Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ekonomi

Apa Saja Fasilitas bagi Ormas yang Bersedia Menerima Izin Tambang

Pemerintah menebar kemudahan untuk memudahkan ormas keagamaan mengelola tambang. Ada diskon biaya kompensasi data informasi.

4 Agustus 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • NU akan mengelola tambang batu bara bekas KPC.

  • Pemerintah memungut biaya KDI dari ormas keagamaan.

  • Akan ada penghitungan ulang untuk KDI yang harus dibayarkan ormas keagamaan.

JAUH sebelum Presiden Joko Widodo merencanakan pemberian konsesi tambang kepada organisasi kemasyarakatan di bidang keagamaan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral sudah menghitung tarif kompensasi data informasi (KDI). Termasuk untuk eks lahan PT Kaltim Prima Coal (KPC) yang belakangan diberikan kepada Nahdlatul Ulama. KPC, perusahaan di bawah Bakrie Group, melepas lahan tambang seluas 23.437 hektare ketika mengajukan permohonan perpanjangan izin operasi pada 2021.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B) KPC berakhir pada 31 Desember 2021. Berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara, KPC tetap dapat beroperasi asalkan mengembalikan sebagian lahannya kepada negara sebanyak 27,54 persen dari luas konsesi awal yang mencapai 84.938 hektare. Beberapa tahun berselang, melalui Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2024 tentang pelaksanaan usaha tambang mineral dan batu bara, pemerintah menawarkan lahan-lahan itu kepada ormas keagamaan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tapi ternyata konsesi tambang ormas itu tak gratis karena pengelola baru harus mengeluarkan berbagai biaya, termasuk untuk membayar KDI kepada pemerintah. Kementerian Energi telah menyerahkan KDI bekas lahan KPC itu kepada Menteri Investasi Bahlil Lahadalia. Ketika ditemui awak media di Gresik, Jawa Timur, pada 27 Juni 2024, Bahlil mengatakan nilai KDI eks lahan KPC cukup besar dan sedang dihitung ulang. “Sekalipun kami kasih kepada ormas keagamaan, ia harus bayar pajak, royalti, dan penerimaan negara bukan pajak,” kata Bahlil.

Alat berat milik PT Kaltim Prima Coal di area tambang batubara di Sangatta, Kalimantan Timur. Foto: liebherr.com

Seorang petinggi Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengatakan nilai KDI eks lahan KPC begitu besar. “Kalau kemampuan ormas keagamaan dihadapkan dengan korporasi, ampun-ampunan kami,” tuturnya. PBNU, menurut sumber tersebut, sedang menimbang sejumlah opsi, dari pendanaan perbankan hingga bantuan modal dari mitra bisnis pengelola tambang. 

Penghitungan ulang nilai KDI untuk eks lahan KPC menjadi gambaran banyaknya kemudahan yang ditawarkan pemerintah kepada ormas keagamaan yang mau mengelola tambang. Selain itu, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2024, pemerintah memberikan keistimewaan berupa penawaran langsung tanpa perlu repot-repot mengikuti lelang. Ormas keagamaan juga boleh menggandeng pihak lain untuk mengelola tambang itu, selama masih menjadi pemegang saham mayoritas dan pengendali serta tidak bekerja sama dengan pemilik konsesi lama.  

Dua keistimewaan itu tidak diperoleh oleh badan usaha lain ketika mereka memohon izin konsesi tambang. Perusahaan swasta hingga badan usaha milik negara harus mengikuti lelang dan mengelola lahan konsesi itu sendiri. Yang paling penting, mereka juga wajib menyiapkan dana di muka untuk menebus KDI. KDI adalah uang pengganti biaya yang telah dikeluarkan pemerintah untuk menghitung data mengenai tambang yang akan ditawarkan. Umumnya KDI memuat data kandungan mineral atau batu bara yang telah tersertifikasi hingga nilai dan klasifikasi komoditas yang terkandung di dalamnya. 

Pemerintah kemudian menetapkan penawar KDI tertinggi sebagai pemenang lelang tambang. Sebagai perbandingan, PT Raflesia Utama menebus KDI blok tambang batu bara Semidang Lagan di Bengkulu Tengah, Bengkulu, sebesar Rp 8,1 miliar dalam lelang pada November 2023. Adapun PT Mustika Energi Lestari menebus KDI Blok Nibung di Musi Rawas Utara dan Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, senilai Rp 95,2 miliar. Sedangkan PT Merapi Energy Coal membayar KDI blok batu bara Merapi Barat di Lahat dan Muara Enim, Sumatera Selatan, Rp 53 miliar. KDI menjadi salah satu komponen utama penerimaan negara bukan pajak pertambangan selain royalti.  

Kualitas KDI pun bermacam-macam. Ada yang masih mentah, ada pula yang sudah mendalam. Khusus KDI eks lahan KPC, Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia Rizal Kasali mengungkapkan, masuk kategori lengkap. Makin lengkap data, makin mahal harganya. “Sudah lengkap eksplorasi yang dilakukan di sana. Cuma, berapa biaya kompensasinya saya belum dengar,” ucap Rizal pada Jumat, 2 Agustus 2024.  

Menurut Rizal, seharusnya KPC punya data detail potensi bekas lahannya itu. Tapi KPC tidak punya kewajiban menyerahkan datanya kepada pemerintah. Walhasil, pemerintah menghitung sendiri menggunakan formula KDI yang telah ditetapkan dalam Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 23/K/MB.01/MEM.b/2023 tentang Formula Perhitungan Harga Kompensasi Data Informasi Wilayah Izin Usaha Pertambangan dan Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus. 

Seorang pejabat mengungkapkan, nilai KDI untuk bekas lahan KPC awalnya mencapai Rp 500 miliar. Angka jumbo inilah yang harus disiapkan PBNU untuk mendapatkan izin tambang lahan tersebut. Lantaran nilainya sangat besar, pemerintah menghitung ulang nilai KDI lahan tersebut. Ketika dimintai tanggapan, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif mengatakan penghitungan ulang tersebut menggunakan formula yang diatur dalam Keputusan Menteri Energi Nomor 23 Tahun 2023. “Sedang dihitung oleh Badan Geologi. Kalau potensi deposit (batu bara) memang besar,” ujarnya pada Jumat, 2 Agustus 2024. 

Menurut Arifin, karena penawarannya tidak melalui lelang, ormas keagamaan seperti NU harus menebus KDI menggunakan angka normal. Tak akan ada kenaikan yang biasanya terjadi saat lelang. “Tujuan tambang untuk ormas itu buat kemaslahatan umat,” katanya. 

Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Muhammad Wafid mengakui lembaganya ketiban tugas menghitung ulang data cadangan eks lahan KPC tersebut. Namun dia enggan menjelaskan penghitungan itu. “Selama regulasinya sama, diulang berapa kali pun hasilnya akan tetap sama,” tuturnya pada Jumat, 2 Agustus 2024. 

Besarnya nilai tebusan KDI membuat NU menimbang opsi menggandeng perusahaan lain untuk mengelola eks tambang KPC. Di antara sejumlah perusahaan, yang mengemuka adalah PT Adaro Indonesia milik Garibaldi “Boy” Thohir, kakak Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir. Erick diketahui merupakan anggota Barisan Ansor Serbaguna, organisasi di bawah Gerakan Pemuda Ansor NU. “Banyak pihak yang berminat, bahkan dari luar negeri, tapi belum ada keputusan,” kata salah satu petinggi PBNU. PBNU boleh menggandeng Adaro karena mereka tak terkait dengan KPC selaku pemegang konsesi lama. 

Pelaksana tugas Bendahara Umum PBNU yang dipasrahi urusan tambang batu bara, Gudfan Arif, tak kunjung menjawab ketika ditanyai tentang kewajiban pembayaran tebusan KDI yang dihadapi NU. Gudfan juga tidak merespons pertanyaan tentang rencana PBNU menggandeng sejumlah rekan bisnis untuk mengelola tambang, termasuk Adaro.

Adapun Head of Corporate Communication Adaro Febriati Nadira membantah jika perusahaannya disebut akan terlibat dalam pengelolaan tambang batu bara ormas keagamaan. Menurut dia, sebagai perusahaan publik, Adaro berkomitmen mengedepankan keterbukaan dan transparansi dalam menjalankan bisnis.

“Namun tidak tertutup kemungkinan jika nantinya secara pribadi Bapak Garibaldi Thohir, yang memiliki pengalaman panjang di bidang bisnis pertambangan, dapat memberikan rekomendasi dan advis untuk NU atau organisasi keagamaan lain yang bergerak di industri pertambangan,” ujar dia pada Jumat, 2 Agustus 2024.

Setelah NU, beban pembayaran KDI kini menanti Muhammadiyah yang sudah memutuskan menerima tawaran tambang pemerintah. 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Menanti Diskon Biaya Kompensasi"

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus