Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

X

16 Agustus 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kasijanto Sastrodinomo*

JIKA bukan karena menyerap kosakata asing, kamus umum bahasa Indonesia mungkin tak perlu memasukkan kata-kata beraksara (awal) x dalam kumpulan lemanya. Pasalnya, setakat kini tak ditemukan kata terduga asli—atau setidaknya "berbau"—Indonesia yang berbahan baku huruf itu. Semua kata di bawah aksara x dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa berasal dari bahasa asing, terutama Latin. Dalam proses pembentukan kata, penyerapan dari khazanah bahasa lain memang jamak dan tak terhindarkan. Namun terasa aneh bila penyerapan itu untuk mengisi semua kata dalam suatu himpunan lema. Soalnya adalah apa dasar penyerapan dan seberapa manfaat kata-kata terpilih itu bagi hajat berbahasa orang ramai.

Hal serupa terjadi pada daftar kata di bawah huruf q, v, dan z dalam kamus yang sama. Hanya, kata serapan yang berkepala tiga huruf itu tampak berkembang mulus jadi warga bahasa Indonesia. Kebanyakan diserap dari bahasa Arab, kata-kata berawal q dan z terasa dekat dengan orientasi agama atau budaya mayoritas orang Indonesia. Kata-kata "quran" dan "qasar"—sekadar contoh—menjadi bagian dari wujud ketaatan ibadah kaum muslim; begitu pula "zakat", "zaman", "zuhur", dan sebagainya telah mengkhalayak. Sedangkan aksara v menawarkan kata atau istilah dari Eropa yang dipandang mewakili ekspresi kemodernan ala Barat. Banyak di antara kita tak canggung lagi mengucap-tulis "variasi", "virus", "vagina", dan semacamnya.

Lain halnya dengan lakon x. Di luar manfaatnya sebagai unsur pembentuk istilah ilmiah atau kode teknis lain, x terkesan tetap "asing" dalam bahasa kita. Meski dinyatakan sebagai "huruf ke-24 abjad Indonesia" pada lema KBBI, aksara itu tak mewujud satu pun sebagai kata yang "berasa" Indonesia dan sulit dicari aktualisasinya sebagai kosakata sehari-hari. Namun, yang menarik, jumlah kata di bawah "X" pada KBBI, edisi keempat, jauh lebih banyak (48 kata) ketimbang entri serupa dalam The Concise Oxford Dictionary (28 kata, termasuk singkatan) dan Oxford-American Advanced Dictionary (18 kata). Maknanya, KBBI lebih bergairah menyerap kata yang kebanyakan dari Latin itu dibanding kedua kamus Inggris tersebut.

Dari sekian banyak kata yang ber-x dalam KBBI, mungkin hanya aksara x itu sendiri yang terasa aktual bagi banyak orang. Terutama penjelasan tentang huruf x sebagai (1) "pengganti nama orang atau sesuatu yang tidak (belum) diketahui nama sebenarnya"; dan (2) "pengganti nama orang yang sedang dibicarakan walaupun nama orang tersebut sudah diketahui (untuk menjaga nama baiknya)". Kedua takrif ini sangat relevan dengan "gosip umum" di negeri kita akhir-akhir ini. Misalnya ungkapan "faktor X" untuk menyebut sesuatu yang "kayaknya ada" tapi kok misterius; atau untuk membahasakan musibah lalu lintas yang belum jelas ihwalnya. Jangan lupa, "Mr X" adalah nama etiket bagi durjana yang sebenarnya sudah deleg-deleg di depan mata.

Selebihnya, koleksi kata berkepala x dalam KBBI berupa istilah baku keilmuan yang dikenal secara internasional, seperti "xantat" (ilmu kimia), "xantofil" (botani), dan "xenolit" (geologi). Ada pula "xenofobia", istilah psikologi populer; "xeroftalmia", sebutan penyakit mata karena kurang vitamin, dan lain-lain. Karena x terletak di awal kata-kata itu, menurut Pedoman Umum Pembentukan Istilah, huruf ini wajib dipertahankan wujudnya. Namun, bila nyelip di tengah atau di akhir kata, x diubah menjadi ks. Contohnya "taxi" menjadi "taksi" dan "complex" menjadi "kompleks", yang kadang-kadang ditawar "komplek" saja. Artinya, ada upaya sistematik untuk menghapus jejak x dari kosakata asing yang terserap ke dalam bahasa Indonesia.

Kalau begitu, mungkinkah daftar kata berkandungan x itu disetip saja dari kamus umum bahasa Indonesia—seperti Tesaurus Bahasa Indonesia suntingan Eko Endarmoko (edisi 2007) menihilkannya. Akan halnya istilah ilmiah yang berunsur x dialihkan ke kamus khusus keilmuan. Rasanya kelewat radikal dan tidak realistis menggusur x dari kamus umum. Nyatanya, kalaupun bukan dalam bentuk kata, x cukup efektif sebagai lambang atau simbol. Dalam naskah ujian tulis, misalnya, lazim ada petunjuk "Berilah tanda X (silang) pada jawaban yang Saudara anggap benar". Atau, sebaliknya, x adalah kode kesalahan. Sebagai angka, x antara lain menjadi tanda pewarisan dinastik seperti asma yang disandang Sri Sultan Hamengku Buwono X.

Alih-alih mengubur x dari khazanah bahasa kita, dalam seminar di Pusat Leksikologi dan Leksikografi Universitas Indonesia beberapa tahun lalu, Gayda Bachmid, pemakalah, justru mengusulkan x diberdayakan lebih maksimal. Caranya, huruf itu difungsikan menggantikan aksara k dan s yang berdempetan dalam suatu bentukan kata Indonesia, misalnya "paksa" ditulis "paxa" dan "siksa" disurat "sixa". Jadi, Mpok Laksmini, penjaja nasi laksa di tikungan jalan menuju kampus itu, bisa memasang papan nama warungnya bergaya resto kosmopolitan: "Laxa Laxmini".

*) Pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus