Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Bayang-bayang Risiko Danantara

Didirikan untuk membuka peluang mendapat pinjaman, Danantara bisa membenamkan Indonesia dalam kubangan utang. Mitigasi risiko adalah kunci. 

10 November 2024 | 08.30 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DIBENTUKNYA Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara atau Danantara oleh Presiden Prabowo Subianto melahirkan pertanyaan: apakah perusahaan-perusahaan negara yang dipisah dari Kementerian Badan Usaha Milik Negara lalu bernaung di bawah lembaga baru itu akan menjadi lebih profesional, transparan, dan lepas dari intervensi politik? Atau bahaya baru justru mengancam: terlalu agresif mencari investasi dengan menggadaikan aset, Danantara bisa membenamkan Indonesia dalam kubangan utang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Digadang-gadang akan seperti Temasek, perusahaan investasi global milik Singapura, Danantara lebih mirip Khazanah, lembaga pengelola investasi Malaysia. Sementara Temasek menggunakan kelebihan dana pemerintah sebagai investasi yang menghasilkan imbal hasil besar, Khazanah menggunakan asetnya sebagai jaminan untuk mencari investasi. Dengan kata lain, Danantara adalah pemburu investor seperti Khazanah, bukan penginjeksi modal semacam Temasek.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada tahap awal, Danantara akan menaungi tujuh perusahaan terbesar negara, yakni Mandiri, BRI, PLN, Pertamina, BNI, Telkom, dan MIND ID dengan total aset Rp 8.886 triliun. Ditambah Indonesia Investment Authority, lembaga pengelola investasi milik negara, aset Danantara akan mencapai Rp 9.046 triliun. Kelak BUMN lain dan perusahaan dengan misi khusus di bawah Kementerian Keuangan seperti PT Sarana Multi Infrastruktur juga akan dihimpun di bawah Danantara sehingga total aset badan ini bisa lebih dari Rp 15 ribu triliun atau sekitar 75 persen produk domestik bruto (PDB) Indonesia.

Pemerintah memang sedang membutuhkan uang untuk membiayai pembangunan. Utang baru dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tak bisa diandalkan untuk menambal kekurangan belanja pemerintah yang harus membayar pokok dan bunga utang lama yang angkanya lebih besar. Memburu investasi dengan mengagunkan aset perusahaan di bawah Danantara tampak menjadi jalan keluar yang instan.

Yang patut diwaspadai: ketika kebutuhan dana segar mendesak, agresivitas Danantara menggunakan aset-aset tersebut untuk mencari duit justru mengundang malapetaka. Berutang lebih besar ketimbang nilai aset yang dimiliki (over-leveraged) punya risiko besar. Leverage yang kelewat tinggi mengurangi arus kas karena sebagian pendapatan harus dipakai untuk membayar bunga. Jika nilai aset menurun atau pendapatan tidak tercapai, over-leveraged akan menyulitkan pelunasan pinjaman—sesuatu yang bisa memicu penjualan aset, termasuk dengan cara “jual rugi”.

Pendirian Danantara juga merupakan cara tidak langsung pemerintah untuk membiayai program unggulan tanpa melalui Kementerian Keuangan. Langsung di bawah presiden, Danantara berpotensi dimobilisasi untuk membiayai program atau mungkin kepentingan politik Prabowo. 

Dari kacamata makro, Danantara juga bisa menjadi bumerang. Selama ini penghitungan rasio utang Indonesia terhadap PDB hanya menyertakan utang pemerintah tapi tanpa utang BUMN. Penghitungan seperti itu melahirkan rasa aman semu karena menganggap rasio utang masih di bawah 40 persen. Padahal, jika digabungkan, rasio utang pemerintah dan BUMN sudah melewati batas aman. Dalam perspektif ini, Danantara ibarat pupur pada wajah yang bopeng.

Danantara harus menggunakan pendekatan mikro dan makro sekaligus. Kementerian Keuangan harus secara signifikan dilibatkan terutama dalam hal mitigasi risiko. Praktik buruk yang selama ini dijalankan Kementerian BUMN, seperti menjadikan badan usaha pemerintah sapi perah, harus diakhiri. Bagi-bagi jabatan sebagai balas budi politik hanya akan melahirkan mismanajemen dan pemborosan. 

Tanpa mitigasi risiko yang saksama, Danantara hanya akan membawa kita ke jurang kebangkrutan.

Masuk untuk melanjutkan baca artikel iniBaca artikel ini secara gratis dengan masuk ke akun Tempo ID Anda.
  • Akses gratis ke artikel Freemium
  • Fitur dengarkan audio artikel
  • Fitur simpan artikel
  • Nawala harian Tempo
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus