Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ekonomi

Laju Mandatory Solar Nabati

Pemerintah mempercepat program B30 pekan ini. Dibayangi terbatasnya pasokan metanol.

21 Desember 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Peluncuran mandatori biodiesel 30 dipercepat pada pekan ini untuk mengerem impor minyak.

  • Upaya menekan defisit transaksi berjalan dan menghadapi pembatasan impor CPO Uni Eropa.

  • Kilang TPPI dilirik produsen minyak sawit untuk produksi B100 (green fuel).

SUDAH tiga pekan ini alat berat, seperti truk, traktor, dan ekskavator, di wilayah kerja PT Bukit Asam (Persero) Tbk meminum biodiesel 30. Bahan bakar campuran dengan komposisi solar 70 persen dan 30 persen minyak nabati itu juga digelontorkan ke tangki lokomotif dan genset untuk menggerakkan gerbong sepur PT Kereta Api Indonesia (Persero). “Saat ini sedang dites penggunaannya,” ujar juru bicara PT KAI, Yuskal Setiawan, Rabu, 18 Desember lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Uji coba digeber lantaran pemerintah tak mau menunggu 2019 berlalu untuk menerapkan program kewajiban penggunaan atau mandatory B30. Sekretaris Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Halim Sari Wardana mengatakan kebijakan mandatory B30 akan diluncurkan mulai Senin pekan ini, 23 Desember, lebih cepat dari jadwal semula pada Januari 2020. Dengan begitu, kata Halim, Kementerian Energi bisa segera menguji seri B40, solar dengan 40 persen fatty acid methyl ester (FAME) yang dihasilkan dari produsen minyak sawit. “Nanti B40 secepatnya. Target setahun, akan kami kejar,” ucap Halim dalam diskusi “Indonesia Clean Energy Outlook 2020” di Jakarta, Selasa, 17 Desember lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pemerintah memang tengah mempercepat kewajiban penggunaan biodiesel. Pada September 2018, mandatory yang semula hanya untuk kendaraan atau mesin pelayanan umum (public service obligation/PSO) diperluas ke sektor non-PSO. Kebijakan ini untuk mengerem tingginya impor minyak, yang memicu defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) tahun lalu sempat melewati batas aman 3 persen terhadap produk domestik bruto.

Sepanjang empat bulan terakhir 2018, ketika percepatan dan perluasan B20 diterapkan, pemerintah menghitung penghematan devisa mencapai US$ 1,89 miliar atau sekitar Rp 26,67 triliun. Devisa yang dihemat dari program serupa tahun ini diperkirakan mencapai US$ 3,54 miliar atau setara dengan Rp 51,73 triliun. Adapun program B30 ditargetkan bisa menghemat devisa hasil pengurangan impor minyak hingga US$ 5,13 miliar atau sekitar Rp 74,93 triliun pada 2020.

Sebenarnya bukan hanya penghematan devisa tujuan utama mandatory biodiesel dipercepat. Dua pekerjaan rumah pemerintah lain hendak dibereskan lewat program ini. Pemerintah sedang berhadapan dengan keputusan Uni Eropa yang membatasi penggunaan minyak sawit setelah mengkategorikannya sebagai komoditas berisiko tinggi dalam alih fungsi lahan. Keputusan itu mengancam crude palm oil (CPO) yang selama ini menjadi penyumbang devisa ekspor terbesar Indonesia.

Kementerian Energi mengkalkulasi, implementasi mandatory B30 akan menyedot 9,6 juta kiloliter pasokan minyak nabati dari industri sawit sepanjang tahun depan. Angka ini meningkat dibandingkan dengan program B20 selama 2019, yang hanya 6,62 juta kiloliter. Kelak pemerintah menargetkan bisa menghasilkan B100, bahan bakar yang sepenuhnya dihasilkan dari minyak nabati.

•••

TOH, masalahnya tak selesai di situ. Berlimpahnya pasokan minyak sawit di Indonesia tak berarti proses pembuatan biodiesel menjadi murah. Direktur Bioenergi Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan Kementerian Energi Andriah Feby Misna menjelaskan, salah satu komponen yang dibutuhkan dalam proses produksi adalah metanol. “Ini yang kita masih impor,” ujarnya.

Senyawa itu dihasilkan pabrik petrokimia. Itu sebabnya, kini pada saat yang sama, pemerintah tengah mendorong industri petrokimia untuk bisa menyediakannya.

PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) di Tuban, Jawa Timur, salah satu yang didorong. Kilang TPPI sempat dianggap potensial memenuhi kebutuhan tersebut lantaran memiliki produk ekses berupa hidrogen sebesar 6-7 ton per jam. Senyawa yang harganya di pasar mencapai Rp 120 juta per ton ini dibutuhkan untuk hidrogenasi, proses yang diperlukan buat mengolah 100 persen CPO menjadi green fuel.


Kilang PT Trans Pacific Petrochemical Indotama di Tuban, Jawa Timur. /ANTARA/Widodo S. Jusuf

Adanya potensi ini pula yang membuat Kementerian Koordinator Perekonomian di era Menteri Darmin Nasution ingin kilang TPPI diintegrasikan dengan pabrik biodiesel. Rencana ini sempat diminati pengembang biodiesel Sinar Mas Group. Tapi, ketika ditanyakan mengenai hal ini pada 13 Desember lalu, Direktur PT Smart Tbk Harry Hanawi belum bisa menjelaskan detailnya. “Masih dalam tahap studi awal.”

Juru bicara PT Pertamina (Persero), Fajriyah Usman, membenarkan adanya ide dan saran agar biorefinery bisa dibangun di TPPI. Namun, sebagai pemilik mayoritas dan pengelola kilang TPPI, Pertamina justru menilai rencana itu tidak feasible. “Setelah dilakukan pengecekan dan kajian ulang, ketersediaan hidrogen ternyata tidak mencukupi untuk pembangunan kilang biorefinery,” kata Fajriyah.

•••

MESKI harus mengimpor metanol, program pengembangan biodiesel tetap melaju. Senin, 16 Desember lalu, Pertamina meneken kerja sama pengadaan FAME dengan 18 badan usaha bahan bakar nabati--sebagian besar grup produsen CPO--yang ditunjuk pemerintah. Kontrak kerja sama akan berlangsung setahun, mulai Januari hingga Desember 2020.

Badan usaha penyedia FAME itu antara lain PT Sinarmas Argo Resources and Technology, PT Sinarmas Bio Energy, PT Batara Elok Semesta Terpadu, PT LDC Indonesia, PT Tunas Baru Lampung, PT Ciliandra Perkasa, PT Darmex Biofuels, PT Bayas Biofuels, dan Kutai Refinery Nusantara. Selain itu, ada PT Cemerlang Energi Perkasa, PT Pelita Agung Agrindustri, PT Pertama Hijau Palm Oleo, PT Intibenua Perkasatama, PT Sukajadi Sawit Mekar, PT Musim Mas, PT Multi Nabati Sulawesi, PT Wilmar Bioenergi Indonesia, dan PT Wilmar Nabati Indonesia.

Direktur PT Smart Tbk Harry Hanawi menjamin Sinar Mas akan memasok FAME sesuai dengan alokasi yang sudah ditetapkan. Smart mengoptimalkan sawit dari perkebunan milik grup dan sekitarnya untuk memasok kilang perusahaan di Tarjun, Kalimantan Selatan, dan Marunda, Bekasi, Jawa Barat.

Adapun Pertamina menyiapkan 28 titik penerimaan FAME, antara lain di Medan, Dumai, Siak, Teluk Kabung, Plaju, Panjang, Tanjung Gerem, Balikpapan, Tuban, dan Balongan. Pencampuran B30 akan dilakukan di beberapa tempat, antara lain terminal bahan bakar Medan; kilang Plaju, Palembang; terminal terintegrasi Panjang, Bandar Lampung; terminal terintegrasi Jakarta Group; terminal bahan bakar Boyolali, Jawa Tengah; terminal bahan bakar Rewulu, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta; terminal terintegrasi Balikpapan; dan kilang Kasim, Sorong, Papua.

Menjelang pelaksanaan mandatory B30, uji penggunaan masih terus berlangsung pada alat berat pertambangan. PT Adaro Indonesia, misalnya, baru akan melaksanakannya pekan ini. “Kami sedang berkoordinasi dengan kontraktor dan pemerintah untuk melaksanakan trial B30 mulai pekan depan selama 2.500 jam,” ujar juru bicara Adaro, Febrianti Nadira, Kamis, 19 Desember lalu.

RETNO SULISTYOWATI, HENDARTYO HANGGI

 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus