Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

gaya-hidup

Bersakit-Sakit Dahulu, Berlari-lari Kemudian

Terapi dengan olahraga membantu pasien dalam pemulihan dari berbagai penyakit, seperti kelainan tulang dan kanker. Prinsipnya, olahraga yang tidak memberikan beban.

16 Agustus 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PUSAT kebugaran di mal tentu sudah banyak. Tapi Slim and Health, yang berlokasi di lantai 1 Mal Taman Anggrek, Jakarta Barat, bukanlah tempat fitness biasa. Ini lebih tepat disebut klinik, karena orang berolahraga bukan untuk membesarkan biseps atau membentuk perut six-pack. Mereka berolahraga di klinik milik dokter olahraga Michael Triangto ini untuk berobat.

Mereka yang datang adalah penderita penyakit tertentu atau tengah menjalani pemulihan dari penyakit yang dideritanya. Bahasa kerennya, orang-orang ini tengah menjalani sport therapy alias terapi dengan olahraga. Saat kami berkunjung ke klinik ini akhir Juli lalu, terlihat ada yang tengah berjalan di atas treadmill, bergelantungan di palang, mengangkat beban, dan sebagainya.

Michael menjelaskan, terapi dengan olahraga adalah program pengobatan yang menggunakan olahraga secara terukur. Tujuannya untuk meningkatkan derajat kesehatan seseorang atau membantu proses penyembuhan penyakit. "Ini bukan olahraga untuk prestasi," katanya.

Perbedaan mendasar antara terapi olahraga dan olahraga biasa terletak pada besarnya tenaga yang digunakan. Pada olahraga biasa, hampir 100 persen tenaga digunakan, sedangkan pada sport therapy tenaga yang digunakan hanya 60-70 persen. Perbedaan lain, dalam olahraga biasa, orang bisa berlatih di atas kemampuan ototnya, bahkan dimotivasi oleh trainer untuk menambah beban secara berkala. Sedangkan dalam terapi olahraga, seseorang hanya melakukan gerakan sesuai dengan kemampuannya.

Karena tak memaksa otot dan tulang bekerja keras, terapi olahraga sangat dianjurkan untuk pasien kelainan tulang dan otot atau yang mengalami cedera yang dilakukan saat berolahraga. Tapi orang-orang yang pernah divonis penyakit ganas, seperti kanker dan stroke, juga bisa disembuhkan dengan cara seperti ini. Tentu saja terapi di sini tidak asal-asalan karena tetap di bawah bimbingan dokter atau trainer.

Meski disebut terapi, ini bukanlah cara penyembuhan tunggal. "Sport therapy fungsinya sebagai pemicu penyembuhan, bukan penyembuh utama," kata Michael. Artinya, pasien yang menjalani terapi ini tetap harus meminum obat yang diresepkan dokter. Orang yang baru mengalami fase pasca-stroke, misalnya, tetap harus minum obat stroke sesuai dengan anjuran dokter sambil menjalankan terapi olahraga. Olahraga itulah yang akan membuat penyembuhan dengan obat lebih efektif.

Gerakan terapi olahraga bisa bermacam-macam. Namun, secara garis besar, gerakan yang dianjurkan dibagi menjadi dua, yaitu aerobik dan anaerobik. Aerobik adalah gerakan olahraga yang dilakukan secara perlahan, berulang-ulang, dan dilakukan dalam jangka waktu yang panjang. Misalnya jalan kaki. Sebaliknya anaerobik adalah gerakan yang dilakukan dengan pemberian beban, dilakukan dengan intensitas tinggi, serta ada repetisi atau pengulangannya sedikit. "Pilihan terapinya sangat bergantung pada kondisi pasien," kata Michael.

Sebelum menjalankan terapi dengan olahraga, pasien wajib memeriksakan kondisinya. Beberapa elemen yang diperiksa sama dengan saat kita akan mengambil program personal training di gym, seperti denyut nadi, berat badan, komposisi lemak tubuh, massa otot, dan tekanan darah. Tapi pasien ini juga diperiksa fisiologi dan anatomi tubuhnya. Bukan hanya itu, orang yang menjalani terapi olahraga juga harus dijaga intensitas denyut jantungnya, yaitu dalam rentang 60-80 persen dari keadaan normal. Denyut nadi dalam terapi selalu dihitung per 10 detik.

Agnes Hernadi salah satu yang mencoba terapi ini. Tahun lalu perempuan 31 tahun ini sempat mengalami sesak napas dan sakit di tulang belakang. Awalnya, ia menduga hal itu terjadi akibat terlalu memaksakan diri dalam berolahraga agar berat badannya ideal.

Agnes pun memeriksakan diri ke dokter spesialis ortopedi. Hasilnya, olahraga bukan penyebab sesak napas dan sakit punggung, melainkan kelainan di tulang belakang Agnes. Miring tujuh derajat. Dia pun disarankan ikut terapi dengan olahraga di tempat Michael.

Setiap hari, selama enam bulan, Agnes diajak melakukan gerakan khusus, seperti peregangan otot dan tulang yang mirip gerakan pada pemanasan dan pendinginan saat memulai atau menyudahi olahraga. Gerakan-gerakan itu difokuskan pada bagian belakang tubuh mulai leher sampai tulang pinggul dan ekor. Selain itu, ia diminta melakukan sejumlah gerakan, seperti bergantungan di palang untuk meluruskan tulang, mengangkat salah satu tangan ke atas, melakukan gerakan mendorong pinggang ke salah satu sisi, dan sebagainya.

Setelah Agnes menjalani terapi selama enam bulan, nyeri akibat pembengkokan di tulang belakangnya tak terasa lagi. Ia juga terbebas dari sesak napas. "Saya merasakan hasilnya. Saya tak lagi sesak napas dan nyeri di tulang belakang," katanya Kamis pekan lalu. Bahkan, "Selama terapi, saya tidak minum obat."

Manfaat terapi olahraga juga direguk Yustin—bukan nama sebenarnya. Saat umurnya 27 tahun, ia divonis mengalami kanker payudara. Untuk menyingkirkan sel-sel jahat itu, ia pernah melakukan pengobatan tradisional alternatif dan pengobatan modern dengan kemoterapi.

Saat menjalani kemoterapi, Yustin hampir setiap hari mengalami masalah daya tahan tubuh, mulai muntah terus-menerus, rambut rontok, kulit keriput, berat badan turun, sampai tubuhnya lemas. Hampir saja ia menyerah dan memutuskan menghentikan kemoterapi. Beruntung, dokter onkologi yang menangani Yustin mengenalkannya kepada Michael Triangto.

Selain tetap memakai obat kemoterapi, Yustin aktif mengikuti terapi olahraga selama tiga tahun. Hasilnya, tubuhnya tidak lemas dan tidak mudah drop lagi saat menjalani kemoterapi. Ia juga tidak lagi muntah dan mual, plus berat badannya tetap terjaga alias stabil. Kini Yustin bisa melakukan kegiatan sehari-hari dengan normal.

Dionisius Henry, pelatih pribadi yang juga terapis olahraga lulusan Akademi Fitness, Aerobik dan Spa, Jakarta, mengatakan terapi olahraga bisa juga diberikan kepada pasien dengan kelainan hormonal dan penyakit yang disebabkan oleh organ tubuh yang inaktif. Misalnya bagi mereka yang mengidap tekanan darah tinggi dan diabetes.

Ketika memberikan terapi, pelatih selalu menggunakan acuan dari dokter. Meskipun sesuai dengan petunjuk dokter, masih banyak pasien yang mengeluh pertama kali menjalani terapi. Menurut Henry, yang paling banyak dikeluhkan adalah rasa lelah dan sakit saat melakukan suatu gerakan tertentu. "Hal ini yang harus dihindarkan. Inilah tugas pelatih," katanya, "Sebab, pada prinsipnya, terapi olahraga tak boleh menimbulkan rasa lelah dan sakit."

Sekali terapi, pasien akan menjalaninya selama setengah-satu setengah jam. Terapi tak dilakukan setiap hari, tapi cukup beberapa kali dalam sepekan. Walaupun saat latihan di klinik ada pengawas, pelatih akan memberi modul terapi yang bisa dijadikan acuan untuk latihan di rumah.

Meski ada sejumlah orang yang merasakan manfaatnya, belum ada data akurat soal nilai keberhasilan terapi ini. Henry menganggap ini adalah hal positif. "Setidaknya merupakan terobosan."

Cheta Nilawaty

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus