Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Program 3 juta rumah yang digagas Presiden Prabowo Subianto digadang-gadang mampu mengatasi persoalan backlog perumahan.
Rencana induk program, termasuk sasaran penerima, dinilai menjadi hal yang harus dipersiapkan di awal.
Pelaksanaan program 3 juta rumah tanpa perencanaan yang matang berisiko menimbulkan persoalan.
KESENJANGAN antara ketersediaan dan kebutuhan hunian (backlog) masih menjadi pekerjaan rumah pemerintah. Untuk menjawab persoalan ini, Presiden Prabowo Subianto menginisiasi program 3 juta rumah per tahun. Presiden ke-8 RI ini membentuk Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman untuk merealisasi pembangunan 2 juta rumah di perdesaan dan 1 juta rumah di perkotaan bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Pada masa pemerintahan sebelumnya, urusan perumahan ditangani Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman Maruarar Sirait alias Ara sedang berbelanja masalah serta dukungan untuk merealisasi program 3 juta rumah. Salah satunya meminta lahan koruptor yang disita Kejaksaan Agung. Politikus Partai Gerindra ini mengatakan ada 200 hektare lahan sitaan di Banten yang bisa digunakan. Ia juga menyebutkan Kementerian Agraria dan Tata Ruang memberi dukungan 151 hektare lahan di Mojokerto, Jawa Timur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ara ingin program 3 juta rumah dikerjakan secara gotong-royong, termasuk dengan melibatkan perusahaan swasta. Konsep ini dimulai dalam proyek pertama yang ia resmikan pada Jumat, 1 November 2024. Proyek pembangunan 250 rumah itu digarap di lahan 2,5 hektare yang dihibahkan PT Bumi Samboro Sukses. Sedangkan pembangunannya dikerjakan PT Agung Sedayu Group, perusahaan milik konglomerat Sugianto Kusuma alias Aguan, dengan anggaran Rp 60 miliar.
Namun program 3 juta rumah per tahun dinilai belum bisa menyelesaikan persoalan backlog perumahan. Dosen tata kota Universitas Trisakti, Nirwono Joga, sangsi program tersebut bisa terealisasi. Ia mengkritik langkah Ara yang terburu-buru tanpa perencanaan matang.
Menurut Nirwono, Kementerian Perumahan semestinya mematangkan rencana induk sebelum berburu lahan dan pengusaha yang bersedia membangun rumah. Ia mengatakan konsep pembangunan 2 juta rumah di perdesaan dan 1 juta rumah di perkotaan harus diperjelas. Sebab, permasalahan di kota dan desa jelas berbeda. Pemerintah mesti memastikan kebutuhan masyarakat, lokasi, serta sasaran penerima program.
"Kalau membangun tanpa rencana dan penerimanya belum jelas, malah berpotensi menjadi hunian mangkrak tanpa penghuni," kata Nirwono, Rabu, 6 November 2024.
Nirwono mengatakan rencana induk diperlukan untuk menyamakan persepsi antara pemerintah pusat dan daerah. Ia menilai hal itu menjadi kunci keberhasilan program karena pemerintah daerah yang lebih memahami kebutuhan masyarakat. "Mumpung masih di awal, sebelum terlambat, siapkan rencana induk yang matang. Kalau tidak, bisa dipastikan gagal total," ujarnya.
Pengamat properti AS Property Advisory, Anton Sitorus, berpendapat serupa. Ia menyebutkan 3 juta rumah bukan angka sembarangan. Untuk mencapai target ini, pemerintah harus membangun setidaknya 8.000 unit per hari. Menurut dia, pemerintah harus lebih realistis, apalagi dengan anggaran cupet Kementerian Perumahan.
Pemerintahan sebelumnya memiliki Program Sejuta Rumah. Program tersebut dicanangkan Presiden Joko Widodo pada 2015. Jokowi menargetkan pembangunan sejuta rumah setiap tahun hingga 2030. Adapun berdasarkan data Kementerian PUPR, capaian Program Sejuta Rumah dari 2015 hingga 2023 mencapai 9,2 juta unit. Artinya, pemerintahan Jokowi membangun rata-rata 1,15 juta setahun rumah untuk program tersebut. Sedangkan Prabowo mencanangkan 3 juta rumah dalam setahun atau hampir tiga kali lipat dari realisasi Program Sejuta Rumah Jokowi.
Menurut Anton, upaya pemerintahan Prabowo menggandeng perusahaan swasta juga bukan hal yang menjanjikan. Musababnya, pengusaha bakal berorientasi pada bisnis dengan mencari keuntungan. "Lagi pula, urusan perumahan rakyat merupakan tanggung jawab pemerintah," ucapnya.
Alih-alih berpacu dengan target 3 juta rumah per tahun, menurut Anton, pemerintah sebaiknya membangun proyek percontohan. Ia mencontohkan Program Perumahan Nasional yang digarap pemerintahan Presiden Soeharto—yang menurut dia sudah terlihat hasil dan pemanfaatannya. "Membangun perumahan di 10 kota dengan lokasi dan target yang sudah jelas lebih baik daripada mengejar 3 juta tapi konsepnya masih ngawang," tuturnya.
Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman Maruarar Sirait (kanan) bersalaman dengan pendiri Agung Sedayu Group, Sugianto Kusuma alias Aguan, saat meresmikan pembangunan rumah gratis program tiga 3 rumah di Desa Sukawali, Kecamatan Pakuhaji, Kabupaten Tangerang, Banten, Jumat, 1 November 2024. ANTARA FOTO/Sulthony Hasanuddin
Peta Jalan 3 Juta Rumah Masih Disusun
Program 3 juta rumah sebenarnya mendapat dukungan dari Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi). Ketua Umum DPP Apersi Junaidi Abdillah optimistis program ini bisa menyelesaikan persoalan backlog perumahan yang saat ini tercatat sebesar 9,9 juta unit. Hanya, Junaidi mengaku belum diajak bekerja sama oleh pemerintah.
Padahal, menurut Junaidi, program itu sudah dinantikan masyarakat. "Ada yang menunda pembelian karena menunggu program rumah gratis," ujarnya. Karena itu, ia berharap pemerintah lekas menjelaskan program tersebut kepada masyarakat.
Direktur Jenderal Perumahan Kementerian PUPR Iwan Suprijanto mengatakan blueprint atau cetak biru program 3 juta rumah masih disusun. Kementerian masih berkonsolidasi untuk menerjemahkan janji politik Presiden Prabowo Subianto ke dalam struktur program. Namun ia memastikan konsep gotong-royong bakal diutamakan. Sebab, 3 juta rumah merupakan target besar.
"Blueprint kami susun sambil mencari bentuk yang tepat dengan melibatkan banyak pihak," kata Iwan ketika ditemui seusai rapat di Kementerian Koordinator Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan, Rabu malam, 6 November 2024.
Ihwal data penerima program, Iwan melanjutkan, pemerintah juga masih menyiapkan data yang lebih akurat. Selain menggunakan data Badan Pusat Statistik, Kementerian Perumahan bakal menggunakan data Registrasi Sosial Ekonomi (Regsosek) milik Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional. Selain itu, Kementerian Perumahan bakal mendorong pendataan oleh pemerintah daerah. "Dengan data akurat dan penerima bantuan tepat, potensi salah sasaran bisa dikurangi," katanya.
Iwan juga menjelaskan, program 3 juta rumah per tahun bukan sekadar program membangun hunian. Program ini juga mendorong skema-skema kemudahan mengakses pembiayaan perumahan, seperti fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP), untuk membantu masyarakat memiliki rumah.
Seiring dengan perencanaan yang belum jelas, Nirwono meminta pemerintah tidak terpaku pada target angka. Terlebih, anggaran Kementerian Perumahan pada 2025 hanya Rp 5 triliun. Nilainya turun dibanding anggaran Kementerian PUPR tahun ini yang mencapai Rp 14,3 triliun. "Apalagi namanya Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman, berarti tidak hanya membangun rumah," ucapnya.
Nirwono Joga menambahkan, backlog perumahan sudah menjadi persoalan tahunan. Menurut dia, tidak ada pihak yang mengharuskan 3 juta rumah sudah terbangun tahun depan. "Justru proses matang dan keseriusan pemerintah yang memberi masyarakat harapan," ujarnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo