Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

gaya-hidup

Jasa Pengusir Kesepian

Jasa sewa pacar untuk mengisi kesepian marak di kalangan anak muda. Mengapa?

18 Desember 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Layanan sewa pacar muncul dan berkembang di Jepang pada 1990-an.

  • Sejumlah layanan sewa pacar melalui agensi atau mandiri makin banyak muncul dalam beberapa tahun terakhir.

  • Agensi sewa pacar Koibito bisa menerima 10 pesanan per hari, tiga di antaranya meminta kencan tatap muka.

TING! “Selamat tidur, Sayang.” Rona pipi Hanna—begitu dia meminta disapa—langsung memerah tiap kali membaca pesan pendek bernada romantis serupa masuk ke nomor WhatsApp-nya. Pesan mesra tersebut ternyata bukan dari pasangannya. Perempuan 21 tahun ini mengaku berstatus single dan belum pernah berpacaran. Pengirim pesan tersebut adalah seorang talent sebuah agensi layanan sewa pacar dengan nama samaran Bagas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hanna mengaku menjalin hubungan komunikasi asmara dengan pacar sewaan tersebut selama dua pekan. Selama periode tersebut, keduanya sering berbagi kabar dan cerita melalui pesan pendek, panggilan video, kiriman foto atau post a picture (PAP), dan panggilan telepon panjang sebelum tidur atau sleep call.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Lebih suka layanan kencan online. Ada beberapa alasan saya malas bertemu dengan pacar sewaan langsung (offline date),” kata Hanna kepada Tempo, Ahad, 11 Desember lalu.

Dia enggan mengungkapkan alasannya belum juga berniat menjalin hubungan asmara secara langsung. Sebelum menyewa pacar, dia pernah menjalani hubungan virtual dalam bentuk role player (RP) atau pemain peran. Saat itu dia bisa berkomunikasi intens dan dalam dengan sosok di balik akun RP lain. Padahal sama sekali tak ada informasi apa pun tentang orang di balik akun tersebut, termasuk data dan wajah.

Hanna mulai melirik layanan sewa pasangan ketika melihat sebuah unggahan brosur digital di salah satu grup percakapan. Beberapa temannya dalam kelompok tersebut pun berbagi kisah menyenangkan setelah memiliki pacar sewaan selama beberapa waktu. Dia kemudian menghubungi agensi yang mempunyai testimoni baik dari para sahabatnya tersebut.

“Ketika itu saya memang merasa butuh teman aja gitu. Butuh teman cerita,” ujar mahasiswi salah satu universitas di Jakarta Selatan tersebut.

Pelayanan pacar sewaan, tutur Hanna, membuatnya seolah-olah memiliki pasangan nyata. Talent tersebut rutin memberikan perhatian kecil yang mengisi kesepiannya selama ini. Biasanya Bagas mengirimkan pesan sebelum waktu makan, bertukar kabar beberapa kali, dan menemani dengan bercerita di kala luang. Selama periode penyewaan, dia bahkan sampai merasa memiliki dan dimiliki.

Hanna mengklaim membayar harga sewa lebih dari Rp 100 ribu per pekan untuk biaya kencan virtual. Dia juga kerap menambah layanan di luar paket sewaan seperti panggilan telepon dan video call dengan biaya Rp 5.000-10 ribu per jam. Dia tak menampik bila dianggap sempat terbawa perasaan atau baper dengan sosok Bagas yang memiliki nada suara lembut.

Dia mengatakan relasi dengan pacar sewaan berjalan lancar karena ia merasa diterima apa adanya. Relasi tersebut juga memberinya semangat dan tenaga ketika ia melewati masa-masa sulit dalam kehidupan kampus dan pribadi. 

Dia bahkan mengklaim akan kembali menggunakan jasa pacar sewaan. Namun, dia menambahkan, layanan yang ia pilih akan lebih singkat dan situasional. Dia akan menyewa pacar secara efektif hanya pada saat fase kesepian dalam hari-harinya.

•••

TREN penyewaan pasangan sebenarnya fenomena lawas yang berkembang di Jepang sejak 1990-an. Pada saat itu sebuah perusahaan bernama Nihon Kokasei Honbu menawarkan jasa sewa orang untuk pertama kali. 

Namun perusahaan yang dijalankan Satsuki Oiwa itu tak hanya berfokus pada rental pacar atau pasangan. Kliennya juga bisa menyewa talent agar berpura-pura menjadi orang tua, anggota keluarga, teman, ataupun rekan kerja.

Perkembangan digital memang mempercepat penyebaran informasi, termasuk transfer budaya dan bisnis. Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah orang di Indonesia menangkap peluang yang sama, tapi berfokus pada penyewaan pacar atau pasangan. Beberapa orang bahkan menjadi pacar sewaan secara mandiri atau tak terikat agensi.

Psikolog Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Jawa Tengah, Hening Widyastuti, menilai fenomena pacar sewaan lahir dari salah satu kebutuhan manusia sebagai makhluk sosial, yaitu berinteraksi dengan orang lain. Peluang ini kian besar seiring dengan munculnya berbagai masalah pada masyarakat modern yang cenderung sibuk dan tak memiliki waktu mendengarkan cerita orang-orang di sekitarnya.

Layanan sewa orang, kata dia, hanya menjawab persoalan tersebut secara parsial dan sesaat. Bahkan, menurut dia, perasaan bahagia yang muncul pada diri penyewa selama periode layanan hanya bersifat semu. Rasa kesepian tetap akan kembali muncul tiap kali durasi penyewaan berakhir.

“Selain itu, sangat bahaya karena masih ilegal dan tidak punya perlindungan hukum yang jelas. Rentan terjadi kekerasan baik dari pemakai maupun pemberi jasa sewaan,” ucapnya.

Psikolog klinis Mufliha Fahmi juga menilai kesepian bukan soal tak ada individu lain yang bisa diajak berbagi cerita atau menemani. Menurut dia, kebutuhan sosial masyarakat itu tak bisa tuntas pada hubungan transaksional atau penyewaan. Manusia membutuhkan sebuah ikatan dan koneksi yang sifatnya tak berbatas periode penyewaan.

Meski demikian, dia menambahkan, ada juga orang yang membayar jasa pacar sewaan karena memang tak ingin memiliki ikatan atau komitmen dalam relasi dengan lawan jenis. Selain itu, dia melanjutkan, memang ada orang-orang yang justru lebih nyaman menceritakan masalahnya kepada orang asing atau orang yang tak dikenal dekat.

•••

BELLA—begitu sapaannya—mengaku hanya mencoba layanan sewa pacar karena penasaran beberapa bulan lalu. Namun dia juga mengakui saat itu tengah membutuhkan teman untuk berbagi dan bercerita. Seperti Hanna, dia hanya memilih layanan berpacaran daring karena takut akan potensi bahaya bertemu dan berinteraksi dengan orang asing.

Dia mengungkapkan, saat itu konten dan informasi tentang pacar sewaan sempat sangat viral di berbagai platform media sosial, terutama Twitter. Sejumlah akun pun memberikan komentar atau tanggapan berupa testimoni tentang layanan tersebut. Sebagian dari mereka mengatakan senang setelah mendapat layanan sewa pasangan secara online ataupun offline.

Bella mengaku sempat menelusuri informasi tentang sejumlah agensi pacar sewaan. Namun dia justru lebih tertarik pada pacar sewaan mandiri karena bisa langsung berkomunikasi dengan calon pasangan virtualnya. Dia juga dapat menyaring calon pacar sewaan itu dari data profil, seperti karakter, hobi, minat, hingga cara menulis pesan pendek. “Bisa request enggak mau yang chat-nya alay,” ujar Bella.

Ilustrasi berpacaran/Tempo/Subekti

Saat itu dia memesan jasa dari seorang pria 25 tahun asal Depok, Jawa Barat, dengan nama samaran Ryan. Pada bagian profil, pacar sewaan ini memiliki karakter bersahabat, mudah bergaul, penuh perhatian, dan menyukai anime serta K-pop. Dia menawarkan jasa senilai Rp 100 ribu per pekan yang berisi layanan chatting, bermain online game bareng, movie date, Spotify session, PAP aktivitas, dan begadang.

“Waktu itu saya pesan jasa VVIP (pacar sewaan hanya melayani satu penyewa selama periode sewa). Dulu masih murah, setelah viral jadi sangat mahal,” tutur Bella.

Dia mengatakan sempat terbawa secara emosional dalam hubungan dengan Ryan. Rasa itu tetap tumbuh meski dia sadar bahwa pasangan virtualnya tersebut hanya pacar sewaan. Dia merasa nyaman karena pria itu seolah-olah selalu bisa hadir 24 jam per hari untuk merespons setiap komunikasi. Padahal, kata dia, Ryan tercatat sebagai pekerja swasta yang terikat jam kerja formal.

Saat itu Bella sendiri memang seorang jomlo yang gagal dalam dua kisah cinta sebelumnya. Dia pun tengah menyelesaikan sejumlah kegiatan dan memenuhi kebutuhan kuliah yang padat. “Love language, word of affirmation love language, dan fast response-nya saya suka banget,” ucap Bella.

•••

AGENSI penyedia pacar sewaan memang makin menjamur beberapa bulan terakhir. Mereka bahkan telah melebarkan wilayah pelayanan dengan merekrut sejumlah talent di beberapa kota dan daerah lain. Dengan skema kerja sama, agensi dan para talent bisa menerima keuntungan besar dari layanan dengan durasi harian dan mingguan tersebut.

Ivan Adrian, pendiri dan pemilik agensi Koibito, mengatakan rata-rata 10 orang menyewa layanan sewa pacar tiap hari. Padahal agensi yang baru berusia empat bulan ini baru memiliki 15 talent yang terdiri atas tiga pria dan 12 perempuan. Agensi yang mengambil nama dari sapaan sayang dalam bahasa Jepang itu memberikan layanan kencan daring dan luring.

“Dari 10 pesanan tiap hari, tiga offline dating atau pacaran tatap muka. Jumlah pesanan memang makin tinggi,” kata pria 30 tahun tersebut.

Bisnis ini, dia menerangkan, berawal dari keinginannya mengikuti popularitas tren sleep call. Dia kemudian mengajak lima rekan perempuan sebagai talent pacar sewaan pada awal Koibito beroperasi. Seiring dengan pertumbuhan order, dia mulai mencari cara melayani klien yang berada di luar Surabaya—lokasi Koibito. Dia mengklaim sudah beberapa kali membuka pendaftaran dan menerima talent baru.

Menurut Ivan, tingginya antusiasme terhadap layanan sewa pacar tak hanya ada pada kalangan penyewa. Dia mengklaim bisa menerima lebih dari 100 pendaftar saat mencari talent baru. Namun total peserta yang lulus biasanya hanya dua orang. Ivan menjelaskan, Koibito harus melakukan seleksi secara ketat agar talent yang terpilih memiliki kemampuan dan komitmen pada bisnis tersebut.

“Kemampuan bicara dan relasi tiap orang berbeda. Tentu akan saya pilih orang yang enak diajak bicara dan bisa memposisikan diri saat mendengarkan cerita klien,” ujarnya.

Selain itu, Ivan menambahkan, komitmen calon klien harus dipastikan agar tak melanggar aturan main Koibito. Salah satunya tak menyediakan layanan seksual yang mengarah pada prostitusi. Koibito pun berusaha menjaga privasi talent dengan mengganti semua nomor teleponnya, membuatkan akun media sosial baru, dan melarang foto bersama tanpa masker.

“Sebenarnya kami melarang talent dan penyewa punya hubungan cinta. Tapi perasaan kan tak bisa diatur. Memang sempat ada, tapi kami minta profesional,” ucap Ivan.

Toh, menurut dia, sebagian besar talent bisnisnya berasal dari kelompok ekonomi menengah dan atas. Berdasarkan profil, beberapa talent adalah pekerja formal, investor saham, dosen, dan anak dari keluarga kaya. 

Mereka, tutur Ivan, hanya mencari pengalaman dan ingin menambah penghasilan. Sesuai dengan klausul kontrak, skema pembagian pendapatan layanan sewa pacar adalah Koibito 25 persen dan talent 75 persen.

Koibito pun memeriksa dengan detail informasi para penyewa, terutama yang menggunakan jasa pacaran tatap muka. Sebagian penyewa, kata Ivan, adalah orang yang sekadar penasaran dan ingin merasakan pengalaman berinteraksi dengan pacar sewaan. Beberapa lainnya memang membutuhkan orang lain untuk mengisi kesepian. Sisanya adalah mereka yang belum move on dari kisah cinta sebelumnya tapi takut memulai komitmen baru secara serius.

“Ada juga yang latihan supaya nanti tak kaku kalau melakukan interaksi atau pendekatan dengan lawan jenis,” ucap Ivan.

Menurut daftar harga di akun Instagram-nya, Koibito mematok harga sewa Rp 40 ribu-1,3 juta untuk kencan daring dengan berbagai pilihan durasi waktu dan hari. Koibito juga menyediakan layanan pacaran langsung dengan biaya Rp 200-700 ribu di luar biaya transportasi, makan, dan kegiatan bersama. Dalam paket ini, penyewa akan menerima layanan seperti pasangan mesra, dari bergandengan, berangkulan, hingga berfoto bersama.

•••

SELAIN bergabung dengan agensi, beberapa pacar sewaan menjalankan usaha secara mandiri. Salah satunya Rachel, yang menjadi korban pemutusan hubungan kerja pada awal 2021. Dia enggan bergabung dengan agensi karena ingin memiliki waktu yang lebih lentur ketika menjadi pacar sewaan. Dia juga ingin bisa memilah langsung calon penyewa jasanya.

Berbeda dengan agensi, perempuan 32 tahun ini tak hanya bersedia menjadi pacar sewaan untuk kegiatan kencan, makan bersama, dan menonton bioskop. Dia juga bersedia berpura-pura menjadi pasangan untuk hadir dalam acara khusus, seperti pesta pernikahan, perayaan ulang tahun, dan acara keluarga lain. Tarifnya pun beragam, rata-rata Rp 250 ribu per tiga jam di luar biaya transportasi, konsumsi, dan kegiatan lain.

“Cukup salaman, gandeng tangan, rangkul, dan peluk sewajarnya,” kata perempuan yang berdomisili di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, tersebut.

Dia mengatakan selalu menunjukkan berbagai batas dalam surat perjanjian jasa sewa kepada kliennya. Dalam surat tersebut, dia menegaskan tak menerima permintaan aktivitas seksual, tindak kekerasan, dan perkataan kasar. 

Dia juga memilih klien jasa sewa pacar yang berasal dari lingkungan yang tak jauh dari kegiatannya. Meski demikian, dia mengaku sering mendapat tawaran berkegiatan seksual yang biasa disebut “after party”. “Sebagian besar mereka itu orang yang tak percaya diri datang sendirian ke acara atau bertemu dengan teman. Beberapa lainnya memang kesepian, sepanjang pertemuan hanya bercerita,” tutur Rachel.

FELIN LORENSA (MAGANG), ECKA PRAMITA
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus