Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Devisa terus menurun akibat lesunya harga komoditas.
Pelemahan ekspor akan berlangsung hingga akhir tahun.
Kurs rupiah terancam terus melemah dan dampaknya akan sangat besar.
MASA jaya surplus devisa mulai surut. Selama kuartal II 2023, Indonesia mengalami defisit neraca transaksi berjalan. Artinya, devisa yang keluar karena transaksi barang dan jasa lebih besar ketimbang yang masuk. Ada defisit US$ 1,93 miliar. Sebagai perbandingan, di kuartal I 2023, kita masih menikmati surplus transaksi berjalan hingga US$ 2,98 miliar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kembali munculnya defisit neraca transaksi berjalan, setelah tujuh kuartal kita menikmati surplus, memang tak terelakkan. Sebab utamanya adalah penurunan harga berbagai komoditas ekspor Indonesia. Kelesuan ekonomi dunia, terutama Cina yang gagal pulih setelah terpukul pandemi Covid-19, membuat harga komoditas di pasar global terus melemah. Walhasil, penerimaan devisa hasil ekspor merosot. Selama kuartal II 2023, nilai ekspor Indonesia tercatat US$ 10,35 miliar, melorot 30,6 persen ketimbang perolehan di kuartal sebelumnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lemahnya penerimaan ekspor tampaknya masih akan berlanjut setidaknya hingga akhir tahun ini. Ekonomi Cina masih belum pulih karena berbagai masalah. Sementara itu, pemerintah Cina terlihat masih pelit menyuntikkan stimulus yang bisa membuat ekonomi bergerak lebih cepat. Walhasil, belum tampak kemungkinan harga komoditas bisa segera membal melonjak lagi karena lokomotif penggeraknya masih loyo.
Di sisi lain, ketika sektor riil sedang melemah, pasar finansial Indonesia tertekan arus pergerakan modal keluar. Selama kuartal II 2023, neraca finansial Indonesia mencatatkan aliran keluar devisa senilai minus US$ 4,97 miliar. Arus deras keluarnya devisa ini sangat kontras dibandingkan dengan kondisi kuartal I 2023 yang mencatatkan aliran masuk cukup besar, surplus US$ 3,68 miliar.
Di antara semua akun neraca finansial selama kuartal II 2023, hanya aliran investasi asing secara langsung yang masih mencatatkan surplus senilai US$ 3,3 miliar. Di neraca investasi portofolio, misalnya, terlihat para investor kembali memindahkan dana keluar dari Indonesia. Secara neto, ada dana senilai US$ 2,59 miliar yang hengkang.
Tren di pasar finansial dalam beberapa bulan ke depan sepertinya akan serupa dengan kecenderungan di sektor riil. Faktor yang berdampak negatif bagi Indonesia masih lebih dominan, yakni pergerakan bunga di negara-negara maju. The Federal Reserve, misalnya, belum akan menurunkan suku bunga meski inflasi di Amerika Serikat sudah mereda. Justru sebaliknya, pertumbuhan yang masih kencang di Amerika membuat para petinggi The Fed memberi isyarat masih ada kenaikan bunga lagi di tahun ini.
Seandainya bunga tidak naik pun tekanan belum bakal mereda. Sebab, secara umum bank-bank sentral negara-negara maju tampaknya masih akan mengadopsi kebijakan
bunga tinggi untuk sementara waktu. Para analis memprediksi The Fed baru akan menurunkan bunga di pertengahan 2024. Dus, bunga tinggi di pasar finansial global akan bertahan lebih lama. Para debitor Indonesia, termasuk pemerintah, harus menanggung beban bunga lebih tinggi jika menerbitkan obligasi.
Secara keseluruhan, defisit neraca transaksi berjalan ataupun transaksi finansial ini akhirnya tecermin pada neraca pembayaran Indonesia yang mencatatkan defisit senilai minus US$ 7,37 miliar. Ini sebabnya cadangan devisa Indonesia tergerus dan rupiah melemah. Kurs rupiah kini kembali berkisar 15.300 per dolar Amerika Serikat. Nilai tukar rupiah sudah jauh lebih lemah ketimbang asumsi pemerintah untuk anggaran 2023 yang hanya 14.800 per dolar Amerika. Selama defisit neraca pembayaran Indonesia terus berlanjut, tekanan terhadap rupiah belum akan mereda. Kursnya akan terus cenderung merosot.
Namun ada sepercik harapan. Biasanya masa kampanye pemilihan umum mengundang kembalinya dolar milik orang Indonesia yang disimpan di luar negeri dalam jumlah cukup signifikan. Ada kebutuhan besar untuk membiayai kampanye. Selain menambah pasokan dolar di dalam negeri sehingga mendorong kurs rupiah, masuknya dana ke sektor riil bisa menambah konsumsi masyarakat. Akan ada tambahan daya dorong pertumbuhan ekonomi. Namun dengan catatan: kompetisi di antara para calon berjalan seru, tapi kampanye tetap berlangsung dengan aman dan damai.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Akhir Masa Banjir Devisa "