Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BAGAIMANAKAH seharusnya karya arsitektur dipamerkan? Cara yang umum adalah dengan memakai maket dan foto. Dari maket diharapkan bisa tampil gambaran besar dan bentuk bangunan itu. Foto melengkapinya dengan detail dan warna. Tapi keduanya hanya berhasil mentransfer bangunan secara visual ke dalam otak kita. Ada yang hilang. Pengalaman ber-ruang selalu tak pernah bisa kita alami ketika memandang keduanya. Aroma, suara, cahaya, dan bagian lain atmosfer bangunan tak kita rasakan. Pengalaman arsitektural hanya menjadi pengalaman visual.
Jarak itulah yang hendak dijembatani oleh Davy Linggar ketika membuat pameran tentang sembilan karya arsitektur Andra Matin, 2-27 Agustus ini. Tentu saja jarak itu masih ada, tapi Davy setidaknya berhasil membuat kita "merasakan" bangunan itu. Prosesnya jadi begini: pengalaman arsitektural yang dirasakan Davy ketika mengunjungi bangunan itu diubah menjadi visual (video), lalu kembali menjadi pengalaman arsitektural saat kita menikmati pameran bertajuk "Andra Matin: Sebuah Sekuel" di suatu galeri di Kemang, Jakarta Selatan, itu. Bahkan, dalam beberapa karya, kita seperti benar-benar masuk ke bangunan aslinya.
Hal itu amat terasa pada Panti Asuhan Cijayanti. Bangunan di lokasi yang jauh dari keramaian itu belum ditempati. Sejumlah ruang dibuat dari dinding kerawang yang memungkinkan masuknya sedikit sinar. "Tempat itu memang sedikit menyeramkan," kata Avianti Armand, kurator pameran tersebut. Perasaan itu juga yang kita alami ketika melihat karya Davy di galeri.
Untuk menikmatinya, kita harus masuk ke sebuah ruangan gelap yang dikelilingi tembok kerawang. Benar-benar gelap. Bau adonan semen basah membekap. Dari lubang-lubang tembok sebetulnya kita bisa melihat siluet orang yang melintas di balik dinding, tapi—pada saat yang bersamaan—kita merasa terjebak dalam ruangan menyeramkan. Terteror.
Lalu ada detak jam yang kencang dan konstan, diselingi bunyi jangkrik serta serangga malam lainnya. Di atas jala-jala hitam yang biasa dipakai untuk menutupi bangunan yang belum jadi, Davy menyemprotkan rekaman video kompleks panti asuhan itu. Ada laba-laba yang merayap, halaman yang sepi, jalan setapak yang hampa. Kita seperti masuk ke film Alfred Hitchcock dan menunggu datangnya pembunuh berdarah dingin dari balik tembok kerawang.
Selanjutnya adalah rumah Andra Matin sendiri. Ini adalah rumah panggung modern. Bagian bawahnya benar-benar terbuka, tanpa dinding. Bagian atasnya tertutup seperti benteng. Jendela—kalau bisa dibilang begitu—hanyalah lubang setinggi sekitar 30 sentimeter yang dibuat panjang mengelilingi bangunan, seolah-olah membelahnya. Jika kita masuk ke rumah itu, pandangan kita akan terjebak pada satu sisi saja. Kehadiran jendela (atau lebih tepatnya celah) itu membuat kita seperti tentara SS Nazi dalam bunker perlindungan di Pantai Normandia.
Untuk memamerkannya, Davy membuat sebuah kubus besar, panjang sekitar 5 meter dan lebar 2,5 meter. Kubus itu diangkat satu setengah meter dari lantai. Dari luar, ini seperti rumah Andra Matin. Untuk masuk, kita harus sedikit merunduk. Di bagian dalam kubus, Davy meletakkan 30 monitor kecil yang berbaris mengelilingi kubus sehingga bisa diasosiasikan sebagai jendela. Monitor-monitor itulah yang memutar video yang merekam suasana rumah. Seperti ketika di rumah itu, pandangan kita dalam kubus juga terpatok pada satu sisi.
Yang cukup unik tapi jarang dilihat Âpengunjung karena tempatnya yang tidak biasa adalah instalasi untuk Tanah Teduh, sebuah kompleks perumahan yang akrab dengan alam. Berbeda dengan delapan karya lain yang berada dalam galeri, Tanah Teduh dipajang di halaman luar, ditempelkan di pohon paling belakang. Bentuknya seperti kandang burung parkit berwarna hitam. Dari lubang berdiameter tak sampai sepuluh sentimeter itu, kita bisa melihat video perumahan tersebut.
Dibuat seperti kandang burung karena memang lambang perumahan itu berbentuk seperti itu. Tapi bukan hanya itu efek yang hendak ditimbulkan. Dengan mengintip video dari lubang kecil, kita seolah-olah orang luar yang mengintip rumah-rumah menarik di dalam kompleks. Atau mungkin melihat rumah itu dari jauh melalui teropong.
Ada tiga karya yang dipamerkan dengan gaya yang sama: Bakoel Koffie Panoptik, Potato Head Pacific Place, dan Rumah Ita. Davy memakai sejumlah monitor kecil untuk memajang foto-fotonya. Monitor-monitor itu ditempelkan pada tiga tiang. Tiap tiang dibuat dari material yang dipakai pada bangunan atau gerai yang berkaitan. Dengan demikian, kita bisa merasakan tekstur dan nuansa tiap bangunan, meski sekilas.
Misalnya, monitor yang memvisualkan Potato Head diletakkan di tiang yang terbuat dari daun jendela kuno. Ini karena interior bagian dalam restoran itu bergaya nostalgik. Pada Bakoel Koffie, tiangnya dibuat dari kisi-kisi kayu, karena partisi di kafe itu memang dibuat seperti itu hingga—di mana pun kita berdiri—kita masih bisa melihat ruangan lain. Pada Rumah Ita, tiangnya dibuat dari beton yang dicetak dengan kayu jati belanda yang dibakar. Beton itu pun bertekstur seperti permukaan kayu kasar.
Davy adalah seniman pendiam yang kadang jenaka. Meski foto atau video untuk pameran ini kerap menampakkan kesepian (karena begitulah karakter bangunan karya Andra), Davy tak melewatkan humor. Misalnya pada foto tentang Potato Head, yang menampilkan pasangan paruh baya.
Sekilas semua hal di foto itu diam saja. Tapi, kalau diperhatikan dengan teliti, kaki pengunjung perempuan itu bergerak ritmis, seperti sedang bosan mendengar omongan pasangannya. Demikian juga pada foto seorang bartender di restoran itu. Semua membeku, kecuali cairan minuman yang terlihat mengalir ketika dituang dari kaleng ke gelas. Pada sejumlah video, kita juga akan dikejutkan dengan melintasnya kartun piring terbang berkaki yang kocak.
Untuk menggambarkan Rumah Winfred, Davy hanya memakai dua monitor. Keduanya menggambarkan dua bagian rumah yang bertolak belakang. Winfred seorang bujangan yang menginginkan sejumlah ruang pribadi dalam rumahnya. Tapi dia juga kerap menggelar pesta bersama teman-temannya di ruang yang berbeda. Satu monitor menampilkan video yang sepi dengan ruangan-ruangan kosong, monitor lain berisi ruangan yang kerap dipakai pesta dan sejumlah pengunjung yang terlihat berkelebat.
Rumah seniman Agus Suwage ditampilkan berbeda. Ada sejumlah monitor tua yang disusun tak serapi monitor-monitor lain. Kabel terlihat di atasnya, seperti ditumpuk di gudang. Itu karena yang ditampilkan Davy adalah proses pembuatan rumah tersebut. Bangunan yang berantakan dan belum jadi. Bunga api yang muncul dari mesin pemotong besi, pengaduk semen, penyusunan batu bata hitam, mobil pick-up lewat, bahkan dua ekor anjing yang memperhatikan para tukang.
Davy ingin menampilkan proses karena, selama ini dalam pameran arsitektur, orang memandang, mengagumi, dan mengkritik bangunan yang sudah jadi. Kita tidak bisa merasakan proses pembuatan, yang sebetulnya juga merupakan pengalaman arsitektural.
Sedangkan untuk galeri seni Dialogue, Davy seperti ingin memunculkan keÂarÂtistikÂan. Ada air mancur kecil yang seperti keluar dari aliran drainase, tekstur lantai. Video yang disemprotkan ke kaca itu paling memungkinkan dinikmati saat senja, ketika ruangan terbuka di balik dinding tersebut sudah gelap dan lampu-lampu belum dinyalakan. Sebenarnya tanpa video itu pun pengunjung pameran bisa memiliki pengalaman arsitekturalnya, karena di sanalah pameran ini digelar.
Qaris Tajudin
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo