Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
IMF memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia 2023 sebesar 2,2 persen.
Ekonomi negara-negara berkembang akan terpukul lebih keras.
Konsumsi domestik menjadi penyelamat ekonomi Indonesia.
INILAH perkiraan mutakhir tentang keadaan ekonomi dunia 2023, menurut terawangan Dana Moneter Internasional (IMF). Prediksi itu termaktub dalam World Economic Outlook (WEO) edisi April 2023. Secara umum, gambarannya sedikit lebih muram. IMF memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia sebesar 2,8 persen, di bawah prediksi 2,9 persen dalam WEO yang terbit pada Oktober 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Masalahnya, ekonomi global belum bisa lolos dari tekanan inflasi. Di banyak negara maju, pasar tenaga kerja masih amat ketat. Ongkos upah tinggi sehingga harga berbagai barang dan jasa tidak turun dengan cepat. Akibatnya, kendati bank sentral sudah menaikkan suku bunga berkali-kali, tetap saja inflasi masih tinggi. Itu salah satu alasan IMF menaikkan prediksi inflasi global 2023 dari 6,6 persen menjadi 7 persen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kendati inflasi masih menjadi persoalan serius, pandangan IMF tentang pertumbuhan ekonomi negara maju tetap positif, yaitu bertumbuh 1,3 persen. Angka ini relatif kecil, tapi masih sedikit lebih baik ketimbang prediksi pertumbuhan ekonomi dalam WEO edisi Oktober 2022 yang sebesar 1,2 persen. Sebaliknya, prediksi untuk negara berkembang justru memburuk, turun dari 4 persen menjadi 3,9 persen.
Ada banyak penyebab ekonomi negara berkembang akan terpukul lebih keras tahun ini. Salah satunya adalah perdagangan dunia yang lesu. Pertumbuhan volume perdagangan dunia diperkirakan melambat, dari 5,1 persen pada 2022 menjadi 2,4 persen tahun ini. Lesunya perdagangan dunia dapat mengurangi penerimaan ekspor negara berkembang yang ekonominya amat bergantung pada ekspor komoditas.
Untungnya, Indonesia akan menikmati pengecualian lantaran porsi ekspor pada produk domestik bruto (PDB) tidak terlalu dominan, yaitu masih di bawah 20 persen. Faktor pendorong ekonomi Indonesia sudah bergeser dari sektor eksternal menjadi sektor domestik. Penopang utama kinerja ekonomi Indonesia adalah basis pasar lokal yang kuat. Porsi konsumsi rumah tangga terhadap PDB masih lebih dari separuhnya, rata-rata sekitar 55 persen. Berakhirnya pandemi Covid-19 dan peningkatan mobilitas serta aktivitas ekonomi akan membuat konsumsi melonjak, lebih kuat mendorong pertumbuhan.
Faktor plus lain adalah laju inflasi di Indonesia yang relatif terkendali. Tren inflasi di Indonesia tahun ini diperkirakan tidak akan melampaui rentang target Bank Indonesia yang sebesar 2-4 persen. Meredanya inflasi membuat daya beli masyarakat terjaga. Tidak merosotnya daya beli pada gilirannya juga akan membantu mendorong konsumsi rumah tangga.
Belanja pemerintah, komponen lain yang cukup penting porsinya dalam PDB kita, pun cukup kuat. Sejak tahun lalu, rasio defisit anggaran negara terhadap PDB sudah di bawah 3 persen, sesuai dengan undang-undang. Defisit anggaran yang menggelembung amat besar di masa pandemi sudah bisa dikempiskan. Postur anggaran yang lebih sehat membuat pemerintah lebih leluasa memainkan kebijakan fiskal sebagai stimulus terhadap ekonomi bila situasi membutuhkan.
Selain itu, pemerintah memiliki cadangan dana berupa sisa lebih penggunaan anggaran yang cukup besar. Per akhir Februari 2023, nilainya Rp 314 triliun. Cadangan dana ini dapat menjadi tambahan amunisi yang cukup signifikan untuk mendorong pertumbuhan. Dengan catatan, pemerintah benar-benar menggunakannya untuk membiayai program-program yang memiliki daya ungkit besar bagi ekonomi, bukan buat mengongkosi proyek-proyek mercusuar apalagi membeli senjata impor.
Berbagai faktor positif itu membuat IMF tetap optimistis terhadap Indonesia. Ketika pertumbuhan negara berkembang lain melambat, IMF justru merevisi pertumbuhan ekonomi Indonesia ke atas, dari 4,8 persen menjadi 5 persen. Ini semua memang masih perkiraan. IMF sekalipun tentu bisa meleset dalam memprediksi. Bisa saja, misalnya, harga komoditas mendadak jatuh sangat tajam karena resesi ekonomi global benar-benar menggigit. Jika hal itu terjadi, dampaknya pada pertumbuhan ekonomi Indonesia tentu akan tetap terasa meskipun porsi ekspor terhadap PDB kita tidak terlalu dominan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo