Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Muhammadiyah memutuskan menerima tawaran konsesi tambang dari pemerintah.
Sejumlah kader dan pengurus menolak sikap pimpinan Muhammadiyah.
Ada nama Jusuf Kalla dan Yendra Fahmi di balik keputusan pengurus Muhammadiyah.
CUACA sedang panas-panasnya ketika kobaran api menyala di depan Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta pada Sabtu siang, 27 Juli 2024. Di tengah panas teriknya hari, belasan orang yang menamakan diri Forum Cik Di Tiro berunjuk rasa, menolak sikap Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah yang menerima tawaran izin tambang dari pemerintah. Di tengah aksi yang memanas, salah satu dari mereka tiba-tiba membakar kartu tanda anggota Muhammadiyah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Massa yang terdiri atas kader Muhammadiyah, akademikus, dan aktivis tersebut menutup mulut dengan plester hijau. Mereka juga membentangkan berbagai poster. Aksi itu terjadi bersamaan dengan rapat konsolidasi pimpinan Muhammadiyah di Convention Hall Universitas ‘Aisyiyah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penggagas Forum Cik Di Tiro, Masduki, mengatakan aksinya menjadi simbol kecaman dan kekecewaan terhadap PP Muhammadiyah yang menerima tawaran mengelola tambang dari pemerintah. Menurut dia, dengan menerima izin tambang, reputasi Muhammadiyah sebagai organisasi keagamaan yang independen akan tercoreng. "Ada penundukan sikap politik yang membuat Muhammadiyah tak kritis terhadap negara,” katanya.
Protes itu bukan yang pertama. Forum Cik Di Tiro pernah mengirimkan surat kepada semua organisasi kemasyarakatan di bidang keagamaan, termasuk Nahdlatul Ulama, agar menolak pemberian konsesi tambang. Mereka meyakini ormas akan kehilangan sikap kritis ketika mengelola tambang yang selama ini merusak lingkungan.
Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir (ketiga kiri) beserta jajaran pimpinan pengurus pusat Muhammadiyah mengumumkan organisasi keagamaan tersebut mengelola tambang tawaran pemerintah setelah menggelar rapat Konsolidasi Nasional Muhamamdiyah di Universitas 'Aisyiyah Yogyakarta, 28 Juli 2024. Tempo/Shinta Maharani
Riuh rendah demonstrasi di depan kampus 'Aisyiyah nyatanya tak mengusik rapat pimpinan Muhammadiyah yang berlangsung tertutup. Dalam situs resmi organisasi, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti mengatakan rapat konsolidasi menjadi mekanisme untuk menghasilkan keputusan yang didukung semua kader. Salah satu isu yang dibahas ialah keputusan Muhammadiyah yang hendak mengelola tambang.
Ketua Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, dan Hikmah PP Muhammadiyah Busyro Muqoddas bercerita, sikap pimpinan wilayah Muhammadiyah terbelah dalam rapat konsolidasi nasional tersebut. Sebelas dari 35 pimpinan wilayah yang hadir menyatakan keberatan atas rencana PP Muhammadiyah menerima tawaran tambang dari pemerintah. Beberapa pimpinan wilayah juga mengingatkan organisasi agar berhati-hati dalam mengambil sikap. "Mereka mengingatkan Pimpinan Pusat, itu biasa di Muhammadiyah," tutur Busyro pada Senin, 29 Juli 2024.
Pimpinan wilayah yang berkeberatan, Busyro menjelaskan, menyampaikan alasan yang antara lain menyangkut kondisi pertambangan di daerah mereka. Ada yang menceritakan dampak pertambangan seperti timbulnya lubang bekas penggalian di jalan utama serta udara menjadi kotor. "Suasananya sangat kritis," ucapnya. Toh, pendapat-pendapat tersebut tidak dibahas dalam forum konsolidasi. Sikap pengurus pusat organisasi berlogo matahari dengan 12 sinar itu pada akhirnya sama dengan NU, yang lebih dulu memutuskan menerima jatah tambang dari pemerintah.
Karena itu, Busyro menegaskan penolakan dengan tidak hadir saat PP Muhammadiyah menggelar konferensi pers mengenai hasil konsolidasi nasional. Pengurus yang mengumumkan keputusan itu antara lain Ketua Umum Haedar Nashir, Sekretaris Umum Abdul Mu’ti, dan Ketua Tim Pengelola Tambang Muhadjir Effendy.
Busyro memilih mengikuti rapat di kantor PP Muhammadiyah yang membahas rencana advokasi warga yang terkena dampak penambangan di Halmahera, Maluku Utara. Ia pun berencana mendatangi bekas lubang tambang di Halmahera yang merenggut banyak nyawa. Bukan hanya Busyro, sejumlah pengurus menyatakan kekecewaan dalam grup-grup WhatsApp. Bahkan ada informasi yang menyebutkan sejumlah kader di berbagai daerah akan mengundurkan diri.
Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir mengatakan substansi argumen-argumen kontra tersebut akan menjadi panduan bagi organisasi dalam mengelola tambang ke depan. “Agar tidak seperti orang lain dalam mengelola tambang,” ujarnya.
•••
MUHAMMADIYAH sejatinya telah menentukan sikap atas tawaran konsesi tambang dari pemerintah pada 13 Juli 2024, tepatnya dalam rapat pleno di Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah di Jakarta. Kendati masih ada suara kontra, keputusan pimpinan Persyarikatan Muhammadiyah sudah bulat. Hasil rapat pleno tersebut kemudian disampaikan dalam rapat konsolidasi di Yogyakarta.
Pro-kontra jatah tambang untuk ormas keagamaan telah lama menjadi pembahasan panas di antara kader Muhammadiyah. Ketua Bidang Hukum Busyro Muqoddas mengatakan organisasinya juga sudah lama mengkaji dampak pertambangan dengan berbagai pendekatan. Selama ini, kata dia, Muhammadiyah menangani sederet kasus pelanggaran hak asasi yang disebabkan oleh aktivitas tambang, seperti di Kendeng dan Wadas di Jawa Tengah serta di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau. Karena itu, ketika pemerintah berencana membagikan izin tambang batu bara kepada ormas agama, Muhammadiyah membuat kajian.
Hasilnya, Majelis Hukum dan Hak Asasi Manusia Muhammadiyah menerbitkan pendapat hukum pada 11 Mei 2024. Salah satu isinya menyatakan pemberian izin pertambangan secara langsung tanpa lelang merupakan pelanggaran terhadap Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara. Hal itu juga berpotensi menjadi tindak pidana korupsi.
Pendapat hukum itu terbit tiga pekan sebelum pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2024 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, yang menjadi dasar hukum pemberian konsesi tambang bagi ormas keagamaan. Lembaga Bantuan Hukum dan Advokasi Publik Muhammadiyah serta Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik Muhammadiyah mengeluarkan pendapat hukum senada.
Kendati dorongan menolak tawaran tambang bergulir dengan deras, ketika itu Muhammadiyah tak menyatakan sikap, berbeda dengan Nahdlatul Ulama yang sejak 2021 memegang janji Presiden Joko Widodo memberikan jatah lahan tambang. Pada 6 Juni 2024, NU menyatakan akan menerima tawaran pemerintah. Setelah itu, barulah muncul pandangan dan narasi agar Muhammadiyah menerima konsesi tambang.
Salah satu pengurus Muhammadiyah yang mendorong narasi ini adalah Azrul Tanjung. Ketua Majelis Lingkungan Hidup Muhammadiyah ini mengatakan tawaran tersebut adalah kesempatan yang baik bagi organisasi, terutama jika dilihat dari sisi bisnis. Ia berpandangan mudarat menerima tawaran mengelola tambang ini lebih sedikit ketimbang manfaatnya. Menurut Azrul, mudarat berupa dampak lingkungan dari aktivitas tambang bisa ditanggulangi dengan melakukan pemulihan dan reklamasi. “Mudarat bisa diperkecil dan pada akhirnya akan memberikan manfaat,” ucapnya.
Pandangan pro-tambang juga kentara dalam acara Sarasehan Tambang Ramah Lingkungan yang digelar Majelis Pendidikan Tinggi, Penelitian, dan Pengembangan Muhammadiyah. Acara yang diselenggarakan pada 22 Juni 2024 ini mengundang berbagai narasumber dari kalangan akademikus hingga praktisi tambang.
Pengurus salah satu lembaga Muhammadiyah yang hadir dalam acara itu bercerita, sarasehan tersebut bertujuan mengkaji dua perspektif, yakni yang mendukung dan menerima konsesi tambang dari pemerintah. Namun, dia menambahkan, pembicaraan dalam forum tersebut cenderung mengarah ke sikap menerima konsesi tambang. Pandangan yang mendukung Muhammadiyah menerima konsesi itu terutama muncul dari para praktisi. Dalam dokumen Kajian Tambang Ramah Lingkungan, di antara lima praktisi yang datang, ada perwakilan grup perusahaan tambang, yakni Hasnur Group dan Indobagus Group.
Sejumlah pengurus Muhammadiyah yang ditemui Tempo mengatakan dua perusahaan ini juga diundang dalam diskusi para pengurus PP Muhammadiyah sebelum rapat pleno pada 13 Juli 2024, yang hasilnya menyatakan menerima konsesi tambang. Informasi ini dikonfirmasi oleh Ketua Muhammadiyah Busyro Muqoddas yang mengatakan Yendra Fahmi, Presiden Direktur Indobagus Group, mengutus perwakilan untuk mendatangi pertemuan dengan pengurus organisasi itu. Sementara itu, Sekretaris Umum Muhammadiyah Abdul Mu’ti membenarkan kabar bahwa rapat tersebut dihadiri perwakilan Hasnur Group dan pengusaha lain.
Dua perusahaan itu diundang para pengurus Muhammadiyah lantaran dianggap memiliki bisnis tambang yang ramah lingkungan. Sebagai catatan, Indobagus Group selama ini antara lain bergerak di usaha tambang batu bara, nikel, marmer, dan granit. Tambang batu bara Indobagus Group di antaranya berlokasi di Jambi yang dikelola oleh PT Bangun Persada Jambi Energi, PT Wahana Surya Abadi, PT Mahakarya Abadi Prima, PT Global Suria Nusantara, dan PT Utomo Konstrindo. Adapun Hasnur Group mengelola lahan tambang di Kalimantan Selatan melalui PT Bhumi Rantau Energi dan PT Energi Batubara Lestari.
Tempo berupaya meminta tanggapan manajemen Indobagus Group ihwal kehadirannya dalam serangkaian rapat PP Muhammadiyah. Pesan elektronik yang dikirim kepada petinggi Indobagus Group, yaitu Yendra Fahmi, Muhammad Tonas, dan Hilarius Moan Dare, serta surat ke kantor perusahaan itu tak berbalas. Pertanyaan serupa disampaikan kepada petinggi Hasnur Group, Hasnuryadi Sulaiman dan Zulfikar Alimuddin. Namun, hingga laporan ini ditulis, mereka juga tak menjawab.
Dari perusahaan-perusahaan inilah, Busyro mengungkapkan, para pengurus Muhammadiyah meminta penjelasan mengenai proses bisnis yang ramah lingkungan, pengelolaan pasca-tambang, hingga aspek hukum sebagai masukan bagi mereka sebelum memutuskan sikap organisasi. Selepas pertemuan dengan pengusaha, pengurus Muhammadiyah mengundang Menteri Investasi Bahlil Lahadalia. Di sana, bekas Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia itu diminta menjelaskan kebijakan dan aturan pemberian lahan tambang untuk ormas.
Dalam kesempatan itu pula Bahlil menawarkan pengelolaan tambang kepada Muhammadiyah. Dua pengurus PP Muhammadiyah yang hadir dalam forum tersebut, Syamsul Anwar dan Busyro Muqoddas, mengatakan Bahlil menjamin sudah menyiapkan aspek legal. Ihwal pengelolaan tambang, Bahlil menyarankan Muhammadiyah mencari mitra profesional. Ketika dimintai tanggapan pada Senin, 29 Juli 2024, Bahlil membenarkan adanya pertemuan itu.
Menjelang sore pada 13 Juli, giliran mantan wakil presiden Jusuf Kalla yang diundang pengurus Muhammadiyah. JK—panggilan akrab Jusuf Kalla—juga dimintai pandangan tentang jatah tambang untuk ormas. Seperti Bahlil, JK mendorong Muhammadiyah menerima tawaran pemerintah. Salah satu alasan yang dikemukakan JK, menurut Ketua Majelis Tarjih dan Tardid Muhammadiyah Syamsul Anwar, adalah orang Islam di Indonesia masih tertinggal dari sisi penguasaan ekonomi. “Tesis yang disampaikan, kalau kita enggak masuk, orang lain yang untung,” kata Syamsul.
Sekretaris Umum Muhammadiyah Abdul Mu’ti mengatakan JK dimintai pendapat lantaran kedekatannya dengan Muhammadiyah. “Pak JK memberi masukan kepada kami dalam banyak hal,” tuturnya. Tak hanya dalam rapat pleno pada 13 Juli, JK pun kembali dihadirkan dalam rapat konsolidasi nasional pada 27 Juli, saat Muhammadiyah mengukuhkan sikapnya menerima tawaran izin tambang dari pemerintah.
Juru bicara Jusuf Kalla, Husain Abdullah, membenarkan kehadiran JK dalam dua momen tersebut. Melalui pesan tertulis kepada Tempo, JK mengatakan dalam dua kesempatan itu dia mendorong Muhammadiyah memberi contoh pengelolaan tambang yang baik dengan cara memelihara lingkungan. Ia pun menyarankan tambang yang diberikan pemerintah nantinya dikelola sendiri oleh Muhammadiyah dan tak hanya diserahkan kepada mitra. “Tentu mengelola tambang lebih mudah daripada mengurus perguruan tinggi yang jumlahnya ratusan," ucapnya. Muhammadiyah dikenal memiliki banyak lembaga pendidikan di berbagai daerah.
Masukan-masukan tersebut akhirnya mengerucut pada satu sikap: Muhammadiyah menerima tawaran pemerintah. PP Muhammadiyah menyatakan pengelolaan tambang itu nantinya dilakukan dengan skema khusus, yaitu keuntungannya dimanfaatkan untuk mendukung dakwah dan Amal Usaha Muhammadiyah serta masyarakat. Atas keputusan tersebut, PP Muhammadiyah membentuk tim pengelola tambang yang dipimpin Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy. Bersama tim tersebut, Muhammadiyah juga akan membentuk badan usaha khusus tambang.
Setelah membentuk tim, Muhammadiyah dan pemerintah segera membahas lahan tambang yang akan dikelola. Sejumlah pengurus Muhammadiyah mengatakan lokasi yang akan diperoleh adalah lahan tambang yang sebelumnya digarap PT Arutmin Indonesia. Ihwal lokasi tersebut, Bahlil Lahadalia mengatakan, “Insyaallah kami akan memberikan lahan eks PKP2B (perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara) yang paling bagus. Di luar KPC (Kaltim Prima Coal),” ujarnya. Lahan KPC telah diberikan kepada NU.
Kendati sudah ada keputusan dari rapat pleno dan rapat konsolidasi nasional, jalan Muhammadiyah untuk menerima wilayah tambang dari pemerintah tampaknya tak bakal mulus. Kritik-kritik deras meluncur tak hanya dari kader-kader Muhammadiyah di berbagai tingkat, tapi juga dari akademikus.
Pakar ekonomi energi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Fahmy Radhi, melihat keputusan Muhammadiyah itu menjadi blunder karena lebih banyak mendatangkan kerugian ketimbang manfaat bagi organisasi. Di satu sisi, ia melihat kebijakan ini hanya menguntungkan pemerintah secara politis. Di sisi lain, Persyarikatan akan berhadapan dengan masalah sosial dan lingkungan yang selama ini kerap menimbulkan perkara. “Ini akan menyeret organisasi agama dalam kejahatan-kejahatan tambang yang sulit dihindari.”
Di tengah derasnya kritik terhadap Muhammadiyah, Busyro Muqoddas mengatakan keputusan organisasi masih mungkin dicabut melalui sidang tanwir yang rencananya digelar di Kupang pada November mendatang. Sidang tanwir adalah mekanisme pengambilan keputusan tertinggi kedua di Muhammadiyah setelah muktamar. “Kalau lebih banyak mudarat, sangat mungkin dikembalikan,” katanya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Han Revanda dan Halgi Mashalfi dari Jakarta serta Shinta Maharani dari Yogyakarta berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Hilang Bimbang Mengelola Tambang"