Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Rupiah menguat hingga di bawah level 16 ribu per dolar Amerika Serikat sepanjang pekan lalu.
Devisa senilai US$ 4,5 miliar memperkuat rupiah di tengah tekanan berbagai faktor.
Kebijakan fiskal pemerintah baru masih terselimuti ketidakpastian.
SEJAK awal Juli 2024, kurs rupiah mendadak menggeliat. Kurs rupiah yang sebelumnya bertengger di level 16.450 per dolar Amerika Serikat menguat hingga di bawah 16.100 pekan lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tentu, arah kebijakan suku bunga The Federal Reserve ikut berpengaruh di sini. Melunaknya inflasi di Amerika Serikat pada Juni kembali meniupkan optimisme bahwa The Fed akan menurunkan bunga. Jika bunga The Fed benar-benar turun, kita boleh berharap investor global kembali melirik Indonesia membawa dolar masuk. Ujung-ujungnya, rupiah bisa menguat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ternyata bukan cuma soal kebijakan The Fed yang berperan dalam penguatan kurs rupiah. Ketika naik-turunnya bunga The Fed masih bersifat spekulatif dan cenderung menjadi ajang tebak-tebakan, banjir devisa ke Indonesia sudah berlangsung pada awal Juli. Nilainya pun cukup signifikan sehingga mampu menggeser ekuilibrium pasokan dan permintaan.
Aliran masuk devisa itu senilai US$ 4,5 miliar. Inilah utang pemerintah terbaru, hasil penjualan tiga seri obligasi syariah pemerintah atau sukuk. Rinciannya, pemerintah melepas sukuk bertenor lima tahun senilai US$ 1,5 miliar dan 10 tahun sebesar US$ 1,8 miliar serta sukuk hijau bertenor 30 tahun senilai US$ 1,2 miliar.
Pembeli berbagai seri sukuk itu adalah investor Timur Tengah dan Malaysia. Mereka membeli 50 persen sukuk bertenor lima tahun dan 58 persen sukuk 10 tahun. Sedangkan asal investor sukuk hijau 30 tahun lebih bervariasi.
Sukuk-sukuk ini cukup menggiurkan bagi investor karena memberikan bagi hasil yang menarik dalam dolar Amerika Serikat. Bagi hasil sukuk bertenor lima tahun sebesar 5,1 persen, sementara yang bertenor 10 dan 30 tahun masing-masing 5,2 dan 5,5 persen. Dengan demikian, sepanjang tahun ini pemerintah sudah membuat utang baru lewat penjualan berbagai jenis surat berharga negara sebesar Rp 640,3 triliun atau 96,08 persen dari target Rp 666,4 triliun.
Hampir semua dana dari surat utang itu dipakai untuk membayar bunga dan melunasi obligasi yang sudah jauh tempo alias refinancing. Hal itu dapat menggambarkan betapa beratnya beban utang pemerintah saat ini sehingga harus melakukan gali lubang tutup lubang. Tahun depan, nilai utang pemerintah yang jatuh tempo sudah mencapai Rp 705 triliun. Pemerintah harus menggali lubang utang yang lebih besar untuk menutupnya.
Tekanan pembayaran utang yang masih amat besar itu pada akhirnya akan membuat efek positif terhadap rupiah bersifat sementara. Kurs rupiah beberapa bulan ke depan akan kembali bergantung pada arah kebijakan bunga The Fed.
Saat ini investor global mulai yakin bunga The Fed akan turun pada September mendatang. Seperti biasa, spekulasi pun merebak. Sebagian investor yang tergolong pemberani dalam mengambil risiko malah sudah bertaruh bahwa bunga The Fed akan turun tiga kali hingga akhir tahun ini.
Tapi Bank Indonesia tidak seoptimistis itu. BI memperkirakan bunga The Fed hanya akan turun sekali menjelang akhir tahun, pada November. Itulah salah satu dasar keputusan sidang Dewan Gubernur BI pekan lalu, yang mempertahankan suku bunga acuan alias BI Rate sebesar 6,25 persen.
Inflasi dalam negeri yang tengah melandai juga memungkinkan BI mengambil kebijakan moneter yang relatif longgar saat ini. Pada akhir Juni, angka inflasi secara tahunan turun menjadi 2,51 persen dari 2,84 persen pada Mei. Penurunan ini terasa kian signifikan jika pembandingnya adalah tingkat inflasi tahunan per April yang sebesar 3 persen.
Jika sentimen positif dari kemungkinan penurunan bunga The Fed dan melandainya inflasi masih bertahan di bulan-bulan mendatang, bisa jadi rupiah akan bernasib lebih baik. BI pun tak perlu menaikkan bunga untuk menjaga rupiah.
Persoalannya, bagaimana kebijakan pemerintah baru kelak masih terselimuti ketidakpastian. Jika Prabowo Subianto selaku presiden terpilih tetap berkeras mengambil kebijakan fiskal yang agresif, tak peduli akan risiko menggelembungnya defisit anggaran, segala faktor positif itu bakal menguap dengan cepat.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Utang dan Nutrisi Sementara untuk Rupiah"