Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Formulasi atau format subsidi energi tepat sasaran untuk BBM dan listrik ditargetkan rampung dalam waktu satu pekan, terhitung pada 4 November 2024.
Skema penyaluran subsidi BBM lewat BLT dinilai bisa menutup kebocoran yang selama ini terjadi.
Subsidi energi dengan skema BLT bisa berdampak buruk jika tak menyentuh masyarakat yang membutuhkan.
KETUA Tim Penggodok Kebijakan Subsidi Energi Bahlil Lahadalia mengumpulkan sejumlah menteri kabinet Merah Putih Prabowo Subianto di gedung Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral pada Senin pagi, 4 November 2024. Rapat Koordinasi Subsidi Energi itu dihadiri Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Menteri Koordinator Pemberdayaan Masyarakat Muhaimin Iskandar, Menteri Sosial Saifullah Yusuf, dan Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita.
Salah satu kesimpulan sementara dalam rapat tersebut adalah skema pemberian subsidi elpiji 3 kilogram diusulkan untuk tetap dilanjutkan. Sedangkan metode penyaluran subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan listrik masih akan dikaji. Pengkajian dilakukan untuk menekan penyaluran subsidi yang salah sasaran.
Bahlil mengatakan pemerintah mempertimbangkan opsi skema penyaluran subsidi berbasis bantuan langsung tunai (BLT). Namun pemerintah akan tetap mencari skema lain dalam menyalurkan subsidi ini. “Akan diputuskan nanti. Opsinya lebih mengerucut ke sana (BLT),” kata dia. Formulasi atau format subsidi tepat sasaran untuk BBM dan listrik ditargetkan rampung dalam waktu satu pekan, terhitung pada 4 November 2024, atau pekan depan.
Selama ini subsidi energi, seperti BBM dan elpiji, kerap tak diterima masyarakat yang membutuhkan. Prabowo pun menunjuk Bahlil untuk memimpin tim khusus yang akan menangani masalah subsidi ini. Pada 2024, misalnya, dari total alokasi subsidi dan kompensasi energi sebesar Rp 435 triliun, sebanyak Rp 100 triliun diperkirakan tidak tepat sasaran.
Pada 2022, Kementerian Keuangan mengungkapkan data soal penyaluran subsidi energi yang salah sasaran. Menurut Kementerian Keuangan yang mengutip data Badan Pusat Statistik, sebanyak 89 persen subsidi solar dinikmati dunia usaha dan hanya 11 persen yang dirasakan kalangan rumah tangga. Dari seluruh rumah tangga yang menikmatinya, 95 persen merupakan rumah tangga mampu. Rumah tangga miskin, seperti petani dan nelayan, cuma menikmati 5 persennya. Dari total Rp 143 triliun anggaran subsidi solar, sebesar Rp 127 triliun dimanfaatkan orang kaya dan dunia usaha.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Begitu pula dengan Pertalite. Sebanyak 80 persen dinikmati rumah tangga mampu dan hanya 20 persen dirasakan rumah tangga miskin. Adapun elpiji 3 kilogram untuk masyarakat tidak mampu, sebanyak 68 persen dinikmati masyarakat mampu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tahun depan, anggaran subsidi pada pemerintahan Prabowo mencapai Rp 307 triliun. Jumlah ini meliputi subsidi energi sebesar Rp 203,4 triliun dan nonenergi Rp 104,6 triliun.
Pemerintah mengalokasikan subsidi BBM dan elpiji sebesar Rp 113,6 triliun dengan volume 8,2 juta metrik ton dan 19,41 juta kiloliter. Sementara itu, subsidi untuk solar sebesar Rp 1.000 per liter dengan volume 18,89 juta kiloliter.
Antrean pengendara kendaraan bermotor yang hendak mengisi bahan bakar minyak (BBM) di sebuah SPBU di Jakarta. TEMPO/Subekti
Pengajar di Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi, mengatakan kebocoran subsidi energi kerap terjadi karena tak ada sanksi bagi masyarakat yang menyelewengkan bantuan negara ini. “Siapa pun bisa membeli tanpa sanksi. Rp 100 triliun itu seharusnya bisa digunakan untuk yang lain,” katanya, Rabu, 6 November 2024.
Rencana pemerintah mengatasi subsidi energi yang salah sasaran dengan skema BLT dianggap tepat. Fahmy mengatakan penyaluran subsidi selama ini yang langsung ke komoditas dengan menurunkan harga memang harus diubah. Dia mengistilahkan perubahan dari subsidi by product menjadi by target.
Menurut Fahmy, skema penyaluran subsidi BBM lewat BLT bisa menutup kebocoran yang selama ini terjadi. “Itu relatif tepat sasaran karena akan diberikan ke orang per orang yang memang membutuhkan,” katanya.
Namun penyaluran subsidi energi ke penerima langsung mesti dirancang serius. Fahmy mengatakan pemerintah harus bisa menyelaraskan data antar-kementerian dan lembaga ihwal siapa saja yang berhak menerima subsidi energi lewat BLT. Misalnya, pemerintah bisa memanfaatkan data penerima BLT di Kementerian Sosial dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) yang selama ini sudah digunakan.
Data bantuan sosial pernah menjadi sorotan sejumlah lembaga lantaran tak akurat. Pada 2020, Badan Pemeriksa Keuangan menemukan 10,9 juta data nomor induk kependudukan (NIK) dan 16,3 juta kartu keluarga dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang tidak valid. DTKS merupakan basis data untuk penyaluran bansos. Pada tahun yang sama, Komisi Pemberantasan Korupsi menemukan 97,2 juta serta 16,7 juta data di DTKS yang tidak padan dengan data NIK pada data kependudukan dan pencatatan sipil.
Bappenas mencatat rata-rata akurasi penyaluran bansos pada 2022 hanya 44,7 persen. Pada 2024, Bappenas mencatat sekitar 46 persen penerima bansos tidak tepat sasaran akibat exclusion dan inclusion error. Exclusion error adalah kesalahan data akibat tidak memasukkan rumah tangga miskin yang seharusnya mendapat bantuan ke dalam data. Sedangkan inclusion error terjadi ketika data rumah tangga tidak miskin justru masuk ke basis data.
Menurut Fahmy, tanpa data yang akurat dan anyar, penyaluran subsidi BBM akan seperti memutar lagu lama: salah sasaran. “By target relatif tetap sasaran. Syaratnya datanya harus valid dan terus diperbarui,” katanya.
Fahmy mewanti-wanti penyaluran subsidi energi dengan skema BLT bisa berdampak buruk jika tak menyentuh masyarakat yang membutuhkan. Alasannya, jika masyarakat yang berhak menerima bantuan justru tidak mendapatkannya, hal itu bakal menurunkan daya beli mereka.
Fahmy mencontohkan, jika ada sopir angkutan barang tak menerima subsidi, hal itu akan berakibat pada kenaikan harga bahan pokok. Kondisi ini merupakan buntut naiknya biaya transportasi yang tak mendapat subsidi. “Ini yang menyulut inflasi,” katanya.
Bongkar-muat tabung gas elpiji 3 kilogram subsidi di Bandung, Jawa Barat, April 2024. TEMPO/Prima Mulia
Pendapat peneliti Next Policy, Shofie Azzahrah, setali tiga uang. Menurut dia, jika subsidi energi lewat skema BLT ini masih tak tepat sasaran, hal itu akan berdampak pada industri serta usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Tanpa subsidi energi yang seharusnya diterima, biaya produksi dan pengoperasian UMKM akan membengkak. Harga produk mereka pun bisa turut melambung.
Selama ini penyaluran bantuan sosial kerap bermasalah. Dalam dokumen Ikhtisar hasil Pemeriksaan (IPH) semester II-2023, Badan Pemeriksa Keuangan menemukan adanya kekurangan penerimaan negara atas saldo bansos yang belum disetor ke kas negara sebesar Rp 227,43 miliar.
Hasil audit BPK sepanjang 2022 sampai semester I-2023 itu menunjukkan adanya saldo bansos Program Keluarga Harapan (PKH) senilai Rp 208 miliar untuk 365.023 keluarga penerima manfaat (KPM) yang tidak bertransaksi. Ada pula dana bansos program Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) senilai Rp 18,91 miliar tak sampai ke tangan 71.779 keluarga papa.
Adapun ekonom dan pengamat kebijakan publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, meminta Prabowo berhati-hati bila memutuskan mengubah skema subsidi BBM menjadi lewat BLT. Menurut dia, perubahan skema ini memang terlihat sebagai langkah progresif untuk mewujudkan subsidi tepat sasaran, tapi mengandung banyak masalah.
“Tidak semua masyarakat miskin terdaftar atau memiliki akses mudah terhadap sistem bantuan tunai sehingga berpotensi menciptakan ketimpangan dan ketidakadilan baru,” kata Achmad.
Selain itu, menurut Achmad, bantuan dalam bentuk BLT umumnya merupakan bantuan sementara dan jangka pendek. Artinya, skema ini tidak menjamin solusi jangka panjang untuk menghadapi kenaikan harga berkelanjutan.
Menurut dia, BLT juga rentan terhadap inflasi. Begitu harga barang pokok naik, daya beli bantuan tersebut malah turun. Walhasil, pemerintah mau tidak mau meningkatkan nominal bantuan agar tetap relevan. Dampaknya, beban fiskal berpotensi menjadi lebih besar.
Menteri Sosial Saifullah Yusuf mengatakan saat ini institusinya sedang mengkonsolidasikan data dengan kementerian lain untuk menyiapkan skema subsidi energi agar tepat sasaran. Pria yang akrab disapa Gus Ipul itu mengatakan konsolidasi data ini juga merupakan bagian dari rencana pemerintah membuat data tunggal yang akan menjadi pedoman pengambilan kebijakan.
Dari data tunggal itu, Gus Ipul berharap manfaat subsidi akan diterima masyarakat sesuai dengan peruntukannya. "Dalam beberapa waktu ke depan, mudah-mudahan bisa terwujud data tunggal itu dan berdasarkan itu kita bekerja," kata Gus Ipul seperti dikutip Antara, Rabu kemarin.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Vedro Imanuel G. berkontribusi dalam penulisan artikel ini