Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PUKUL sepuluh pagi, terminal roll-on/roll-off alias ro-ro Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, semestinya supersibuk. Alat berat biasanya mondar-mandir melakukan bongkar-muat kontainer. Tapi Rabu pagi pekan lalu, kendati bongkar-muat barang masih berjalan, truk yang telah terisi barang tak bergerak meninggalkan pelabuhan.
Aktivitas di Tanjung Perak praktis mandek. Keramaian malah terlihat di gerbang masuk menuju terminal. Puluhan truk diparkir berderet di tepi jalan, sementara sopirnya berkerumun tak jauh dari kendaraan. Ketua Masyarakat Maritim Lukman Ladjoni mengatakan sopir 7.396 unit truk dan trailer melakukan mogok massal. Mereka menolak Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1 Tahun 2013 tentang Pengendalian Penggunaan Bahan Bakar Minyak.
Ketua Organda Jawa Timur Mustofa mengatakan aksi mogok dipicu pengumuman yang ditempel di semua stasiun pengisian bahan bakar umum sejak 1 Maret lalu. Woro-woro dalam bentuk stiker itu melarang truk atau trailer pengangkut batu bara dan kayu balok menggunakan minyak bersubsidi.
Para sopir resah. Mereka menyampaikan keberatan kepada Dinas Energi, juga ke Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Gubernur Jawa Timur, kata Mustofa, sempat menyampaikan keberatan tersebut kepada Menteri Energi. "Karena tak kunjung ada respons, para sopir menggelar aksi mogok pada 20 Maret lalu."
Pemerintah memang ingin menekan penggunaan BBM bersubsidi agar tak melampaui kuota dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2013 sebesar 46 juta kiloliter. Targetnya bisa menekan konsumsi 1,2 juta kiloliter. Caranya dengan melarang penggunaan bensin dan solar bersubsidi oleh kendaraan dinas, angkutan pertambangan, angkutan kehutanan, angkutan perkebunan, serta kapal barang nonperintis dan nonpelayaran rakyat.
Tahun lalu pembatasan terhadap kendaraan dinas di Jawa dan Bali serta kendaraan perkebunan dan pertambangan cuma menekan konsumsi 350 ribu kiloliter. Tahun ini larangan diperluas bertahap ke Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Riau, dan Bangka-Belitung.
Para sopir menanggapi kebijakan tersebut dengan mengancam akan melakukan mogok nasional pada 1 April nanti. Khawatir dengan ancaman itu, Kementerian Energi menggelar jumpa pers dua kali pada Rabu pekan lalu. Pada pagi hari, muncul Direktur Jenderal Minyak dan Gas Edy Hermantoro bersama Kepala Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) Andy Noorsaman Sommeng dan Sekretaris Jenderal DPP Organda Andriansyah.
Edy menjelaskan, ketentuan baru tersebut melengkapi aturan sebelumnya yang telah membatasi penggunaan bahan bakar bersubsidi bagi kendaraan dinas, sektor pertambangan, dan perkebunan. "Sekarang ditambah sektor kehutanan dan transportasi laut." Itu pun, Edy menambahkan, cuma berlaku di hulu pertambangan, perkebunan, dan kehutanan. Kendaraan distribusi di pelabuhan alias kendaraan angkutan barang masih boleh menenggak solar dan bensin bersubsidi.
Sorenya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik kembali memberi penjelasan lewat media. Ia menegaskan, tidak ada larangan penggunaan minyak bersubsidi bagi mobil pengangkut barang di pelabuhan.
Menteri mengetahui kebijakannya diprotes karena truk besar tidak bisa lagi mengisi solar di pompa bensin yang ada di Pelabuhan Tanjung Perak. Para pengusaha dan sopir angkutan barang meminta pelaksanaan peraturan ditunda atau direvisi. Semula Jero mengira ada yang keliru dengan peraturan yang diterbitkan. Namun, setelah dikaji, ia yakin Peraturan Menteri ESDM Nomor 1 Tahun 2013 tidak salah.
Ketentuan baru itu menyebutkan mobil barang dengan jumlah roda lebih dari empat untuk pengangkutan hasil perkebunan, pertambangan, dan kehutanan dilarang menggunakan solar bersubsidi, sejak 1 Maret 2013. Jero memastikan aturan ini hanya berlaku di perkebunan, pertambangan, dan kehutanan.
Di Surabaya juga digeber rapat bersama antara Organda, perwakilan Kementerian Energi, BPH Migas, Kepala Dinas Energi Jawa Timur, dan Kepala Dinas Perhubungan Jawa Timur. "Ini salah paham," kata Ketua DPC Khusus Organda Tanjung Perak Kody Fredy Lamahayu.
"Kami sudah menemukan masalahnya," ujar Jero setelah berkomunikasi dengan Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Karen Agustiawan serta Direktur Pemasaran dan Niaga Hanung Budya. Penyebabnya, Pertamina tidak memasok solar bersubsidi untuk angkutan transportasi industri lantaran mengacu pada surat edaran BPH Migas.
Surat edaran Kepala BPH Migas Nomor 613/07/Ka/BPH Migas/11/2010 itu mengatur penggunaan Premium dan solar nonsubsidi untuk transportasi. Di Jawa Timur peraturan itu diterjemahkan, mulai 1 Maret truk pengangkut di pelabuhan tidak boleh menggunakan solar bersubsidi. "Penerjemahan itu keliru."
Anggota Komite BPH Migas, Ibrahim Hasyim, menjelaskan, semangat surat edaran itu untuk membatasi penggunaan BBM bersubsidi. Masalahnya, bagaimana mengklasifikasi truk yang memiliki empat ban dan truk dengan enam ban atau lebih. Khusus truk pengangkut bahan kebutuhan pokok, memang ada pengecualian.
Asisten Manajer Hubungan Eksternal Pertamina Jawa-Nusa-Bali Eviyanti Rofraida memastikan tak ada salah penafsiran terhadap Peraturan Menteri ESDM Nomor 1 Tahun 2013. Pertamina, kata dia, merujuk pada Surat Edaran BPH Migas. Butir 3 surat edaran Nomor 613 Tahun 2010 menyebutkan, transportasi angkutan darat atau alat berat untuk menunjang industri baja, rokok, pertambangan seperti batu bara, pasir, pembangkit listrik, kehutanan, serta perkebunan yang bukan usaha kecil dan konsumsi tak boleh menggunakan minyak bersubsidi.
"Kami hanya merujuk ke surat yang juga menjadi dasar verifikasi BPK dalam proses audit. Tidak ada salah interpretasi. Di peraturan menteri juga tidak ada perbedaan," kata Eviyanti, Kamis pekan lalu. Ia menambahkan, dalam surat edaran BPH Migas dan Peraturan Menteri ESDM tidak ada pembedaan antara transportasi di hulu dan hilir. Pengendalian BBM bersubsidi diberlakukan berdasarkan jenis barang yang diangkut.
Toh, Jero menyatakan surat edaran BPH Migas kepada Pertamina batal demi hukum. Kepala BPH Migas diminta mencabut surat itu, Rabu pekan lalu. Dengan demikian, ujar Jero, Peraturan Menteri ESDM Nomor 1 Tahun 2013 tidak perlu direvisi. Dan Pertamina bisa memasok solar bersubsidi kembali ke Pelabuhan Tanjung Perak.
SEJAM lebih Nampo bersabar di balik setir truknya. Ia berada di urutan kedua dari belakang dalam antrean belasan truk di SPBU di Kecamatan Sambutan, Samarinda, Kalimantan Timur. Pria 45 tahun itu masih berharap kebagian solar. "Cuma di sini yang masih melayani truk ban enam," kata Nampo, Kamis pekan lalu.
Truk Nampo mengangkut barang produk PT Unilever dari Samarinda menuju Kabupaten Berau. Ia memang melayani jasa penyewaan truk. Tak hanya oleh Unilever, truknya kerap disewa oleh perusahaan perkebunan untuk mengangkut hasil panen.
Masalahnya, untuk melaju ke Berau, truknya tak cukup hanya minum solar satu tangki. Maka ia selalu membawa cadangan empat jeriken ukuran 30 liter. Saat balik ke Samarinda, ia harus memenuhi kembali tangki solarnya di Berau.
Program pengendalian BBM bersubsidi yang digencarkan pemerintah belakangan ini membuat Nampo harus berburu solar. Ia sempat mampir ke dua SPBU lain, yakni di Jalan Urip Sumoharjo, Kehewanan, dan di Jalan P.M. Noor. Hasilnya nihil. Stok BBM di kedua pompa bensin itu ludes.
Kalaupun stok masih ada, percuma juga buat Nampo. Truknya dilarang mengisi solar di pompa bensin ini. "Biasanya di sana juga melayani truk. Tapi sekarang tidak lagi," ujarnya. SPBU di Jalan P.M. Noor, Samarinda, juga tampak lengang. Biasanya antrean truk roda enam atau lebih mengular di sini.
Bukan hanya truk milik perorangan, kendaraan operasional tambang batu bara di Samarinda sering antre pula di pompa bensin. Termasuk kendaraan operasional seperti mobil gardan ganda. Padahal Pemerintah Kota Samarinda telah menerbitkan surat keputusan yang melarang mobil mewah menggunakan minyak bersubsidi.
Ketua Asosiasi Pertambangan Batu Bara Samarinda Eko Priyatno membenarkan adanya aturan tersebut. Direktur perusahaan tambang batu bara PT Transisi Energi ini telah menerima salinan surat keputusan, lantas mensosialisasinya kepada anggota asosiasi.
Ia memastikan semua kendaraan operasional PT Transisi Energi tak lagi menggunakan minyak bersubsidi. Konsekuensinya, perusahaan harus menganggarkan ongkos bahan bakar lebih besar. "Rata-rata dalam tiga hari kami menghabiskan lima ton solar nonsubsidi. Nilainya lebih dari Rp 60 juta," katanya. Perusahaan mengorder solar nonsubsidi ke Pertamina.
Menurut Eko, kendaraan operasional tambang batu bara tidak bisa disamaratakan. Ada kendaraan milik perusahaan, misalnya dump truck dan ekskavator. "Ini pasti menggunakan solar nonsubsidi. Tidak mungkin dump truck dan ekskavator antre di SPBU," ujarnya.
Retno Sulistyowati, Maria Yuniar (Jakarta), Agita Sukma (Surabaya), Firman Hidayat (Samarinda)
Realisasi Penggunaan BBM Bersubsidi
Realisasi Penggunaan BBM Bersubsidi per-Februari 2013
Premium
Solar
Minyak Tanah
Sumber: PT Pertamina (Persero)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo