Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Tingkat inflasi Amerika Serikat per akhir Oktober 2023 menurun.
Pasar optimistis bunga The Fed akan segera turun.
Surplus perdagangan yang menurun membuat rupiah tetap lemah.
SENTIMEN positif mendominasi pasar finansial global setelah data inflasi di Amerika Serikat terbit, Selasa, 14 November lalu. Tingkat inflasi tahunan Amerika per akhir Oktober 2023 hanya 3,2 persen, turun dari 3,7 persen sebulan sebelumnya. Penurunan yang relatif cepat ini langsung mendorong optimisme dan ekspektasi bahwa bank sentral, The Federal Reserve, akan menurunkan bunga lebih cepat pada tahun depan, tak harus menunggu lama. Angka inflasi sudah kian mendekati target The Fed, rata-rata 2 persen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Merespons penurunan itu, indeks saham S&P 500 yang merupakan patokan penting di bursa New York, Amerika Serikat, naik 1,9 persen dalam sehari. Ini adalah lonjakan terbesar dalam sehari sejak April lalu. Imbal hasil obligasi dua tahun terbitan pemerintah Amerika yang sensitif pada pergerakan bunga langsung merosot 0,21 persen. Turunnya imbal hasil berarti naiknya harga. Investor obligasi yang beberapa bulan terakhir tertekan dan tak berdaya melihat harganya yang terus merosot pun lega.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Indeks Dolar yang merefleksikan nilai dolar Amerika Serikat terhadap enam mata uang utama dunia ikut turun 1,5 persen dalam sehari. Rupiah pun menikmati imbas positif. Rabu, 15 November lalu, nilai rupiah di Jakarta Interbank Spot Dollar Rate, kurs patokan harian yang diterbitkan Bank Indonesia, menyentuh level 15.503 per dolar Amerika. Rupiah menguat 1,2 persen ketimbang sehari sebelumnya.
Di tengah euforia ini, ada salah satu tokoh penting yang menilai respons pasar sudah berlebihan. Jamie Dimon, Kepala Eksekutif JPMorgan Chase, salah satu bank investasi utama di New York, menyatakan inflasi tak akan pergi begitu cepat. Walhasil, The Fed masih harus bertindak lebih jauh untuk menurunkan harga. Dimon menyampaikan pandangan itu saat diwawancarai Bloomberg.
The Fed sendiri mengirim sinyal serupa: tidak akan bertindak tergesa-gesa menurunkan suku bunga. Jangankan sudah memikirkan penurunan bunga, The Fed bahkan masih belum berani menyingkirkan kemungkinan harus menaikkan bunga lagi untuk meredam inflasi. Itulah pesan Presiden Federal Reserve Bank San Francisco Mary Daly dalam wawancara dengan The Financial Times.
Begitulah. Perdebatan serius tentang arah kebijakan moneter The Fed dengan cepat kembali mendominasi agenda para analis. Pertanyaan kuncinya: benarkah siklus pengetatan kebijakan moneter The Fed sudah berakhir? Apakah suku bunga The Fed akan turun lebih cepat tahun depan ketimbang perkiraan sebelumnya? Jawaban atas dua pertanyaan ini akan menjadi pedoman pergerakan pasar finansial pada pekan-pekan mendatang.
Bagi sebagian orang awam di Indonesia, isu ini memang terasa terlalu nun jauh di sana. Namun inilah konsekuensi dominasi dolar Amerika Serikat dalam sistem finansial global. Kebijakan para petinggi The Fed akan langsung mempengaruhi kehidupan sehari-hari warga Indonesia melalui naik-turunnya kurs rupiah. Jika betul The Fed lebih cepat menurunkan bunga, kurs rupiah terhadap dolar Amerika akan lebih cepat menguat, begitu pula sebaliknya.
Masalahnya, ekonomi Indonesia saat ini tak cukup berdaya untuk mengurangi ketergantungan itu. Sebab, beberapa faktor fundamental, di luar penurunan bunga The Fed, yang semestinya bisa menjadi penguat rupiah juga sedang menurun.
Aliran masuk devisa dari neraca perdagangan, misalnya, memang masih surplus. Kondisi ini sudah berlangsung 42 bulan berturut-turut sejak Mei 2020. Sepintas situasinya baik-baik saja. Namun, jika diteliti lebih dalam, ada sinyal negatif yang muncul dari angka itu. Surplus perdagangan terus berkurang sejalan dengan penurunan harga komoditas karena merosotnya jumlah permintaan pasar dunia.
Selama sepuluh bulan 2023, surplus devisa yang masuk dari neraca ekspor-impor Indonesia sebesar US$ 31,22 miliar. Ada penurunan 31,23 persen ketimbang surplus pada periode yang sama 2022 yang mencapai US$ 45,4 miliar. Makin kecil surplus perdagangan, makin tipis benteng pertahanan rupiah dalam menghadapi gejolak pasar finansial global. Kita akhirnya cuma bisa berharap Jamie Dimon dan Mary Daly keliru: The Fed akan lebih cepat menurunkan bunga agar pertahanan rupiah tidak runtuh tahun depan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Gelap-Terang Nasib Rupiah"