Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEHARI sebelum berangkat ke Sentul, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, para pentolan dan senior Jamaah Islamiyah (JI) meriung di salah satu pondok pesantren di Jawa Tengah. Pada hari itu, Sabtu, 29 Juni 2024, mereka mengadakan bahtsul masail atau semacam musyawarah yang melibatkan para tokoh organisasi. Berbagai masalah dibahas, dari pemahaman takfiri yang mengkafirkan sesama muslim sampai kurikulum di pesantren yang terafiliasi dengan JI.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pembicaraan kemudian bermuara pada kesadaran para petinggi bahwa mereka selama ini terpeleset pada pemahaman yang keliru akan mimpi mendirikan negara Islam dan jihad. “Dalam perjalanan, ada satu kitab yang ternyata itu meluruskan kitab yang sebelumnya dibaca,” kata Komandan Mantiqi Jamaah Islamiyah Wilayah Aceh hingga Indonesia Timur periode 1994-2001, Abu Fatih, kepada Tempo di Sukoharjo, Jawa Tengah, pada Rabu, 17 Juli 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kitab lama yang dimaksud berjudul Al-Jami. Hanya, Fatih tidak mendetailkan nama, pengarang, dan penerbit kitab baru yang mengubah jalan anggota Jamaah Islamiyah tersebut. Namun, yang pasti, pertemuan pada Sabtu itu membulatkan tekad para petinggi yang sebetulnya sudah lama terpendam, yakni membubarkan JI yang dibentuk pada 1993.
Diskusi di Jawa Tengah berlanjut pada esoknya, Ahad, 30 Juni 2024, di Hotel Lorin, Sentul. Tuujuan kegiatan ini semula hanya melanjutkan pembicaraan sebelumnya, yaitu persiapan perubahan kurikulum pondok pesantren yang terafiliasi dengan JI. Itu sebabnya acara tersebut turut mengundang perwakilan 42 pondok pesantren yang tergabung dalam Forum Komunikasi Pondok Pesantren. Dalam catatan Detasemen Khusus 88 Antiteror Kepolisian RI yang memfasilitasi pertemuan tersebut, total peserta yang hadir mencapai 131 orang.
Sebanyak 18 orang simpatisan Jamaah Islamiyah Kabupaten Poso mengucapkan ikrar setia kepada NKRI di aula Andi Sappa Polres Poso, 12 Juni 2024/.Dok. Humas Polda Sulteng
Pertemuan itu juga menjadi reuni mendadak para mantan petinggi JI. Mantan Amir JI yang sedang dipenjara, Abu Rusydan dan Para Wijayanto, turut dihadirkan Densus 88. Abu Fatih dan pentolan JI lain, seperti Arif Siswanto dan Bambang Sukirno, juga hadir. Eks Amir JI yang sudah menghirup udara bebas, Zarkasih, pun berkumpul di Hotel Lorin.
Sadar pertemuan selengkap itu sulit terulang, mereka berdiskusi dengan serius. Notula pertemuan itu yang diperoleh Tempo menyebutkan mereka di antaranya turut membahas sikap tatharruf atau ekstremisme dan ide untuk merujuk manhaj Ahlussunnah Wal Jamaah. Diskusi ini jauh berbeda dengan doktrin di JI yang sebelumnya mempraktikkan takfiri dan “berjihad” dengan cara kekerasan seperti bom bunuh diri.
Akhirnya, mereka bersepakat mendeklarasikan pembubaran Jamaah Islamiyah pada hari itu juga. Sebanyak 16 senior JI berdiri di atas panggung. Abu Rusydan duduk dan membacakan enam poin deklarasi pembubaran JI. Rusydan ditangkap pada September 2021 dan divonis enam tahun penjara pada September 2022. “Menyatakan pembubaran Al-Jamaah Al-Islamiyah dan kembali ke pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia,” tutur Rusydan membacakan poin pertama deklarasi tersebut. Seusai deklarasi, sebanyak 100 lebih pengurus pondok pesantren yang terafiliasi dengan JI dari Sumatera Utara sampai Nusa Tenggara Barat di ruangan itu menyanyikan lagu “Indonesia Raya”. Video acara tersebut beredar di media sosial.
Belakangan, terungkap pembubaran JI di Sentul tidak ujuk-ujuk. Beberapa bulan sebelumnya, personel Densus 88 sudah mendekati Bambang Sukirno, pentolan JI yang turut hadir di Sentul. Bambang pernah memimpin Hilal Ahmar Society Indonesia, yayasan yang terafiliasi dengan Jamaah Islamiyah. Dalam kesempatan lain, Abu Rusydan yang sedang diterungku di Rumah Tahanan Teroris Cikeas, Bogor, meminta kepada Densus 88 agar dipertemukan dengan Bambang pada awal Juni 2024. Sama seperti Abu Fatih, Bambang Sukirno tak pernah ditangkap.
Arif Siswanto, senior yang pernah digadang-gadang menjadi Amir JI menggantikan Para Wijayanto pada 2019, mengatakan pertemuan Bambang dengan Abu Rusydan berlangsung di Rumah Tahanan Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya di Jakarta Selatan. Kepada Bambang, Rusydan mengatakan tidak ada fatwa yang mendalilkan Indonesia sebagai negara thaghut alias setan. “Abu Rusydan menitipkan wasiat itu agar Bambang menyampaikannya kepada tokoh JI lain yang di luar,” kata Arif.
Abu Fatih mengatakan ide mengubah sikap JI diperoleh setelah menonton video penjelasan soal “Pemikiran 642” dari Abu Rusydan dan Para Wijayanto serta Khoirul Anam alias Bravo, tokoh yang membawahkan laskar JI. “Pemikiran 642” bermakna 6 poin orientasi jihad, 4 evaluasi, dan 2 tanzim siri (organisasi rahasia) serta tanzim askary (organisasi kemiliteran). Video tersebut menyiratkan alasan perlunya JI mengubah arah perjuangan.
Tempo mengirim surat permohonan wawancara soal pembubaran JI kepada Kepala Kepolisian RI Jenderal Listyo Sigit Prabowo, Kepala Densus 88 Antiteror Inspektur Jenderal Sentot Prasetyo, dan Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri Inspektur Jenderal Sandi Nugroho. Surat itu tak direspons hingga Jumat, 19 Juli 2024. Tempo sempat berbincang dengan Direktur Intelijen Densus 88 Antiteror Brigadir Jenderal Tubagus Ami Prindani. Namun dia tak mau pernyataannya dikutip.
Meski ada campur tangan Densus 88, Arif Siswanto mengatakan pembubaran JI adalah inisiatif para seniornya. Ia mengakui pertemuan dengan Abu Fatih, Bambang Sukirno, dan pentolan lain kian memantapkan hatinya ikut mendeklarasikan pembubaran JI. “Kami tidak didikte siapa pun,” tuturnya.
•••
DUET Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba'asyir mendirikan Jamaah Islamiyah pada 1993. Sebelumnya, mereka adalah kader Negara Islam Indonesia. Sejak 2000, kelompok ini dituding berada di balik teror mematikan di berbagai wilayah. Di antaranya peristiwa bom Bali pada 2002, bom mobil di Kedutaan Besar Australia, serta bom bunuh diri di Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton, Jakarta Selatan. Pada 21 April 2008, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyatakan JI sebagai organisasi terlarang.
Sejak berdiri, JI berkiblat kepada gerakan Al-Qaidah di Afganistan. Tokoh-tokoh JI umumnya pernah bertempur di Afganistan. Di Indonesia, JI dikenal sebagai organisasi teroris yang rapi dan sistematis. Sebagian kader menjalani pelatihan bergaya militer. Mereka bahkan dilatih merangkai bom. Anggota JI yang dituding berada di balik bom Bali, Imam Samudra dan Amrozi, sudah dieksekusi mati. Noordin Mohammad Top dan Azahari, ahli bom JI, juga sudah ditembak mati saat digerebek Detasemen Khusus 88 Antiteror.
Perubahan Jamaah Islamiyah mulai terasa saat dipimpin Para Wijayanto sejak 2007. JI memang tercatat sebagai pihak di balik bom JW Marriott dan Ritz-Carlton pada 17 Juli 2009. Tapi sebelumnya tubuh JI mulai terpecah. Amir lawas JI, Abu Bakar Ba'asyir, hengkang dan membentuk Jamaah Ansharut Tauhid pada Juli 2008. Ada juga kelompok lain yang berdiri sendiri. Di sisi lain, senior JI mulai mengkaji ulang gerakan mereka. “Pemicu evolusi pemikiran JI itu muncul di era Para Wijayanto,” kata Solahudin, pengamat teroris dan penulis buku NII sampai JI: Salafi Jihadisme di Indonesia.
Fenomena ini dibenarkan Imtihan Asy Syafi'i, yang menjadi anggota Majelis Fatwa Jemaah Islamiyah sejak 1998. Sepanjang 2016-2017, ada upaya internal JI untuk mengkaji ulang pentingnya Pancasila. Dalam khazanah fikih Islam, Imtihan menambahkan, ada tiga kategori untuk melihat Indonesia. Yang pertama adalah darul harbi alias negeri kufur yang berarti ingkar kepada Allah dan Nabi Muhammad. Kedua, Indonesia negara Islam. Adapun yang ketiga, Indonesia bukan negeri kufur dan bukan pula negeri Islam.
Tangkapan layar acara deklarasi pembubaran Jamaah Islamiyah di Hotel Lorin, Sentul, Bogor, Jawa Barat, 30 Juni 2024./Detasemen Khusus 88 Antiteror
Awalnya, anggota JI mempercayai pendapat ketiga. Itu pula alasan mereka memusuhi pemerintah, bukan warga negaranya. Akhir-akhir ini, kajian itu justru membuka mata mereka. “Kami temukan bahwa Pancasila ternyata tidak ada masalah dan itu hasil ijtihad para ulama,” tutur Imtihan. Ia turut hadir dalam acara deklarasi pembubaran JI di Sentul.
Detasemen Khusus 88 Antiteror memang baru menangkap Para Wijayanto pada 2019. Namun, setelah peristiwa bom JW Marriott dan Ritz-Carlton, JI sudah tiarap. Direktur Eksekutif dan Peneliti Senior di Pusat Kajian Radikalisme dan Deradikalisasi, Ade Bhakti, mengatakan teror JI melemah salah satunya karena Densus 88 selalu menutup pergerakan JI. “Densus juga menangkap orang yang punya kapasitas sebagai pemimpin baru,” ucapnya.
Saat Para Wijayanto ditangkap, pendanaan dan komunikasi JI tersendat. Pada saat itu muncul nama Arif Siswanto yang akan menggantikan Para sebagai Amir JI. Namun Arif lebih dulu ditangkap di Klaten, Jawa Tengah, pada 13 November 2020. Ia baru bebas pada 16 Agustus 2023. Saat pertemuan di Sentul, Arif turut menyuarakan pembubaran JI.
Namun proses rekrutmen anggota anyar tetap berjalan secara diam-diam. Sejumlah utusan petinggi JI pernah mendatangi Pondok Pesantren Al-Izzah di Desa Kedungpapar, Jombang, Jawa Timur, sebelum Covid-19 menyerbu pada 2020. Sebelummya, pesantren ini tercatat terafiliasi dengan JI dalam putusan perkara terpidana teroris, Muh. Jamaluddin. Utusan tersebut meminta pengasuh pondok mengizinkan mereka merekrut dan melatih para santri. “Permintaan itu ditolak pengurus,” kata Zubad Dahry, pengurus Yayasan Islamuna Izzatuna yang menaungi Pondok Pesantren Al-Izzah.
Arah perubahan JI juga diperkirakan lahir dari buah pemikiran di balik jeruji. Satu hari pada Juni 2023, Ketua Program Studi Kajian Terorisme Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Muhammad Syauqillah, menemui Para Wijayanto di Rumah Tahanan Kepolisian Daerah Metro Jaya untuk penelitian disertasi. Ia kaget karena Para ternyata sudah mendukung NKRI. “Apa yang disampaikannya saat itu sama seperti pernyataan deklarasi,” ujarnya seraya menunjukkan foto pertemuannya dengan Para.
Dalam perjalanannya, Jamaah Islamiyah memiliki laskar militer yang selama ini dipimpin Khoirul Anam alias Bravo. Anam jarang muncul di permukaan, tapi turut menjadi inisiator pembubaran JI di Sentul. Meski begitu, dia tak ikut menandatangani deklarasi. Anam alias Bravo disebut mengetahui detail senjata dan alat berbahaya milik JI. “Dia pemimpin kelompok khusus dan sedang dipenjara,” tutur Sabarno, mantan anak buah Anam yang selama ini menjadi buron polisi. Sabarno yang muncul setelah pembubaran JI juga sudah berikrar mendukung Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pengamat terorisme, Solahudin, mengatakan, meski JI sudah menyatakan membubarkan diri, potensi teror dari sempalan organisasi ini tetap ada. Saat ini jumlah anggota JI diperkirakan mencapai 6.000 orang. Seratusan di antaranya merupakan anggota laskar yang sudah mengikuti pelatihan militer, bahkan sebagian pernah ikut berperang di Afganistan. “Pasti tidak semuanya ikut mendukung pembubaran JI,” ujarnya.
Ia menyebutkan kekuatan JI tidak akan sebesar sebelumnya jika menyerahkan semua senjata yang selama ini disimpan rapat-rapat. Ia menuturkan, penyerahan senjata itu juga menjadi bukti JI serius membubarkan diri. Menanggapi hal ini, pentolan JI, Abu Fatih, mengklaim pihaknya sudah menyerahkan semua senjata yang dimiliki. “Ini bukti kami tidak main-main dengan pembubaran JI,” ucapnya.
(Dari kiri) anggota Jamaah Islamiyah, Sabarno alias Amali Jundullah, serta para petinggi Jamaah Islamiyah, Abdullah Anshori alias Ibnu Thoyib alias Abu Fatih, Imtihan Asy Syafi’i, dan Abu Mahmudah alias Arif Siswanto, di Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, 17 Juli 2024./Tempo/Moh Khory Alfarizi
Pembubaran JI diperkirakan merupakan hasil proses deradikalisasi yang sudah berlangsung bertahun-tahun oleh Densus 88. Salah satu caranya adalah melibatkan Majelis Ulama Indonesia. Beberapa tahun terakhir, MUI ikut menemui narapidana terorisme di berbagai penjara. “Kami rutin melakukannya,” kata Sekretaris Badan Penanggulangan Ekstremisme dan Terorisme MUI Najih Arromadloni.
Densus 88 juga hendak mengubah ajaran ekstrem di pondok pesantren milik JI. Beberapa hari sebelum deklarasi pembubaran di Sentul, Densus 88 mengirim surat kepada Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas. Mereka meminta Kementerian Agama membantu pembinaan kurikulum pondok pesantren yang terafiliasi dengan Jamaah Islamiyah. “Memang ada permintaan dari Densus 88,” tutur staf khusus Menteri Agama, Muhammad Nuruzzaman, mengakui surat tersebut.
Mantan petinggi JI juga berjanji mengubah kurikulum pondok pesantren mereka. Abu Rusydan bahkan menjamin kurikulum di pondok pesantren mereka tak akan lagi mengajarkan sikap tatharruf yang mengkafirkan sesama muslim. Perihal janji menjauhi ajaran tatharruf ini turut tercantum dalam deklarasi pembubaran JI. Penjelasan soal tatharruf itu ditengarai menggunakan pendapat ulama dan ahli fikih Ahlussunnah Wal Jamaah asal Suriah, Wahbah Az-Zuhaili. “Artinya mulai ada penerimaan terhadap pihak luar,” ujar Najih Arromadloni.
Untuk menindaklanjuti perubahan kurikulum itu, utusan Kementerian Agama berangkat ke Solo, Jawa Tengah, pada Kamis, 18 Juli 2024. Mereka menggelar pertemuan selama satu jam dengan para petinggi Jamaah Islamiyah. “Ini bukan hanya untuk kepentingan hari ini, tapi juga untuk anak-cucu dan bangsa ini,” kata pelaksana tugas Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kementerian Agama, Waryono Abdul Ghafur, dalam acara tersebut.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Mohammad Khory Alfairizi dari Solo, Ishomuddin dari Jombang dan Lani Diana dari Jakarta berkontribusi dalam penulisan artikel ini