Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Bagaimana Arca Singasari dan Borobudur Bisa Berada di Thailand?

Beberapa arca Singasari dan Borobudur kini berada di Thailand. Bisakah dipulangkan?

10 November 2024 | 08.30 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBUAH baliho berukuran medium dipasang di pagar depan Museum Nasional Bangkok. Siapa saja bisa melihat informasi pameran terbaru yang dipromosikan pemerintah Thailand pada pekan ini di situ. Terpampang di sana foto dua arca perunggu. Satu tampak berdiri dan satu yang lebih kecil jongkok dengan posisi anjali—mengatupkan kedua telapak tangan di atas kepala. Di situ tertulis “The Fine Arts Department cordially invites you to view the exhibition of the returned bronze statues from the Metropolitan Museum of Art, USA. Now displaying in the Lopburi Art Room”.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Museum Nasional Bangkok tengah merayakan kembalinya dua arca perunggu langka milik Thailand yang diselundupkan sindikat barang antik dan kemudian didonasikan Douglas Latchford ke Museum Seni Metropolitan, New York, Amerika Serikat. Latchford adalah pedagang barang seni dan kolektor asal Inggris serta penulis buku tentang arca-arca Kamboja. Desember tahun lalu, Museum Seni Metropolitan mengumumkan rencananya mengembalikan puluhan koleksi arca dari Thailand dan Kamboja yang dipasok Latchford.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Latchford diduga bagian dari jaringan sindikat jual-beli arca kuno Asia Tenggara ilegal. Pada 2019, pemerintah Amerika menyatakan dia terbukti mengorkestrasi penjualan arca-arca jarahan dari Kamboja ke pasar internasional. Latchford tidak hanya memasukkan arca-arca berharga itu ke Museum Seni Metropolitan, tapi juga ke museum-museum arkeologi besar lain di Amerika, Eropa, dan Australia.

Dua arca berumur kira-kira 1.000 tahun yang dikembalikan museum di New York itu kini diletakkan di vitrin di ruang Lopburi, Museum Nasional Bangkok. Ruang Lopburi menampilkan arca-arca dari kawasan Lopburi, Thailand, dari abad ke-7 hingga ke-13 yang sangat dipengaruhi estetika arca-arca Kamboja. Begitu memasuki ruangan itu, kita bisa melihat dua arca perunggu hasil repatriasi tersebut. Yang berdiri adalah arca Syiwa, setinggi kurang-lebih 129 sentimeter, yang dalam pameran itu disebut Golden Boy. Arca itu didapatkan dari ekskavasi di reruntuhan Prasat atau Candi Ban Yang di perbatasan Kamboja dan diselundupkan Latchford ke luar Thailand pada sekitar 1975. Yang bersimpuh disebut The Kneeling Lady. Kedua arca itu semula dipajang di Museum Seni Metropolitan selama 1998-2023.

Dari pameran ini dapat dilihat masalah repatriasi arca-arca tak hanya terjadi antara museum-museum Belanda dan Museum Nasional Indonesia. Makin banyak museum besar dunia yang sadar untuk mengembalikan koleksi mereka yang dianggap diperoleh tidak dengan semestinya, dari lewat penjarahan pemerintah kolonial hingga pembelian dari sindikat pedagang barang antik. Selain mengembalikan dua arca tersebut ke Museum Nasional Thailand, Museum Seni Metropolitan merepatriasi 14 arca kuno Kamboja kepada pemerintah Kamboja.

•••

IRONISNYA, tak jauh dari ruang Lopburi, terdapat ruang Jawa. Di situ dipamerkan belasan arca dari era Jawa Kuno yang indah dan langka yang didapatkan dari pemerintah kolonial Belanda. Begitu memasuki ruangan itu, kita langsung dapat melihat dari kejauhan arca Ganesha Singasari yang besar dan kukuh terpajang di bagian paling belakang. Arca itu tampak mencolok walau posisinya duduk.

Arca Singasari itu dan belasan arca Jawa lain bisa sampai ke Bangkok karena Raja Thailand Chulalongkorn pernah berkunjung ke Jawa dan diberi hadiah reca tersebut oleh pemerintah Hindia Belanda. Tiga kali Raja Chulalongkorn berkunjung ke Jawa, yaitu pada 1871, 1896, dan 1901. Dalam setiap kunjungan, ia memperoleh hadiah sangat banyak, terutama pada kunjungan kedua. Pada tahun itu, dia menjelajah ke Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dia dan permaisurinya bertemu dengan Sultan Yogyakarta Hamengku Buwono VII dan mengunjungi reruntuhan Prambanan pada 28 Juni 1896. Isaäc Groneman, ketua Archeologische Vereeniging, mengangkatnya sebagai anggota kehormatan lembaga arkeologi kolonial di Yogyakarta itu. Saat itu Groneman sedang bertugas mendata dan menyurvei reruntuhan situs-situs di Jawa Tengah.

Chulalongkorn meminta beberapa artefak dari Prambanan dan Borobudur serta candi lain, seperti Plaosan, sebagai cendera mata. Dengan persetujuan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Carel Herman Aart van der Wijck, ia sampai membawa delapan gerobak pedati berisi arca ke Bangkok.

Singa Borobudur di Museum Nasional Bangkok. Yessy Apriati (kiri). Siwa Parwati di Museum Nasional Bangkok. Yessy Apriati (kanan).

Pemberian cendera mata yang tak ternilai itu sempat memicu polemik di antara arkeolog Belanda. Beberapa tokoh arkeologi Belanda menyatakan penyesalan atas pemberian hadiah itu dan melayangkan keberatan. Apalagi Chulalongkorn hanya “menukar” hadiah itu dengan satu arca gajah putih yang sekarang dapat kita lihat terpasang di depan Museum Nasional Indonesia di Jakarta—yang membuat museum itu juga disebut Museum Gajah.

Tataplah arca Ganesha Singasari di Museum Nasional Bangkok itu. Ia tampak berwibawa dan mengeluarkan aura. Di samping kanan-kirinya dipamerkan pula arca Ganesha yang lebih kecil yang juga berasal dari Jawa. Sudah lebih dari seratus tahun “tiga gajah” ini berkelana di metropolis Bangkok.

Tahun lalu, arca Ganesha Singasari yang dikoleksi Rijksmuseum voor volkenkunde, Leiden, Belanda—bersama arca Durga, Mahakala, dan Nandiswara yang juga berasal dari Candi Singasari—sudah dikembalikan ke Museum Nasional Indonesia. Agaknya Singasari memproduksi banyak gaya ekspresi Ganesha.

Gaya Ganesha raksasa yang semula berada di Leiden dan yang disimpan di Bangkok ini sama. Mereka mengenakan Ardha Candra Kapala, mahkota bermotif bulan sabit bertengkorak; berperut buncit; gadingnya patah; dan salah satu tangannya memegang mangkuk. Belalainya mengisap sesuatu di cawan. Kedua Ganesha itu mengenakan kain bawah dengan motif batik. Lapik atau padmasana arca itu juga dihiasi tengkorak-tengkorak. Aksesori tengkorak juga terdapat di dadanya. Dalam keterangan di Ganesha Bangkok tertulis bahwa arca itu merupakan Ganesha bertangan empat. Namun, bila kita perhatikan, hanya dua tangan depan yang terlihat jelas. Penggambaran dua tangan belakang yang seharusnya memegang kapak dan aksamala kurang ditonjolkan. Adapun Ganesha Singasari dari Leiden jelas bertangan empat dan semua jemarinya terlihat.

Yang juga menjadi pembeda utama adalah kaki kanan Ganesha Leiden seperti dalam posisi ditekuk dengan lutut mengarah ke atas dan kaki kiri bersila ke arah dalam (posisi maharjalilasana). Dalam posisi kaki kanan setengah berjongkok demikian, lututnya menjadi menonjol. Sedangkan posisi Ganesha Bangkok lebih konvensional, yaitu posisi duduk utkutikasana—duduk dengan kaki terlipat dengan dua telapak kaki bertemu atau berhadapan. Posisi demikian adalah posisi Ganesha yang, karena perutnya buncit bagai seorang bayi, tidak bisa duduk bersila seperti orang dewasa.

Di samping arca-arca Ganesha itu, arca lain dari Jawa yang diekshibisikan di ruang Jawa Museum Nasional Bangkok cukup banyak dan mempesona. Ada arca Agastya atau Syiwa dalam bentuk mahaguru. Simaklah tatahannya yang berjiwa. Sesosok lelaki berjenggot yang memancarkan kebijaksanaan berdiri membawa kendi dengan dua murid bersila di samping kaki kanan-kirinya. Ada pula arca Durga Mahisasuramardini, yang berdiri dengan kaki rapat di atas punggung demon kerbau yang ditaklukkannya. Lalu arca Dwarapala atau penjaga serta arca Syiwa dengan ekspresi muka awas dan posisi torsonya agak menggeliat seolah-olah tengah bergerak menari. Selain itu, ada arca pasangan Syiwa dan Parwati serta arca Wisnu bertangan empat yang langka. Mata Wisnu terlihat nyalang.

Selanjutnya ada fragmen relief yang menggambarkan tujuh perempuan berderet yang diberi deskripsi sebagai relief yang melukiskan Sujata memberikan susu kepada Sidharta Gautama dan arca tiga penari Ilahi atau apsara dari Candi Prambanan. Di dalam ruang Jawa itu juga disajikan arca-arca dari Provinsi Surat Thani, Thailand, yang sangat dipengaruhi gaya Sriwijaya. Misalnya arca perunggu Bodhisattva Padmapani yang cukup besar. Meski kedua tangannya hilang dan yang utuh bagian badan saja, ekspresi mukanya demikian elok. Pahatan mata, hidung, dan bibirnya mencerminkan raut muka berpikir tajam.

Siwa di Museum Nasional Bangkok. Yessy Apriati (kiri). Tiga Apsara di Museum Nasional Bangkok. Yessy Apriati (kanan).

Artefak-artefak dari Borobudur terutama diletakkan di samping ruang Jawa di selasar kanan menuju tangga ke bawah. Di situ ada sepasang arca Singa dari Borobudur—yang satu kaki kanan depannya terangkat, satu lainnya kaki kiri depan yang terangkat. Lokasi asli sepasang arca singa ini adalah di tangga kiri Borobudur sebelah barat daya.

Pada 1926, menurut arkeolog Utami Ferdinandus dalam tulisannya, “Arca-arca dan Relief pada Masa Hindu Jawa di Museum Bangkok (Sebuah Dokumentasi Ikonografi)”, ahli sejarah di Batavia, Pieter Vincent van Stein Callenfels, mengirimkan seorang stafnya ke Bangkok untuk memotret kondisi arca-arca asal Jawa yang dibawa Raja Chulalongkorn. Sepasang arca singa dari Borobudur tersebut saat itu dipotret di halaman Wat Phra Keo (Kuil Istana Agung). Artinya, ada arca-arca Borobudur yang semula ditaruh di Wat Phra Keo yang kemudian dipindahkan ke Museum Nasional Bangkok. Namun masih ada arca-arca dari Borobudur yang tetap ditempatkan di Wat Phra Keo, seperti empat arca Dhyani Buddha dari dinding timur, selatan, barat, dan utara Borobudur.

Artefak Borobudur yang dipamerkan di Museum Nasional Bangkok yang juga bisa kita lihat antara lain stupa kecil, makara pada pancuran air Borobudur, dan kala dari Borobudur. Ada pula arca Dwarapala dengan sikap kaki ditekuk yang berasal dari bukit Dagi Borobudur.

•••

PAMERAN koleksi hasil repatriasi benda-benda cagar budaya dari Belanda tengah berlangsung di Museum Nasional Indonesia. Di antaranya arca Bhairawa (chakra-chakra) dan Nandi dari Singasari. Di tengah suksesnya pemulangan artefak-artefak Indonesia dari museum-museum Belanda, sampai sekarang belum pernah ada wacana oleh arkeolog Indonesia ataupun kementerian bidang pendidikan dan kebudayaan mengenai perlunya upaya diplomatik untuk merepatriasi arca-arca kita dari Museum Nasional Bangkok.

Sebaliknya, di tengah euforia pemulangan dua arca perunggunya yang berumur 1.000 tahun lebih dari Museum Seni Metropolitan di New York, tidak ada tanda-tanda Museum Nasional Bangkok membuka diskusi atau merenungkan ulang arca-arca Jawa yang dikoleksinya. Adakah karena status arca-arca itu adalah cendera mata pemerintah kolonial kepada Raja Siam sehingga kepemilikannya sah dan tidak bisa dibandingkan dengan koleksi arca kita di museum-museum Belanda yang merupakan jarahan?

Sebenarnya bukan tidak ada upaya untuk pemulangan itu. Di zaman kolonial, berkat upaya-upaya diplomatik P.V. van Stein Callenfels dan arkeolog George Cœdès, dua relief Ramayana dari Candi Brahma Prambanan dan satu relief Krisna dari Candi Wisnu Prambanan, menurut keterangan arkeolog Belanda, Roy Jordan, dalam sebuah tulisannya, dapat dipulangkan dan dipasang lagi dalam pemugaran Prambanan.

Pameran hasil repatriasi yang tengah berlangsung di Museum Nasional kini telah menampilkan arca-arca Singosari yang pernah “berkelana” di Belanda, yaitu Pradnya Paramita yang pada Januari 1978 sudah dikembalikan dari Leiden; Durga, Mahakala, Nandiswara, dan Ganesha yang tahun lalu diterbangkan dari Belanda ke Jakarta; serta Bhairawa dan Nandi yang tahun ini pulang plus arca Ganesha berdiri yang langka yang berasal dari kawasan Bromo. Hampir semua arca Singasari telah berkumpul kembali, tapi akan kian lengkap rasanya bila “reuni” keluarga arca itu ditambah dengan arca Singasari dari Bangkok.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Yang 'Tertinggal' di Bangkok"

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus