Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yopie Hidayat
Kontributor Tempo
Harapan itu pendek saja umurnya. Pekan lalu, setelah Partai Demokrat memenangi pemilihan umum dan menguasai mayoritas Kongres Amerika Serikat, banyak yang bersorak girang melihat rupiah menguat tajam. Harapan rupiah terus menguat sempat membubung tinggi.
Cuma dalam tiga hari, nilai rupiah sempat naik hampir 5 persen, dari 15.200 menjadi sekitar 14.500 per dolar Amerika Serikat. Sayangnya, harapan penguatan itu berlanjut buyar bak asap diterpa angin pada akhir pekan. Sejak Jumat pekan lalu, rupiah kembali mengarah ke tren melemah, melampaui 14.650 per dolar Amerika.
Apa pasal pergerakan naik-turun tajam itu? Pemicu penguatan rupiah adalah hasil pemilu di Amerika Serikat, Selasa pekan lalu. Pasar menilai kemenangan Demokrat akan menciptakan kebuntuan politik di Kongres. Dengan begitu, program stimulus ekonomi Presiden Donald Trump bisa tersendat. Stimulus ekonomi Trump merupakan salah satu faktor penting yang membuat gairah ekonomi Amerika memanas dua tahun terakhir ini. Sebagai respons, The Federal Reserve alias The Fed pun harus menaikkan bunga rujukannya.
Sebaliknya, jika stimulus itu mengendur, ekonomi Amerika mendingin, bunga The Fed tidak akan terus naik seperti rencana sebelumnya. Rentetan berikutnya, tekanan pada mata uang negara berkembang yang selama ini tergencet tingginya bunga The Fed bakal mereda. Skenario inilah yang memicu penguatan rupiah empat hari pertama pekan lalu.
Sayangnya, penguatan itu tak berlanjut. Sesuai dengan jadwal pada Kamis malam Waktu Indonesia Barat, Ketua The Fed Jay Powell harus menyampaikan pernyataan arah kebijakan lembaganya kepada publik. Dan yang muncul justru sinyal agresif. Pengetatan kebijakan moneter akan terus berlangsung, pertanda kuat suku bunga The Fed akan naik lagi Desember mendatang. Pernyataan The Fed inilah yang langsung membalik nasib rupiah.
Celakanya, ada pula satu kebetulan yang ikut berperan membalik penguatan rupiah itu. Jumat sore WIB, Bank Indonesia harus memenuhi jadwal mengumumkan statistik neraca pembayaran per kuartal III 2018. Angkanya memang tidak menggembirakan. Defisit neraca transaksi berjalan Indonesia makin dalam, US$ 8,8 miliar selama Januari- Oktober 2018, yang setara dengan 3,37 persen produk domestik bruto (PDB). Ini ibarat lampu kuning tanda waspada yang sudah menyala.
Selama ini pasar finansial menggunakan patokan defisit transaksi berjalan dalam setahun sebesar 3 persen terhadap PDB sebagai batas aman untuk berinvestasi. Jika defisit transaksi berjalan suatu negara melewati batas itu, investor akan lebih waspada menimbang langkah masuk.
Masalahnya, sumber terbesar defisit transaksi berjalan Indonesia adalah impor bahan bakar minyak, bukan impor bahan baku atau peralatan yang ujungnya dapat mendongkrak ekspor. Persoalan lain, selama ini, defisit itu teratasi oleh arus investasi asing yang masuk, baik portofolio maupun langsung. Ketika situasi pasar global bergejolak dan pergerakan arus investasi berubah arah justru keluar dari Indonesia, ganjal penutup defisit itu pun hilang. Itu sebabnya nilai rupiah terus melemah terhadap dolar Amerika Serikat.
Makin dalamnya lubang defisit transaksi berjalan pada kuartal III 2018 menunjukkan betapa berbagai upaya yang sudah dijalankan pemerintah selama ini belum berhasil. Sedangkan faktor pasar global tampaknya kian negatif bagi rupiah. Likuiditas global makin ketat karena Bank Sentral Eropa juga mulai mengakhiri program suntikan euro ke pasar. Adapun perang dagang Cina-Amerika Serikat menimbulkan perlambatan ekonomi di seluruh dunia, sejalan dengan melambatnya perdagangan.
Menimbang berbagai faktor itu, agaknya rupiah susah menguat lagi dengan cepat. Harapan kita tinggal bagaimana otoritas moneter dan pemerintah berupaya agar nilai rupiah tidak luruh terlalu cepat.
Standard & Poor's
Rating BBB- Outlook Stable
Fitch Ratings
Rating BBB Outlook Stable
Moody's Investor Service
Rating Baa2 Outlook Stable
Japan Credit Rating Agency
Rating BBB Outlook Stable
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo