Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Cina menggelontorkan utang US$ 1,3 triliun lewat Belt and Road Initiative.
Banyak negara terjerat utang Cina dan mengalami gagal bayar.
Indonesia menghadapi tanda-tanda terjerat utang Cina.
CINA menjadi pemberi utang terbesar di dunia. Ini yang tergambar dalam laporan AidData, lembaga riset di bawah William & Mary Global Research Institute asal Virginia, Amerika Serikat. Pada Senin, 6 November lalu, AidData menerbitkan laporan "Belt and Road Reboot: Beijing’s Bid to De-Risk Its Global Infrastructure Initiative" yang menyebut Cina menggelontorkan US$ 1,3 triliun atau sekitar Rp 20.395 triliun melalui kerangka Belt and Road Initiative sejak satu dekade lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Melalui Belt and Road Initiative, Cina memberi pinjaman kepada 165 negara berpenghasilan rendah dan menengah dengan nilai rata-rata US$ 80 miliar per tahun. Angka ini lebih besar dari pinjaman Amerika Serikat, yang menyalurkan kredit US$ 60 miliar per tahun kepada negara-negara berkembang. Menurut riset AidData, ada 21 ribu proyek infrastruktur, seperti pembangunan jalur kereta api, jembatan, dan pelabuhan, yang memanfaatkan skema ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Direktur Eksekutif AidData Brad Parks mengatakan Cina memainkan peran sebagai manajer krisis internasional dengan menyalurkan dana ke proyek-proyek bermasalah serta negara-negara yang menghadapi tekanan. Dia bahkan berseloroh bahwa negara maju yang tergabung dalam kelompok G7 telah meremehkan kekuatan dan ambisi Cina. "Dalam jangka pendek, pendanaan ini menjadi semacam pemadam kebakaran (solusi)," katanya, dikutip dari situs web AidData.
Pada 26 September lalu, pemerintah Cina merilis buku putih berjudul "A Global Community of Shared Future: China's Proposals and Actions" yang antara lain menyatakan ihwal dorongan kerja sama menuju pembangunan inklusif dan berkelanjutan. Hal ini menjadi jawaban Cina atas kritik terhadap program Belt and Road, yang dianggap negara maju sebagai perangkap utang bagi negara berkembang sekaligus mendorong proyek-proyek eksploitatif dan tidak memiliki tata kelola yang baik.
Menurut pemerintah Cina, kerangka Belt and Road Initiative memiliki peran penting dalam mengatasi masalah global, seperti pertumbuhan ekonomi yang lambat, lemahnya tata kelola ekonomi, dan ketimpangan pembangunan. "Tidak dapat diterima lagi jika hanya segelintir negara yang mendominasi pembangunan ekonomi dunia, mengendalikan aturan ekonomi, dan menikmati hasil pembangunan," demikian petikan buku putih tersebut.
Cina boleh saja mengklaim. Toh, pada kenyataannya banyak negara debitor yang akhirnya kabur dari jeratan program "Sabuk dan Jalan" lantaran berbagai masalah. Australia, misalnya, membatalkan empat kesepakatan dalam kerangka Belt and Road Initiative pada 2021 karena tidak sejalan dengan kebijakan luar negerinya.
Sedangkan negara seperti Sri Lanka dan Maladewa terpaksa menyerahkan kendali pelabuhan dan bandar udara strategis mereka kepada Cina karena tak bisa membayar utang miliaran dolar Amerika Serikat. Hal ini terjadi lantaran banyak yang tergiur kredit yang awalnya berbunga rendah tapi kemudian berubah menjadi jeratan karena proyek yang dibangun tak memiliki kelayakan bisnis atau meleset dari hitungan awal.
Indonesia pun tak lepas dari risiko ini karena juga punya utang besar. Berdasarkan data Bank Indonesia, pinjaman dari Cina mencapai US$ 20,382 miliar atau sekitar Rp 306 triliun pada Maret lalu. Angka ini setara dengan 5,06 persen total utang luar negeri pada periode tersebut. Potensi kenaikan jumlah pinjaman makin besar seiring dengan makin banyaknya proyek yang didanai Cina.
Ketika berbicara dalam acara The 3rd Belt and Road Forum for International Cooperation di Beijing, Rabu, 18 Oktober lalu, Presiden Joko Widodo berharap Cina menerapkan prinsip kemitraan yang setara dan saling menguntungkan. “Keberlanjutan proyek Belt and Road harus memperkokoh fondasi ekonomi negara mitra. Bukan justru mempersulit kondisi fiskalnya,” ucapnya.
Pernyataan Jokowi ini menjadi penting mengingat sudah ada tanda-tanda Indonesia masuk ke jebakan utang Cina. Direktur Studi China-Indonesia Center of Economic and Law Studies Zulfikar Rahmat mengatakan ada beberapa faktor penyebab risiko jeratan utang. "Di antaranya Cina memberikan pembebanan skema kredit yang tinggi,” tuturnya beberapa waktu lalu.
Bagi Cina, status sebagai kreditor terbesar di dunia kini tak membuat nyaman. Sebab, pundi-pundi Negeri Tirai Bambu juga terancam menipis manakala banyak debitor yang mengalami gagal bayar. Menurut riset AidData, pada 2010, ada 5 persen debitor Belt and Road Initiative yang mengalami kesulitan keuangan. "Hari ini, angka tersebut mencapai 60 persen,” ujar Bradley Parks, Direktur Eksekutif AidData.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Mohammad Khory berkontribusi dalam artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini berjudul "Terancam Jerat Utang Sabuk dan Jalan"