Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Harga minyak mentah dunia kembali naik seiring dengan rencana embargo Uni Eropa terhadap Rusia.
Pemerintah berhadapan lagi dengan pilihan sulit menghadapi harga BBM.
Jalan tengah pun tak cukup untuk menyudahi masalah keuangan yang dihadapi Pertamina.
PEMERINTAH Indonesia makin terdesak harga minyak. Invasi Rusia di Ukraina, yang belum jelas ujungnya, membuat harga minyak dunia terus bergejolak. Setelah sempat merunduk ke level US$ 98 per barel pada awal pekan lalu, harga minyak Brent, yang menjadi patokan internasional, menanjak lagi melampaui US$ 111 per barel pada Jumat, 15 April lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah satu modal utama Rusia untuk membiayai invasi militer di Ukraina adalah penghasilan dari ekspor minyak. Produksi minyak Rusia ketiga terbesar di dunia setelah Arab Saudi dan Amerika Serikat. Ekspornya 5 juta barel per hari, separuh di antaranya mengalir ke negara-negara Eropa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Inilah yang membuat negara-negara Uni Eropa masih setengah hati memberi sanksi pada Rusia. Jerman, misalnya, yang sekitar sepertiga kebutuhan minyaknya berasal dari Rusia. Maka, berbicara soal embargo energi asal Rusia, negara-negara Eropa baru berani menyetop batu bara. Sejauh ini minyak dan gas dari ladang-ladang Rusia masih mengalir lancar.
Namun, demi memperkuat tekanan terhadap Rusia agar menghentikan agresi, negara-negara Eropa kini sudah menyusun rencana lebih konkret untuk menyetop impor minyak asal Rusia. Inilah yang membuat harga Brent terbang kembali akhir pekan lalu.
Rencana embargo ini belum terlaksana karena negara-negara Eropa masih menunggu putaran kedua pemilihan Presiden Prancis, 24 April nanti. Pertimbangannya, jika embargo berlaku sebelum pemilihan, harga bahan bakar minyak di Prancis bakal melambung sekaligus merugikan Emmanuel Macron sebagai calon inkumben. Selain itu, Jerman membutuhkan waktu untuk bersiap-siap mengupayakan pasokan minyak pengganti.
Jika embargo ini akhirnya berlaku kelak, sudah pasti harga minyak terbang makin tinggi. Inilah efek buruk perang yang juga akan memukul perekonomian Indonesia. Pemerintah akan makin terdesak pilihan sulit. Apakah pemerintah akan terus menanggung kenaikan harga minyak dengan memberikan subsidi sembari meminta PT Pertamina (Persero) menanggung sebagian besar kerugian? Atau, alternatifnya, menaikkan harga BBM?
Hingga sekarang, pemerintah masih mati-matian bertahan pada pilihan pertama. Akibatnya, Pertamina makin tercekik kerugian. Harga jual BBM di dalam negeri makin jauh di bawah harga pokoknya. Terakhir, per 1 April lalu, pemerintah hanya mengizinkan Pertamina menaikkan harga jual Pertamax. Setelah kenaikan itu pun harga baru Pertamax masih jauh di bawah harga pokoknya. Saat ini Pertamina masih menanggung defisit arus kas dari operasi sekitar US$ 1 miliar per bulan.
Ada pula beban keuangan Pertamina di luar kenaikan harga minyak. Awal Mei nanti, Pertamina harus melunasi pembayaran obligasi dalam dolar Amerika Serikat yang jatuh tempo. Obligasi terbitan 2012 ini senilai US$ 1,25 miliar. Tentu, pemerintah tak mungkin membiarkan Pertamina mengemplang kewajiban ini. Jika sampai terjadi default pada Pertamina, dampaknya bisa berentet sangat panjang. Bukan cuma peringkat utang Pertamina yang jeblok, peringkat utang Indonesia bisa ikut terseret.
Merosotnya peringkat utang adalah malapetaka yang dampaknya berlangsung dalam jangka amat panjang. Jika ada entitas asal Indonesia, pemerintah ataupun korporasi, yang ingin berutang, pasar akan meminta bunga lebih besar. Tambahan biaya berutang itu akan terus menekan hingga kelak peringkat utang Indonesia bisa membaik lagi.
Agar Pertamina tak terperosok lubang gagal bayar, ada satu solusi sementara. Hingga pertengahan April, Pertamina masih mempunyai tagihan kepada pemerintah senilai Rp 91 triliun yang belum terbayar. Ini tunggakan pemerintah untuk pembayaran subsidi dan kompensasi sejak 2019. Jika pemerintah mampu menyelesaikan tunggakan itu, defisit arus kas Pertamina bisa mengendur. Tapi ini pun sekadar menyambung napas dalam hitungan bulan. Selama Pertamina masih harus menjual BBM dengan merugi, defisit perseroan akan terus bertambah.
Maka jalan keluar paling rasional secara ekonomi adalah menaikkan harga BBM. Tapi, secara politis, menaikkan harga BBM adalah kebijakan paling tidak populer di negeri ini. Sedapat mungkin Presiden Joko Widodo akan berupaya menghindarinya. Masalahnya, akan segera tiba waktunya bahwa keputusan itu tak mungkin terelakkan lagi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo