Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemerintah akan meluncurkan program subsidi kendaraan listrik.
Sejumlah negara sudah memberikan subsidi untuk pembelian mobil listrik.
Ada anggapan dana untuk kendaraan listrik bisa menekan subsidi bahan bakar minyak.
RENCANA pemerintah memberikan subsidi untuk pembelian kendaraan listrik membuat produsen tersenyum sekaligus resah. Mereka senang lantaran bantuan dana itu bakal menggenjot penjualan yang selama ini relatif lesu. Namun nyatanya sampai saat ini banyak calon konsumen menahan pembelian, menunggu terbitnya aturan tentang subsidi kendaraan listrik. “Ketika datang ke dealer, mereka cuma bertanya kapan ada subsidinya," kata Chief Executive Officer PT Smoot Motor Indonesia Irwan Tjahaja kepada Tempo di kantornya di kawasan Tangerang, Banten, pada Kamis, 19 Januari lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sama seperti Irwan, Presiden Direktur Ilectra Purbaja Pantja menyebutkan banyak konsumen yang tak jadi membeli sepeda motor listrik karena menunggu subsidi. "Semua produsen merasakan ini," ujarnya. Smoot dan Ilectra adalah produsen sepeda motor listrik yang eksis beberapa tahun terakhir. Smoot merilis skuter merek Tempur dan Zuzu yang menggunakan energi baterai. Sedangkan produk Ilectra, perusahaan patungan grup Indika dengan JWC Ventures dan Horizons Ventures, adalah skuter Alva One. Keistimewaan sepeda-sepeda motor ini adalah baterai yang dapat ditukarkan di stasiun khusus sehingga penggunanya tak perlu mengisi ulang daya listrik di rumah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sayangnya, kendaraan tanpa emisi karbon ini belum banyak mengaspal di jalan. Sebab, pemerintah belum memutuskan subsidi yang nilainya disebut-sebut sebesar Rp 5-8 juta untuk sepeda motor listrik dan Rp 40-80 juta buat mobil listrik. Rencana ini kemudian menuai reaksi pro-kontra. Apalagi kemudian muncul kabar bahwa pemerintah akan mengalokasikan Rp 5 triliun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2023 untuk subsidi ini. “Menurut kami, subsidi itu tidak masuk akal dan sampai saat ini kami belum mendapat kejelasan dasar hitungannya seperti apa,” kata Ketua Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat Said Abdullah, Desember 2022.
Di tengah polemik, pembahasan subsidi ini masih berjalan. Salah satunya dalam rapat terbatas tentang kendaraan listrik di Istana Merdeka, Jakarta, pada Jumat, 13 Januari lalu. Dalam keterangan tertulis, Menteri Investasi Bahlil Lahadalia mengatakan rapat itu membahas ekosistem kendaraan listrik dan baterai serta subsidi untuk menggenjot penjualan. “Kita tahu negara lain, seperti Thailand, banyak sekali memberikan sweetener yang merangsang industri. Indonesia tak boleh kalah,” tuturnya.
Presiden Joko Widodo (ketiga dari kanan) memimpin rapat terbatas mengenai pengembangan ekosistem kendaraan listrik, di Istana Merdeka, Jakarta, 13 Januari 2023. BPMI Setpres/Muchlis Jr
Thailand memang sudah memberikan insentif untuk kendaraan listrik. Pada Februari 2022, Negeri Gajah Putih menyediakan subsidi hingga insentif pajak yang berlaku sampai 2025. Tahun lalu pemerintah Thailand menggelontorkan anggaran 3 miliar baht atau sekitar Rp 1,3 triliun untuk subsidi. Nilainya bertambah menjadi 40 miliar baht (Rp 18,3 triliun) pada 2023-2025.
Bentuk paket subsidi ini antara lain dana 70 ribu baht (Rp 32 juta) untuk pembelian mobil listrik dengan baterai 10-30 kilowatt-jam (kWh) buatan dalam negeri ataupun impor. Pembelian mobil dengan baterai di atas 30 kWh mendapat subsidi 150 ribu baht (Rp 68,8 juta). Adapun subsidi untuk sepeda motor listrik 18 ribu baht atau Rp 8,2 juta. Dengan paket ini, harga kendaraan listrik di Thailand makin murah. Berkat gula-gula itu, pada September tahun lalu angka penjualan mobil listrik mencapai 13.298 unit, melesat 223 persen jika dibanding pada Januari-September 2021.
Capaian Thailand ini yang antara lain memancing pemerintah menerapkan cara serupa. Apalagi Indonesia punya modal besar, yaitu cadangan nikel jumbo yang menjadi salah satu bahan baku baterai kendaraan listrik. Jika pasar tak bertumbuh, Indonesia tak bisa menyaingi Thailand yang sudah menjadi basis produksi sejumlah merek kendaraan listrik. “Mereka sudah kasih semua, insentif fiskal sampai subsidi,” kata Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi Septian Hario Seto pada Selasa, 17 Januari lalu.
Padahal Indonesia sudah memiliki aturan tentang insentif kendaraan listrik. Dalam Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019, misalnya, ada pembebasan pajak penjualan atas barang mewah. Pemerintah juga mengurangi pajak kendaraan bermotor dan bea balik nama kendaraan bermotor. Namun, menurut Seto, insentif ini belum bisa mendorong angka penjualan kendaraan listrik yang masih di bawah 2 persen dari total penjualan mobil.
Bus Listrik di terminal Senen, Jakarta, Oktober 2022. Tempo/Tony Hartawan
Berbeda dengan negara maju yang merilis program subsidi kendaraan listrik demi mengurangi emisi, Indonesia menitikberatkan insentif untuk mengembangkan industri pengolahan nikel. Tanpa membangun industri kendaraan listrik, pengolahan nikel hanya sampai pada produk midstream, seperti prekursor dan katoda. Produksi baterai siap pakai bisa jadi hanya angan-angan jika pasar mobil listrik tak bertumbuh. "Jika kita bisa membangun ekosistem dari hulu ke hilir, Indonesia bisa menjadi hub ekspor kendaraan listrik," ucap Seto.
Contoh lain adalah India. Sejak 2019, pemerintah India memberikan subsidi agar pangsa pasar kendaraan listrik bisa mencapai 30 persen pada 2030. Subsidi di India mencapai 100 miliar rupee atau sekitar Rp 18,5 triliun. Subsidi 20 ribu rupee (Rp 3,7 juta) per kWh disediakan buat bus listrik, 15 ribu rupee (Rp 2,7 juta) per kWh untuk sepeda motor, dan 10 ribu rupee (Rp 1,8 juta) per kWh bagi mobil listrik. Hasilnya, muncul pemain baru. Dari enam besar produsen sepeda motor listrik di India, empat adalah perusahaan rintisan atau startup. Dua di antaranya, Ola Electric dan Okinawa Autotech, bisa mengungguli pemain besar seperti Hero, TVS, dan Bajaj.
•••
TARIK-ULUR subsidi kendaraan listrik kian sengit. Sumber Tempo di lembaga pemerintah menyatakan sejumlah kementerian kini berlomba meyakinkan Kementerian Keuangan agar mau menganggarkan subsidi. Iming-imingnya, subsidi pembelian kendaraan listrik pada akhirnya akan mengurangi konsumsi bahan bakar minyak yang menelan anggaran besar.
Sebagai perbandingan, anggaran subsidi dan kompensasi bahan bakar minyak pada 2023 mencapai Rp 338 triliun. Jika pemerintah menyubsidi 1 juta sepeda motor listrik dan 20 ribu mobil listrik, dibutuhkan subsidi Rp 8,6 triliun pada tahun pertama. Ini seperti melepas umpan untuk menghemat subsidi bahan bakar yang nilainya besar, hingga Rp 502,4 triliun tahun lalu. Manfaat lain subsidi yang merangsang pertumbuhan industri kendaraan listrik adalah munculnya lapangan kerja baru.
Menurut sumber Tempo, Kementerian Keuangan sudah mulai setuju menerapkan subsidi sepeda motor dan bus listrik. Sebab, dua jenis kendaraan itu dipakai oleh masyarakat kebanyakan sehingga bisa menepis anggapan pemerintah menyubsidi orang kaya. Untuk subsidi mobil listrik, sumber Tempo menerangkan, Menteri Keuangan Sri Mulyani masih bimbang karena skema ini dianggap sama seperti membantu orang kaya. “Karena itu, ada kemungkinan mobil listrik hanya mendapat insentif pembebasan atau pengurangan pajak pertambahan nilai,” katanya. “Akan diatur melalui peraturan Menteri Keuangan.”
Hal yang juga menjadi perdebatan pejabat pemerintah adalah jenis kendaraan yang layak disubsidi. Beberapa kementerian terbelah. Kementerian Perindustrian, misalnya, menginginkan mobil hibrida atau mobil yang mengombinasikan mesin berbahan bakar minyak dan motor listrik juga mendapat subsidi. Pada pertengahan Desember 2022, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan mobil hibrida bakal kebagian subsidi hingga Rp 40 juta. Padahal kendaraan ini masih menyedot bahan bakar minyak dan membuang emisi karbon, meski tak sebesar kendaraan konvensional.
Usul ini mengacu pada kebijakan sejumlah negara yang memang tak mengecualikan mobil hibrida selaku penerima subsidi. Di Jerman, ada subsidi sampai 6.750 euro (Rp 110 juta) untuk mobil plug-in hybrid (PHEV). Spanyol juga memberikan subsidi sampai 600 euro (Rp 9,7 juta) buat PHEV dengan harga di bawah 40 ribu euro. Sedangkan India memberikan subsidi buat PHEV sesuai dengan kapasitas baterainya.
Tempo meminta tanggapan Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika Kementerian Perindustrian Taufik Bawazier tentang kabar ini. Namun pada Jumat, 20 Januari lalu, Taufik meminta Tempo menghubungi Direktur Industri Maritim, Alat Transportasi, dan Alat Pertahanan Hendro Martono. Hingga berita ini diturunkan, Hendro tidak memberi jawaban. Demikian pula Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan Rahayu Puspasari. “Masih dalam pembahasan internal. Jadi belum bisa ada update," ujarnya.
Ihwal subsidi kendaraan hibrida, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform Fabby Tumiwa mengatakan ada potensi bertentangan dengan konsep ekonomi hijau dan berkelanjutan yang menjadi napas pengembangan industri kendaraan listrik. “Mobil hybrid tidak memberikan manfaat yang optimal dalam penurunan gas rumah kaca untuk mengurangi polusi udara karena masih memakai mesin konvensional dengan sistem baterai yang hanya kecil,” ucapnya kepada Tempo beberapa waktu lalu.
Kendaraan hibrida juga berpotensi mendapatkan subsidi ganda karena masih menggunakan bahan bakar minyak, seperti Pertamax yang harganya saat ini masih menerima subsidi dari pemerintah. Merujuk data Kementerian Keuangan, harga keekonomian Pertamax sebesar Rp 15.424 per liter, sementara harga jualnya Rp 14.500 per liter. Artinya, pemerintah harus menanggung selisih Rp 924 per liter atau 6 persen dari harga jual. Fabby juga mengatakan ada indikasi tekanan dari industri otomotif agar pemerintah memberikan subsidi bagi mobil hibrida.
Sedangkan Ketua I Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia Jongkie D. Sugiarto mengatakan pada dasarnya semua produsen kendaraan listrik bakal diuntungkan oleh insentif dari pemerintah. Jika dilihat pangsa pasarnya, angka penjualan mobil hibrida masih lebih besar dibanding mobil listrik jenis lain. "Harga mobil yang full baterai pasti lebih mahal dibanding hybrid sehingga pasar hybrid akan lebih besar. Apalagi daya beli masyarakat Indonesia masih ada pada level harga mobil Rp 300 juta," katanya.
JIHAN RISTIYANTI, GHOIDA RAHMAH
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo