modal untuk membeli alat pengemas modern dan mesin pencetak roti sehingga proses produksinya lebih cepat dan hasilnya lebih banyak. Untuk memperluas pasar, Nano memanfaatkan media sosial. Dalam sehari Nano membuat 1.140 bungkus roti kopyor dan memperoleh laba bersih Rp 5 juta per bulan. “Dulu untungnya bisa mencapai Rp 11 juta tiap bulan.”
Jika dibandingkan dengan roti Okko ataupun Aoka, skala produksi Nano sangat kecil. Okko, yang bernaung di bawah PT Abadi Rasa Food, diproduksi 30 ribu bungkus sehari. Pengelola pabrik roti Okko, Jimmy, mengatakan produknya disebar di Jawa, khususnya Jawa Barat. Harga jual di Bandung dan sekitarnya dipatok Rp 2.500, sementara di Jakarta Rp 3.000 per bungkus. “Kami ingin membuat roti yang enak dengan harga murah untuk kalangan menengah ke bawah,” ucapnya kepada Tempo pada Rabu, 17 Juli 2024. Sedangkan menurut Head of Legal PT Indonesia Bakery Family Kemas Ahmad Yani, sebanyak 16 varian roti Aoka sudah menyebar ke seluruh Indonesia.
Tapi tak semua roti produksi rumahan jeri terhadap produk-produk buatan pabrik dan industri makanan. Sejumlah roti legendaris masih bertahan dengan proses produksi dan penjualan yang sama dengan yang mereka lakukan berpuluh-puluh tahun silam. Salah satunya roti Tan Ek Tjoan yang berdiri pada 1920. Bisnis ini berawal dari sulitnya para bangsawan Belanda mencari roti yang merupakan makanan pokok mereka. Seorang pengusaha wanita keturunan Cina, Phoa Kie Nio, membuka pabrik roti berbekal pengalaman dan ilmu dari orang Belanda.
Phoa kemudian membuka gerai roti buatan rumahan dengan merek Tan Ek Tjoan, yang merupakan nama suaminya. Kini Tan Ek Tjoan menjadi roti legendaris yang dijual di wilayah Jakarta dan sekitarnya. Pada awalnya, Phoa dan sang suami yang bekerja sebagai tukang es berjualan di Jalan Perniagaan (sekarang Jalan Suryakencana) Nomor 159, Bogor Tengah, Kota Bogor, Jawa Barat. Karena merek itu makin maju, pada 1974, generasi kedua pengelola perusahaan yang bernama Tan Bok Nio membuka toko di Jalan Siliwangi Nomor 176, Bogor Selatan, Kota Bogor.
Owner Tan Ek Tjoan generasi ketiga, Lydia Cynthia Elia (kiri) bersama suami Hadi D Setiawan di tokonya Jalan Siliwangi, Bogor, 18 Juli 2024. Tempo/MA Murtadho
Setelah Tan Bok Nio wafat pada 1992, usaha roti Tan Ek Tjoan dikelola oleh anak-anaknya. Salah satunya Lydia Cynthia Elia yang meneruskan usaha bersama suaminya, Hadi D. Setiawan. Lydia mengungkapkan, roti Tan Ek Tjoan hanya memiliki satu toko, yaitu di Jalan Siliwangi, serta satu gerai di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta. Dia mengatakan pemasaran di luar Bogor hanya dilakukan oleh mitra yang menggunakan gerobak keliling berkelir kuning dan cokelat yang mewakili warna gandum dan tanah. Di Jakarta, gerobak roti ini banyak ditemukan di wilayah Menteng, Cikini, dan Rawamangun. Saat ini Tan Ek Tjoan memiliki 100 mitra pedagang gerobak.
Roti buatan Tan Ek Tjoan beragam, seperti roti tawar, roti gambang, dan roti cokelat. “Kami pun berinovasi sesuai dengan kebutuhan konsumen,” kata Lydia kepada Tempo pada Kamis, 18 Juli 2024. Harga roti Tan Ek Tjoan berkisar Rp 8.000 hingga belasan ribu rupiah, tergantung rasa dan ukuran. Untuk menjaga kualitasnya, Lydia mengatakan, proses produksi tetap dilakukan secara rumahan setiap hari. Semua bahan baku berasal dari Indonesia. Jumlah produksinya bergantung pada pesanan dari para mitra yang dikerjakan oleh 15 karyawan.
Hadi Setiawan mengatakan persaingan pasar roti kian ketat sehingga pelaku usaha harus pintar menentukan segmen pembeli serta menjaga loyalitas konsumen. “Tan Ek Tjoan menyasar pasar perumahan, tidak masuk ke retail, tapi tidak dititip di warung-warung,” tuturnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Pada edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Roti Rumahan Menantang Pabrikan." M.A. Murtadho di Bogor dan Anwar Siswadi di Bandung berkontribusi pada artikel ini.