Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEKITAR dua tahun lalu, anggota Jamaah Islamiyah (JI) masih tercatat mengelola sejumlah lembaga amal yang menampung sumbangan hingga puluhan miliar rupiah. Salah satunya Lembaga Amil Zakat Abdurrahman bin Auf atau LAZ ABA. Namun Kementerian Agama mencabut izin badan amal ini pada Januari 2021 setelah terendus mengirim uang ke anggota dan organisasi yang terafiliasi dengan JI. Detasemen Khusus 88 Antiteror Kepolisian RI turut menangkap petinggi LAZ ABA di berbagai wilayah sepuluh bulan kemudian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Akibat operasi itu, sejumlah kantor LAZ ABA mati suri. Di antaranya kantor pusat LAZ ABA di lantai 3 Graha Samali di Jalan H. Samali, Pancoran, Jakarta Selatan. Saat didatangi Tempo pada Kamis, 18 Juli 2024, ruangan itu kosong melompong dan berdebu. Beberapa jendela tampak terbuka. Di pintu masuk, tertempel kertas putih bertulisan “Gedung Ini Disegel”.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penulis buku NII sampai JI: Salafi Jihadisme di Indonesia yang juga peneliti terorisme, Solahudin, mengatakan LAZ ABA merupakan yayasan formal yang berdiri secara sah tapi terafiliasi dengan JI. Ia menilai lembaga tersebut sudah modern hingga berkembang pesat. Mereka juga memiliki laporan keuangan. Ia mengklaim pernah membaca laporan keuangan LAZ ABA periode 2014-2019. “Dari laporan itu, tercatat dana yang terkumpul mencapai Rp 100 miliar,” katanya.
Mulanya, tak ada satu pun pentolan JI yang membenarkan kabar bahwa LAZ ABA dan sejumlah lembaga keuangan lain terafiliasi dengan terorisme. Belakangan, sejumlah pentolan mulai blakblakan mengakuinya selepas menyatakan pembubaran Jamaah Islamiyah di Hotel Lorin, Sentul, Bogor, Jawa Barat, pada 30 Juni 2024. Acara itu dihadiri sejumlah pentolan JI. Di antaranya para mantan Amir JI, seperti Para Wijayanto alias Abu Asykary dan Abu Rusydan alias Thoriquddin. Ada juga Abdullah Anshori alias Ibnu Thoyib alias Abu Fatih, orang kepercayaan Abdullah Sungkar, pendiri JI.
Tokoh lain yang hadir adalah Abu Mahmudah alias Arif Siswanto, 58 tahun. Arif pernah digadang-gadang menjadi Amir JI setelah Para Wijayanto ditangkap pada 2019. Tapi Arif kadung tertangkap di Klaten, Jawa Tengah, pada 13 November 2020, kemudian bebas pada 16 Agustus 2023.
Kegiatan belajar di Pondok Pesantren Al-Izzah di Jombang, Jawa Timur./Tempo/Ishomuddin
Arif menyebutkan LAZ ABA mampu mengumpulkan uang dari para donatur sekitar Rp 10 miliar per tahun. Sebagian dananya disalurkan untuk bantuan ke Suriah, sesuai dengan kesepakatan umat. Tapi ia mengakui LAZ ABA juga menyalurkan sebagian infak, sedekah, dan zakat kepada Jamaah Islamiyah. “Yang disalurkan untuk JI tidak sampai 5 persen dari keseluruhan dana yang dikumpulkan,” ujarnya kepada Tempo di Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, pada Rabu, 17 Juli 2024.
Lembaga lain yang ditengarai menampung dana organisasi JI adalah Yayasan Pusat Edukasi Rehabilitasi dan Advokasi atau Perisai Nusantara Esa. Yayasan itu berkantor di Bekasi, Jawa Barat. Ketua Bidang Advokasi Yayasan Perisai Nusantara Esa, Dodi alias Fico, membenarkan kabar bahwa yayasan itu milik organisasi JI. Dodi menjadi anggota JI sejak 2008. Yayasan yang berdiri pada 2017 itu tutup setelah Dodi dan pengurus lain ditangkap Densus 88 Antiteror pada 2021. Dodi divonis tiga tahun penjara karena menjadi anggota JI dan bekerja di yayasan milik JI.
Tugas Yayasan Perisai adalah melayani kebutuhan anggota JI yang ditangkap, termasuk keluarga mereka. Pelayanannya berupa bantuan pengobatan, biaya sekolah, uang kontrakan, dan pemenuhan kebutuhan lain. Dodi dan pengurus yayasan digaji hingga sekitar Rp 5,5 juta. “Uangnya dari fundraising, ada dari jemaah baik infak maupun proposal, dan donatur luar,” tutur Dodi. Sejak beberapa bulan lalu, Dodi sudah menghirup udara bebas.
Meski terafiliasi dengan Jamaah Islamiyah, Arif Siswanto membantah dugaan bahwa LAZ ABA dan lembaga amil lain merupakan aset organisasinya. Ia menegaskan, Jamaah Islamiyah tak pernah memiliki aset. Dulu ia mengklaim JI memiliki sejumlah kendaraan operasional, tapi semuanya sudah disita polisi. Ia juga membantah kabar bahwa JI memiliki pondok pesantren. Sebelumnya, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme menyebutkan ada 68 pondok pesantren yang terafiliasi dengan JI. “Itu sebabnya pembubaran JI tidak ada hubungannya dengan penyelamatan aset,” ucap Arif.
Kegiatan operasional pondok pesantren itu kerap terhambat karena dituding menjadi basis pengkaderan JI. Arif mengklaim pendirian pondok pesantren tersebut melibatkan kelompok masyarakat lain. Ia menjelaskan, sejumlah pondok pesantren disebut terafiliasi dengan JI karena ada pengajar atau pengurusnya yang menjadi anggota JI.
Arif mengakui anggota JI beraktivitas di 42 pondok pesantren di Indonesia. Ia mencontohkan Pondok Pesantren Al-Muttaqin Jepara, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Dalam situs web resminya, pondok pesantren yang dikelola keluarga Sartono Munadi itu berdiri sejak 1988, sementara JI lahir pada 1993. “Itu alasannya Pesantren Al-Muttaqin bukan milik JI,” ujarnya.
Pondok Pesantren Al-Izzah di Kabupaten Jombang, Jawa Timur, juga disebut terafiliasi dengan JI. Pondok pesantren seluas 1.500 meter persegi itu berada di bawah naungan Yayasan Islamuna Izzatuna. Pengurus yayasan, Zubad Dahry, menceritakan pesantrennya terseret isu terorisme karena ada alumnus Pondok Pesantren Al Mukmin, Ngruki, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, yang mengajar di pesantrennya. Pengajar tersebut pernah menjadi murid Abu Bakar Ba'asyir, mantan Amir JI setelah Abdullah Sungkar. “Pesantren Al-Izzah tidak berkaitan dengan JI,” kata Zubad.
Pondok pesantren lain yang terseret adalah Pondok Pesantren Darusy Syahadah di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Luas pondok untuk santri laki-laki itu mencapai 41.500 meter persegi. Sedangkan pondok untuk santri perempuan yang berjarak 1,5 kilometer dari pondok santri laki-laki memiliki luas 11.500 meter persegi. Pondok pesantren ini dirintis Kiai Haji Mustaqim Safar pada 1993 hingga diresmikan setahun kemudian di bawah naungan Yayasan Yasmi Surakarta. Jumlah santrinya saat ini mencapai 1.439 orang.
Tempo mengunjungi Pondok Pesantren Darusy Syahadah pada Rabu, 17 Juli 2024. Di dalam kantor pengurus pondok pesantren terpajang potret Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin, lengkap dengan lambang burung garuda di bagian tengahnya. Sementara itu, di depan kantor pengurus terdapat tiang untuk mengibarkan bendera Merah Putih di tengah lapangan.
Direktur Darusy Syahadah, Qosdi Ridwanullah, memastikan lembaga pendidikannya bukan tempat untuk mengkaderisasi anggota JI. Karena tidak semua lulusannya menjadi anggota JI. “Para santri banyak yang tidak tahu JI, enggak ada paksaan pengkaderan,” ucap Qosdi, yang menjabat direktur sejak 2010.
Ketua Yayasan Pondok Pesantren Darusy Syahadah, Mustaqim, mengatakan kurikulum yang diajarkan di tempatnya tidak jauh berbeda dengan di pondok pesantren lain. Yang membedakan adalah materi mengenai al-wala wal bara, yaitu pelajaran tentang mencintai dan membenci sesuatu karena Allah. “Mata pelajaran itu yang selama ini paling disorot,” katanya. Namun, setelah JI membubarkan diri, ada usulan materi tersebut diimbangi dengan dampak buruk mengkafirkan seseorang. Kurikulumnya juga sudah ditinjau oleh Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Direktorat Pendidikan Islam Kementerian Agama.
Abu Fatih, yang juga mantan Komandan Mantiqi Jamaah Islamiyah Wilayah Aceh hingga Timur Indonesia, menuturkan, secara prinsip, mantan pentolan JI sudah bersepakat meluruskan kurikulum di lembaga pendidikan yang terafiliasi dengan JI. Mereka bahkan sudah menunjuk 12 eks anggota JI untuk membentuk tim kurikulum. “Kami akan bersinergi dengan Kementerian Agama untuk membahas itu,” tuturnya.
Suasana beribadah di Pondok Pesantren Islam Darusy Syahadah yang disebut terafiliasi dengan Jamaah Islamiyah di Desa Kedunglengkong, Kecamatan Simo, Boyolali, Jawa Tengah./Tempo/Moh Khory Alfarizi
Pelaksana tugas Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kementerian Agama, Waryono Abdul Ghafur, mengatakan pihaknya akan menindaklanjuti perubahan kurikulum pondok pesantren yang terafiliasi dengan JI selepas pembubaran organisasi tersebut. Ia tak menampik adanya penilaian sebagian masyarakat yang meragukan keseriusan pembubaran JI. “Kami harus menyampaikan bahwa sekarang tidak ada JI, yang ada adalah para mantan,” ucapnya.
Pengamat terorisme, Solahudin, mengatakan salah satu bukti keseriusan JI untuk membubarkan diri adalah turut menyerahkan salah satu aset penting mereka, yaitu senjata. “Kalau mereka menyerahkan semua senjata mereka, itu baru namanya serius bubar,” katanya.
Seorang mantan petinggi JI menceritakan pihaknya sudah menyerahkan senjata yang selama ini dicor dengan semen kepada Densus 88. Mereka bahkan mencari senjata yang telanjur dibuang ke sungai untuk diserahkan kepada polisi. Abu Fatih juga mengklaim JI sudah menyerahkan semua senjata dan alat berbahaya yang dimiliki kepada Densus 88 Antiterior bahkan sebelum deklarasi pembubaran. “Ini bukti konkret kalau kami tidak main-main,” ujarnya.
Tempo sudah mengirim surat permohonan wawancara kepada Kepala Polri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, Kepala Densus 88 Antiteror Inspektur Jenderal Sentot Prasetyo, dan Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri Inspektur Jenderal Sandi Nugroho. Namun, hingga Jumat, 19 Juli 2024, surat itu tak berbalas. Tempo juga menemui dan berbincang dengan Direktur Intelijen Densus 88 Antiteror Brigadir Jenderal Tubagus Ami Prindani. Namun dia tak mau pernyataannya dikutip.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lani Diana dari Jakarta, Septia Ryanthie dari Solo dan Ishomuddin dari Jombang berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Bukti Konkret Oper Senjata"