Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ekonomi

Saling Silang Akurasi Padi

Kementerian Pertanian mempertanyakan akurasi data beras baru yang dilansir Badan Pusat Statistik. Pengecekan akan dilakukan di 500 kabupaten.

8 November 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pertemuan di Kementerian Pertanian itu hanya berselang satu pekan setelah Badan Pusat Statistik merilis data beras yang baru. Dalam rapat di kawasan Ragunan, Jakarta Selatan, itu, Kepala Badan Ketahanan Pangan Agung Hendriadi mengumpulkan sejumlah pejabat eselon II, III, dan IV pada awal pekan lalu. Mereka mendapat tugas tambahan: memvalidasi data luas sawah yang dirilis BPS pada akhir Oktober lalu. “Kami akan mengecek sekitar 500 kabupaten,” Agung memaparkan kepada Tempo, Rabu pekan lalu.

Kebijakan itu merespons hasil penghitungan paling anyar terhadap angka perberasan nasional. Pada prinsipnya, Agung menerima dan mengapresiasi statistik baru tersebut. Tapi Kementerian akan ke lapangan memverifikasi kemungkinan adanya area sawah yang belum dihitung. Bila ada, hal itu akan disampaikan kepada BPS sebagai koreksi atas data baru tersebut.

Data baru yang dimaksudkan terutama mengenai angka luas lahan baku sawah nasional. Menurut Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Sofyan Djalil, luas sawah nasional 7.105.145 hektare. Ketetapan itu tertuang dalam surat keputusan nomor 399 tertanggal 8 Oktober 2018. Luas lahan itu menyusut dibanding kondisi pada 2013, yang mencapai 7.750.999 hektare.

Penyempitan itu berdampak terhadap jumlah padi yang dihasilkan. Berdasarkan data BPS, produksi padi nasional selama Januari-September tahun ini sebanyak 49,65 juta ton gabah kering giling (GKG). Adapun potensi hasil hingga Desember nanti diproyeksikan sebesar 56,54 juta ton GKG. Jika dikonversikan menjadi beras, jumlah itu setara dengan 32,42 juta ton. Angka tersebut jauh di bawah perkiraan yang pernah digadang-gadang Kementerian Pertanian, yakni 80 juta ton GKG atau 46,5 juta ton setara beras.

Karena itu, tim Kementerian Pertanian segera bergerak mengecek validitas data luas baku yang dinyatakan tinggal 7,1 juta hektare. “Kami ingin membuktikan apakah di satu titik yang dikatakan BPS tidak ada lahan sawah. Kalau ada, kami akan tunjukkan punya koreksinya.”

Ihwal validasi ini sebenarnya pernah diungkapkan Agung dalam rapat finalisasi “Perbaikan Metodologi Perhitungan Data Produksi Beras” di Kantor Wakil Presiden Jusuf Kalla, akhir Oktober lalu. Saat itu, Agung meminta data baru diverifikasi lebih dulu sebelum dipublikasi. “Beliau (Jusuf Kalla) mengatakan ini (data baru) keluar dulu. Tapi silakan bila ada koreksi,” ujarnya.

Agung mempertanyakan akurasi atau tingkat kepercayaan data baru tersebut. Ia juga mengeluhkan tidak dilibatkannya Kementerian Pertanian selama proses perbaikan metodologi penghitungan. “Kalau pertemuan di Kantor Wakil Presiden, itu bukan rapat, tapi pengumuman. Mana ada diskusi?“

Deputi Bidang Dukungan Kebijakan Pembangunan Manusia dan Pemerataan Pembangunan Sekretariat Wakil Presiden, Bambang Widianto, memastikan Kementerian Pertanian selalu diundang dalam setiap rapat mengenai hal itu. Ia menyebutkan belasan pejabat tingkat eselon I dari beberapa kementerian/lembaga selalu terdaftar sebagai undangan. Selain Kementerian Pertanian, ada BPS, Badan Informasi Geospasial, Kementerian Pertanian, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kementerian Agraria, Kementerian Koordinator Perekonomian, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), serta Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan).

Namun, menurut Bambang, perwakilan dari Kementerian Pertanian kerap absen. “Kalaupun ada yang hadir, cuma pejabat tingkat eselon III, bahkan IV,” katanya. Karena itu, pernah suatu kali ia berinisiatif menggelar rapat di kantor Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian di Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Undangan tetap menggunakan kop surat Sekretariat Wakil Presiden. Pertemuan itu diadakan pada 20 Februari 2017 dengan agenda pembahasan metodologi penetapan luas panen.

Adapun Deputi Statistik Produksi BPS Habibullah menegaskan bahwa dinas pertanian dilibatkan dalam pengukuran dengan metode ubinan. Kepala Pusat Data dan Informasi Pertanahan Kementerian Agraria Suyus Windayana membenarkan informasi bahwa BPS memvalidasi data di lapangan dibantu organisasi perangkat daerah seperti dinas pekerjaan umum, dinas pertanian, badan penelitian dan pengembangan daerah, serta dinas perumahan rakyat, kawasan permukiman, dan pertanahan.

PEMERINTAH menduga angka produksi padi tidak akurat sejak 1997. Untuk memperbaiki akurasi, Presiden Joko Widodo memerintahkan penghitungan ulang. Tidak hanya mencacah ulang, pemerintah juga memperbaiki metodologi pengukuran agar lebih obyektif dan transparan, yang disokong teknologi terbaru. Wakil Presiden Jusuf Kalla didapuk sebagai koordinator proyek tersebut.

Suyus Windayana menjelaskan, secara teknis, metodologi penghitungan luas lahan pada 2013 dan 2018 tidak berbeda jauh. Perbedaannya adalah pengambilan data kini menggunakan citra satelit yang resolusinya lebih baik dibanding dulu. Verifikasi lahan, misalnya, dilakukan oleh Badan Informasi Geospasial dengan menginterpretasikan data melalui Citra SPOT 6/7 milik Lapan. Kemudian BPS memvalidasi data melalui pengamatan di lapangan dengan metode kerangka sampel area dibantu organisasi perangkat daerah. Dari situlah ditetapkan luas lahan baku sawah nasional 2018.

Direktur Pusat Teknologi Pengembangan Sumber Daya Wilayah BPPT Yudi Anantasena menjelaskan bahwa kerangka sampel area adalah penghitungan luas panen dengan metode statistik spasial. Metode ini dilakukan dengan pengamatan langsung di titik-titik yang sama setiap tujuh hari pada akhir bulan.

Kerangka sampel area berbeda dengan metode remote sensing, yakni penggunaan citra dari satelit pengindraan jauh. Dalam kerangka sampel area, data yang di-peroleh dari citra satelit serta pemetaan radar dicek di lapangan sehingga diketahui koordinat lokasinya. Lahan-lahan itu difoto menggunakan kamera telepon seluler Android, kemudian dimasukkan ke sistem Android yang mengunci koordinat lahan sawah.

Agung Hendriadi menilai metode lama dan baru memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Metode lama, eye estimation, misalnya, populasinya sama dengan populasi riil. Tapi kelemahannya adalah memiliki tingkat subyektivitas tinggi. Adapun metode kerangka sampel area menggunakan sampel. Artinya, tidak semua titik dilihat. “Kalau tidak salah sekitar 217 ribu titik. Apakah jumlah titik yang dijadikan sampel itu mewakili?” ia mempertanyakan. Meski begitu, ia mengakui kelebihan penggunaan satelit, yakni dapat menghilangkan subyektivitas.

Yudi memastikan metode kerangka sampel area (KSA) menghasilkan data produktivitas pertanian yang sangat akurat dengan pengambilan data yang sesuai dengan titik koordinat langsung. “Tahun lalu, di seluruh lahan di Jawa sudah dilakukan pengambilan data dengan metode KSA. Tahun ini sudah dilaksanakan di seluruh Indonesia,” ucapnya, Kamis pekan lalu.

Ia menjelaskan, ada beberapa satelit yang bisa memberikan foto digital suatu wilayah. Biasanya satelit mengambil foto daerah yang sama setiap 12-16 hari. Citra satelit ini juga bisa dipakai untuk meng-amati fase tumbuh padi. Namun, karena bersifat optik, pengamatan bisa terhalang awan. Kini ada citra satelit yang menggunakan radar sehingga tidak terhadang awan.

RETNO SULISTYOWATI, PUTRI ADITYOWATI

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus